Senin, 15 Juni 2020

Renda Leke


      Di kampung ada tradisi yang dipercaya hingga saat ini sebagai tradisi untuk menghormati alam khususnya hutan. Kami biasa menyebut tradisi ini dalam Bahasa Rongga; renda leke. Secara literer kata renda diartikan dengan kata kerja tarik, melakukan aktivitas menarik sesuatu, dan leke adalah nama tumbuhan liar jenis tali-temali yang tumbuh di hutan lebat. Sebagai masyarakat yang mayoritas bekerja sebagai petani di ladang, tradisi ini dianggap sebuah kewajiban untuk dilakukan sebelum tanam padi, jagung dan tanaman lainnya di ladang. Warisan gemilang leluhur ini masih hidup hingga saat ini, dan akan selalu mengalir dalam darah penduduk. Menurut pengakuan tua-tua adat, alasan dilakukan renda leke, karena diyakini bahwa tradisi ini adalah ritual untuk memanggil hujan (jika hujan tidak turun sesuai predeksi orang-orang kampung), dan juga tradisi untuk menghormati leluhur dan moyang orang-orang Komba yang tinggal di sekitar Wolonggedo.
       Setiap kali berkunjung ke hutan tersebut, perempuan tidak diperkenakan untuk ikut bersama dalam acara sesajian di hutan lebat tersebut. Di hutan, para tua adat akan memberi sesajian pada alam di hadapan dua buah batu besar yang letaknya berjauhan. Batu leluhur laki-laki pertama ada di bagian atas dan leluhur pertama perempuan letaknya bagian bawah. Dua batu besar tersebut diyakini sebagai kuburan moyang pertama yang meninggal di hutan tersebut. Alkisah, di hutan Nggedo ini leluhur pertaama kali bersua dan saling jatuh cinta, hingga menetap dan membangun tempat tinggal.
Tradisi ini biasanya dilakukan sebelum musim tanam setiap tahun. Konon katanya, nenek moyang orang-orang komba tinggal di hutan lebat tersebut (sekarang dijadikan sebagai hutan lindung). Seperti Adam dan Hawa dalam tradisi Abrahamik yang dilarang untuk memakan buah dari pohon yang ada di tengah-tengah taman tersebut, leluhur kami juga memiliki keyakinan, bahwa ada satu jenis tumbuhan ‘leke’ tali hutan yang tumbuh di tengah hutan tersebut, yang tidak boleh dipotong dan dilukai. Tradisi ini terus terjadi hingga sekarang dan bahkan diyakini sebagai warisan yang tidak akan pernah dilupakan.
Ketika menulis ini, saya teringat Greta Thunberg, bocah Swedia yang mempengaruhi anak-anak remaja seusianya berunjuk rasa demi bumi; semesta; alam. Stop ekploitasi dan perusakan hutan! Thunberg, aktivis lingkungan hidup, turun ke jalan melakukan protes dengan membawa poster yang berisi kecaman lambatnya aksi untuk mengatasi perubahan iklim. Rasa-rasanya cinta pada semesta mulai pudar dan bahkan hilang. Mungkin baiknya kita kembali pada kepercayaan leluhur. Amazon yang dihuni oleh orang-orang Indian juga menghidupi semangat cinta pada semesta.
Budaya masyarakat Indian Amazonia menghormati Ibu bumi sebagai sumber kehidupan, seluruh refleksi mereka atas kehidupan diungkapkan dalam bentuk kesucian, kerakyatan, seni, musik, lagu, dan ritus-ritus asli. Kecintaan pada alam adalah tanggung jawab bersama saat ini. Pertobatan ekologis diharapkan berbuah pada respek terhadap keutuhan ciptaan serta pengembangan manusia yang merupakan persekutuan yang menyadari panggilan untuk menjadi penjaga dan pelindung kehidupan. Gema yang harus ada dalam konsep mesti bergeser dari antroposentrisme menuju ekosentrismeAntroposentris cendrung semena-mena jatuh pada dosa ekologi. Dosa ekologi sebagai tindakan atau kelalaian melawan Allah, sesama, komunitas, dan lingkungan hidup, melawan generasi masa depan, serta kebajikan keadilan. Dibutuhkan suatu pertobatan yang integral; hidup benar dan melakukan yang benar. Saya cinta budaya saya. Cinta semesta.

Yogyakarta, Juni 2020

Fransiskus Sardi