Di kampung ada tradisi yang
dipercaya hingga saat ini sebagai tradisi untuk menghormati alam khususnya
hutan. Kami biasa menyebut tradisi ini dalam Bahasa Rongga; renda leke. Secara literer kata renda diartikan dengan kata kerja tarik,
melakukan aktivitas menarik sesuatu, dan leke
adalah nama tumbuhan liar jenis tali-temali yang tumbuh di hutan lebat.
Sebagai masyarakat yang mayoritas bekerja sebagai petani di ladang, tradisi ini
dianggap sebuah kewajiban untuk dilakukan sebelum tanam padi, jagung dan
tanaman lainnya di ladang. Warisan gemilang leluhur ini masih hidup hingga saat
ini, dan akan selalu mengalir dalam darah penduduk. Menurut pengakuan tua-tua
adat, alasan dilakukan renda leke,
karena diyakini bahwa tradisi ini adalah ritual untuk memanggil hujan (jika
hujan tidak turun sesuai predeksi orang-orang kampung), dan juga tradisi untuk
menghormati leluhur dan moyang orang-orang Komba yang tinggal di sekitar
Wolonggedo.
Setiap kali berkunjung ke hutan
tersebut, perempuan tidak diperkenakan untuk ikut bersama dalam acara sesajian
di hutan lebat tersebut. Di hutan, para tua adat akan memberi sesajian pada
alam di hadapan dua buah batu besar yang letaknya berjauhan. Batu leluhur
laki-laki pertama ada di bagian atas dan leluhur pertama perempuan letaknya
bagian bawah. Dua batu besar tersebut diyakini sebagai kuburan moyang pertama
yang meninggal di hutan tersebut. Alkisah, di hutan Nggedo ini leluhur pertaama
kali bersua dan saling jatuh cinta, hingga menetap dan membangun tempat tinggal.
Tradisi ini biasanya dilakukan sebelum musim tanam setiap
tahun. Konon katanya, nenek moyang orang-orang komba tinggal di hutan lebat
tersebut (sekarang dijadikan sebagai hutan lindung). Seperti Adam dan Hawa dalam
tradisi Abrahamik yang dilarang untuk memakan buah dari pohon yang ada di
tengah-tengah taman tersebut, leluhur kami juga memiliki keyakinan, bahwa ada
satu jenis tumbuhan ‘leke’ tali hutan
yang tumbuh di tengah hutan tersebut, yang tidak boleh dipotong dan dilukai.
Tradisi ini terus terjadi hingga sekarang dan bahkan diyakini sebagai warisan
yang tidak akan pernah dilupakan.
Ketika menulis ini, saya teringat Greta Thunberg, bocah Swedia
yang mempengaruhi anak-anak remaja seusianya berunjuk rasa demi bumi; semesta;
alam. Stop ekploitasi dan perusakan hutan! Thunberg, aktivis lingkungan hidup,
turun ke jalan melakukan protes dengan membawa poster yang berisi kecaman
lambatnya aksi untuk mengatasi perubahan iklim. Rasa-rasanya cinta pada semesta
mulai pudar dan bahkan hilang. Mungkin baiknya kita kembali pada kepercayaan
leluhur. Amazon yang dihuni oleh orang-orang Indian juga menghidupi semangat
cinta pada semesta.
Budaya masyarakat
Indian Amazonia menghormati Ibu bumi sebagai sumber kehidupan, seluruh refleksi mereka atas
kehidupan diungkapkan dalam bentuk kesucian, kerakyatan, seni, musik, lagu, dan
ritus-ritus asli. Kecintaan
pada alam adalah tanggung jawab bersama saat ini. Pertobatan
ekologis diharapkan berbuah pada respek terhadap keutuhan ciptaan serta
pengembangan manusia yang merupakan persekutuan yang menyadari panggilan untuk
menjadi penjaga dan pelindung kehidupan. Gema yang harus ada dalam konsep mesti bergeser dari
antroposentrisme menuju ekosentrisme. Antroposentris cendrung semena-mena jatuh pada dosa
ekologi. Dosa ekologi sebagai tindakan atau kelalaian melawan
Allah, sesama, komunitas, dan lingkungan hidup, melawan generasi masa depan,
serta kebajikan keadilan. Dibutuhkan suatu pertobatan yang integral; hidup benar dan
melakukan yang benar. Saya cinta budaya saya. Cinta semesta.
Yogyakarta, Juni 2020
Fransiskus Sardi