Rabu, 26 Januari 2022

Anak Allah Yang Tersalib dan Menderita dalam Paradigma Injil Markus

Dokpri, Fransiskus Sardi, Pantai Alamanda

 

Pengantar

            Habib Rizieq dan Ustad Abdul Somad, pernah mengomentari status ke-Allah-an Yesus dalam ceramah mereka. Menurut Ustad Abdul Somad, pada salib yang yang tergantung ada jin kafir.[1] Pernyataan kontroversial Abdul Somad menuai beragam tangggapan dari umat kristiani. Pernyataanya seolah menurunkan status ke-Allah-an Yesus. Status Yesus sebagai anak Allah juga dipersoalkan oleh Habib Rizieq, menurutnya jika Tuhan beranak, bidannya siapa?[2] Dua kasus ini, merupakan contoh bahwa ada persoalan yang cukup pelik mengenai status Yesus dan Allah. Masih banyak beragam kasus lain, namun dalam paper ini saya akan menuangkan gagasan saya bertolak dari kasus mengenai status Anak Allah.

Berhadapan dengan masyarakat yang plural di Indonesia, umat kristiani diandaikan: 1) memahami dengan baik dan benar ajaran atau dogma-dogma kristiani [kemampuan rasio], 2) beriman dengan sungguh agar mampu berkanjang dalam beragam kritikan dan celoteh [kemampuan iman]. Dua sikap ini akan mengantar kedewasaan iman bagi umat kristiani. Dalam paper ini, saya akan membangun apologetik tentang status Yesus sebagai Anak Allah yang tersalib dan menderita dengan pendekatan biblis. Tulisan ini juga adalah usaha saya agar bisa menguraikan status anak Allah dalam perspekti Markus, sehingga iman umat kristiani juga berlandaskan pada nalar atau rasio yang benar.

Konsep Anak Allah, dari Perjanjian Lama (Tradisi Yahudi), Tradisi Helenis-Romawi dan dalam Injil Markus

            Konsep Anak Allah yang menderita sering ditemukan dalam alkitab. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, identitas Anak Allah sering dikaitkan dengan bangsa Israel. Allah yang telah memilih bangsa Israel, dan karenanya secara umum bangsa Israel disebut anak Allah (Yes.1:2, 30:1). Bangsa Israel juga menerima atau menyebut Allah sebagai Bapa. Hal ini terlihat jelas dalam kisah Yesaya 63:16, “Bukankah engkau Bapa Kami?... Ya Tuhan engkau sendiri Bapa Kami, namamu ialah penebus kami, sejak dahulu kala”. Pernyataan dan pembuktian alkitabiah ini, serentak menunjukan bahwa hubungan antara Allah dan Bangsa Israel, seperti hubungan antara anak dan Bapa. Jadi pembuktian pertama mengenai identitas anak dalam Perjanjian Lama adalah bangsa Israel sendiri yang disebut secara kolektif.

Di sisi lain, konsep Anak Allah dalam Perjanjian Lama, sering diidentikan dengan Raja yang baru diurapi, yang menjadi tangan kanan Allah, karena dipilih dan diurapi oleh Allah sendiri. Ada dua tekanan penting dari pernyataan anak Allah dalam relasinya dengan sebutan raja, yaitu: kapasitas seorang raja dalam menjalankan tugasnya, dan kedua status anak Allah yang dimiliki oleh seorang raja adalah sebuah implikasi dari janji Allah kepada Daud.  Hal ini bisa dibaca dalam kisah Samuel “aku akan menjadi Bapanya, dan ia akan menjadi anak-Ku” (2 Sam.7:14). Raja yang diurapi disebut sebagai anak Allah karena ia memiliki tugas dan kewajiban sebagai orang-orang bertanggung jawab atas keutuhan suatu bangsa.

Dalam Perjanjian Lama, belum bisa ditemukan secara jelas sebutan mesias sebagai anak Allah. Singkatnya dalam Perjanjian Lama, sebutan anak Allah disematkan pada diri Bangsa Israel, raja yang diurapi dan juga (menurut Oscar Cullman)[3] para malaikat Allah karena mendapat perutusan dari Allah. Ketika digunakan untuk menyebutkan anak Allah sebagai bangsa Israel atau status Raja, maka itu adalah status kepemilikan yang spesial.  Penyebutan malaikat sebagai Anak Allah merupakan sebuah penyebutan mitologis yang menampilkan kodrat spiritual dari para malaikat.[4] Dalam uraian yang dipaparkan oleh Banawiratma, gelar anak Allah juga disematkan pada orang-orang yang dikasihi Allah[5] (Kel.4:22, 2Sam 7:14 dan Yer 31:9,20). Pemahaman dalam Perjanjian Lama ini merupakan representasi dari pola pemikiran bangsa Yahudi dalam memahami status hubungan mereka dengan Allah.

Dalam tradisi Yunani dan Romawi, konsep anak Allah merujuk pada sosok pahlawan, para filsuf, dan para pembuat mukjizat. Konsep ini tidak terlepas dari peristiwa historis, yang menunjukan bahwa kekristenan muncul di Imperium Romawi segera setelah kematian Yesus sekitar tahun 30-an M. Bagian Timur kekaisaran Romawi ini, sepenuhnya dikuasai oleh budaya Yunani dan menggunakan bahasa Yunani sebagai interaksi harian. Bahasa Yunani inilah yang menjadi bahasa dalam penulisan Perjanjian Baru.[6]  Latar belakang situasi dan konteks ini bisa menjadi landasan untuk memahami konsep anak Allah dalam tradisi Yunani dan Romawi.

Dalam konsep Yunani-Romawi ada tiga model yang menggambarkan sosok ilahi dan relasinya dengan manusia. Pertama, Allah menjadi manusia dalam waktu sementara, konsep ini berlandaskan pada mitologi yang ditulis oleh Ovid (43SM-17M), yakni Methamophoses menggambarkan bahwa perubahan itu membutuhkan interaksi antara dewa dan manusia dalam waktu yang bersifat temporal atau sementara. Kisah yang mendukung gagasan ini adalah kisah tentang pasangan miskin Filemon dan Baucis yang mendapat kunjungan dari Jupiter dan Merkurius (Dewa dalam mitologi Yunani). Jupiter dan Merkurius mendapat sambutan dari pasangan lansia ini dan dewa ini mengabulkan semua keinginan lansia. Singkatnya, pasangan Filemon dan Baucis ini dianggap sebagai dewa karena Dewa Jupiter dan Merkurius memberikan rahmat itu kepada mereka. Ketika Filemon dan Baucis disembah sebagai dewa, bukan karena mereka sekuat Jupiter dan Merkurius, tapi karena mereka dianggap sebagai manusia yang diangkat ke alam ilahi.[7] Hal ini menunjukan bahwa Allah atau yang Ilahi bisa menjadi manusia. Inilah konsep deifikasio pertama dalam budaya Romawi-Yunani dan konsep ini memiliki relasi dengan kisah Paulus dan Barnabas di Listria (Kis. 14:11) yang memanggil Paulus sebagai Hermes dan Barnabas sebagai Zeus.

Pandangan kedua ialah sosok Ilahi lahir dari manusia yang fana, konsep ini melekat dengan kisah Zeus yang datang kedunia dan melakukan hubungan dengan manusia, sehingga anak yang dilahirkan sering dinamakan sebagai anak dewa. Alexander Agung (356-323 SM) sering diidentikan dengan seorang putra Dewa berkat perkawinan Olympias (manusia) dan Zeus representasi Dewa), atau kisah Jupiter yang jatuh cinta dengan istri Amphytrion, Alcmena yang melahirkan Hercules.[8] Mitos ini mau menunjukan bahwa sosok yang ilahi dapat lahir dari sosok seorang wanita fana. Model ketiga pemahaman manusia ilahi dalam lingkaran Yunani-Romawi ialah manusia yang menjadi Ilahi. Hal ini bisa ditemukan dalam kisah Romulus, Kaisar Julius, Kaisar Agustinus.[9] Dari sini tampak bahwa pemahaman sosok Ilahi atau Allah dalam budaya Yunani-Romawi sering dikaitkan dengan tindakan Dewa mengunjungi manusia.

Dalam Perjanjian Baru, konsep religius Yahudi, Yunani dan Romawi dikaji dengan cara yang baru. Perjanjian Baru secara gamblang menunjukan bahwa sosok Anak Allah adalah sosok Yesus. Injil-injil sinoptik menampakan Yesus sebagai Anak Allah. Yesus sendiri selama hidupnya, menyebut Allah sebagai Abba, Bapa. Yesus sering berbicara tentang dirinya sebagai Anak (Mrk 1:32, Luk. 10:22, Mat 11:27). Identitas ini manu menunjukan hubungan Yesus dengan Bapa. Gagasan Yesus sebagai Anak kepada Allah yang adalah Bapa adalah usaha yang diangkat oleh pata penulis Perjanjian Baru untuk menjelaskan makna salib Yesus. Injil Markus secara jelas menggambarkan Yesus sebagai Kristus dan Anak Allah. Anak Allah muncul tujuh kali dalam injil dan berada pada bagian-bagian kunci injil, misalnya pada bagian awal injil (1.1), digunakan oleh roh jahat (3.11 dan 5.7) yang mengenal Yesus sebagai anak Allah. Di hadapan otoritas Yahudi, imam besar (14:61), dan juga di ayat 15:39) menggambarkan status anak Allah dalam Markus. Pernyataan Allah sendiri mengenai identitas Yesus sebagai anak Allah juga adalah dalam peristiwa pembaptisan (1:11). Dan juga dalam peristiwa transfigurasi pernyataan Anak Allah yang dikasihi diulang kembali[10] Pernyataan ini menggambarkan bahwa status Anak Allah sudah ada dalam teks Markus dan dinyatakan oleh Allah sendiri, Roh Jahat, dan juga oleh manusia sendiri. Ini menunjukan bahwa Yesus memiliki kuasa yang melampaui segalanya. Penginjil Markus menggunakan gelar Anak Allah dari Yesus dalam hubungan dengan ketaatan-Nya kepada Allah. Perumpamaan tentang anak penggarap Kebun Anggur menggambarkan bahwa Yesus adalah putera yang diutus Allah. Walaupun diutus oleh Allah ia tetap dibunuh,dan dalam kuasa-Nya Yesus tetapa taat. Markus mau menampilkan Yesus yang taat bahkan hingga mati di salib.

Peran Roh Kudus Menyingkapi Identitas Anak Allah

            Peran Roh Kudus meliputi seluruh karya Allah, baik penciptaan, penyelamatan manusia dan juga tindakan membarui seluruh ciptaan. Roh Kudus menggerakan hidup para Murid yang takut menjadi pwarta yang berani. Kisah Roh Kudus turun atas para Rasul menjadi teks yang menunjukan bahwa Roh Kudus berperan dalam karya Para Rasul. Dalam Perjanjian Baru Yesus ditampilkan sebagai pribadi yang memiliki kepenuhan Roh Kudus yang turun atas-Nya dalam peristiwa pembaptisan (Mrk 1:10). Peristiwa ini merupakan tanda kekuasaan perutusan-Nya. Yesus di bawah oleh Roh (Mat 4:1) dan berkarya dalam Kuasa Roh (Luk 1:14.18).[11] Dalam Lukas Roh Kudus menuntun dan membimbing orang-orang percaya yang mengalami krisis dan ketidakpastian hidup dengan menyatakan hadirnya Kerajaan Allah di dunia. Roh menggerakkan Simeon untuk pergi ke Bait Allah dan berjumpa dengan bayi Yesus (2:25-27). Secara implisit peran Roh Kudus tidak bisa dipisahkan dengan peran Yesus. Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus adalah pribadi yang memiliki ikatan yang tak terpisahkan dan selalu dalam kesatuan menjalankan karya perutusan di dunia. Roh Kudus memampukan umat manusia untuk menerima Allah yang hadir dalam pribadi Anak.

Peritiwa salib

Peristiwa salib adalah tindakan Allah yang mau berbela rasa dengan manusia. Dalam perspektif Yunani, salib adalah kebodohan dan dalam tradisi Yahudi salib adalah kutukan. Salib merupakan hukuman yang dipakai oleh orang-orang Romawi untuk menghukum siapa saja yang melakukan kejahatan atau melawan Raja.[12] Markus memberikan dua argumen yang mau menunjukan bahwa peristiwa salib atau penderitaan memiliki nilai-nilai yang penting. Dua alasan yang menempatkan bahwa penderitaan melekat dengan perutusan seorang Anak Allah : 1) Yesus sendiri mengatakan tentang penderitaan dan kematian yang akan dialami-Nya. Kata-kata Yesus mengafirmasi peristiwa yang akan terjadi dengan diri-Nya. 2) Penderitaan sebagai bagian inti dari ketaatan Yesus kepada Allah. Dua gambaran ini menunjukan bahwa Yesus mau masuk dalam kehidupan manusia dan mengalami semua peristiwa hidup manusia. Dengan mati di Salib Ia mau menggambarkan bahwa hidupnya diwarnai dengan sikap taat.

Sosok Yesus yang mau menderita, salib dan mati serta hidup bersama manusia menjadi gambaran dasar kristologi dari bawah. Yesus tidak tampak dalam kejayaan, tetapi dalam salib, salib bukanlah momen untuk mengakhiri hidup-Nya tetapi sebagai awal kehidupan bermula dari Salib. Kebangkitan menjelaskan bahwa kematian Yesus bukanlan kegagalan dan kesia-siaan, tetapi sebagai jalan untuk meneggarai bahwa hidup adalah sutu perutusan yang integral dengan kematian dan kebangkitan. Markus menggambarkan kristolgi dari bawah ini dalam karya dan pelayanan Yesus hingga peristiwa Salib sebagai penjelasan dua kriteria di atas. Sebagaiaman markus adalah penginjil yang mau menunjukan konsekuensi ketaatan Yesus kepada Bapa. Dari sini dapat disimpulkan bahwa peristiwa salib adalah suatu rangakian rencana keselamatan Allah bagi manusia melalui Yesus dalam ketaatan-Nya bersama Roh Kudus.

Kesimpulan

            Salib dan Anak Allah adalah dua term yang tidak bisa dipisahkan. Karya keselamatan dari Allah bagi manusia terlaksana lewat kematian Yesus di salib, yang bermuara pada peristiwa kebangkitan. Markus secara jelas memggambarkan bahwa ketaatan Yesus hingga menderita di salib sebagai anak Allah adalah konsekuensi dari ketaat-Nya pada Bapa. Yesus yang taat dan mau melaksankan kehendak Bapa-Nya bahkan hingga wafat, dengan sendirinya mengangkat dan menjadikannya sebagai anak Allah. Dari sini disimpulkan bahwa gelar Anak Allah dalam perspektif Markus selalu dilihat dalam terang ketaatan Yesus. Akhirnya, logika sederhana konsep Markus dalam pemahaman saya adalah demikian, Yesus adalah anak Allah karena Dia taat pada Bapa-Nya dan kematian-Nya di salib adalah suatu bentuk ketaatan seorang Anak pada Bapa. Perkara yang dipaparkan oleh Somad dan Rizieq bisa dibaca dalam terang atau perspektif Markus ini. Salib akhirnya bukan sebuah kebodohan, melainkan suatu konsekuensi ketaatan dan jalan menuju keselamatan.



[2] BBC Indonesia https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38435195 diakses pada 05 Desember 2021

[3] Oscar Cullman, The Christology of the New Testament, (Philadelphia USA: The Westminster, 1963), 272

[4] Eko Riyadi, Yesus Kristus Tuhan Kita, (Yogyakarta: Kanisius, 2011),130

[5] J.B. Banawirtma, (ed) Kristologi dan Allah Tritunggal, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), 29.

[6] Barth D Ehrman, How Jesus Became God, the exaltation of a jewish preacher from Galilee (USA, HarperOne) 19

[7] Barth D Ehrman, How Jesus Became God, the exaltation of a jewish preacher from Galilee, 21

[8] Barth D Ehrman, How Jesus Became God, the exaltation of a jewish preacher from Galilee, 23

[9] Barth D Ehrman, How Jesus Became God, the exaltation of a jewish preacher from Galilee, 24-27

[10] Eko Riyadi, Yesus Kristus Tuhan Kita, (Yogyakarta: Kanisius, 2011),137-138

[11] Herbert Vorgrimler, Trinitas Bapa, Firman, Roh Kudus, (Yogyakarta: Kanisius,  2005), 56

[12] Eko Riyadi, Markus, Engkau adalah Mesias, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 232