Dokpri, Fransiskus Sardi, Pantai Alamanda |
Pengantar
Habib Rizieq dan Ustad Abdul Somad, pernah
mengomentari status ke-Allah-an Yesus dalam ceramah mereka. Menurut Ustad Abdul
Somad, pada salib yang yang tergantung ada jin kafir.[1]
Pernyataan kontroversial Abdul Somad menuai beragam tangggapan dari umat
kristiani. Pernyataanya seolah menurunkan status ke-Allah-an Yesus. Status
Yesus sebagai anak Allah juga dipersoalkan oleh Habib Rizieq, menurutnya jika
Tuhan beranak, bidannya siapa?[2] Dua kasus
ini, merupakan contoh bahwa ada persoalan yang cukup pelik mengenai status
Yesus dan Allah. Masih banyak beragam kasus lain, namun dalam paper ini saya
akan menuangkan gagasan saya bertolak dari kasus mengenai status Anak Allah.
Berhadapan dengan masyarakat yang plural di Indonesia,
umat kristiani diandaikan: 1) memahami dengan baik dan benar ajaran atau
dogma-dogma kristiani [kemampuan rasio], 2) beriman dengan sungguh agar mampu
berkanjang dalam beragam kritikan dan celoteh [kemampuan iman]. Dua sikap ini
akan mengantar kedewasaan iman bagi umat kristiani. Dalam paper ini, saya akan
membangun apologetik tentang status Yesus sebagai Anak Allah yang tersalib dan
menderita dengan pendekatan biblis. Tulisan ini juga adalah usaha saya agar
bisa menguraikan status anak Allah dalam perspekti Markus, sehingga iman umat
kristiani juga berlandaskan pada nalar atau rasio yang benar.
Konsep Anak Allah, dari Perjanjian Lama (Tradisi
Yahudi), Tradisi Helenis-Romawi dan dalam Injil Markus
Konsep Anak Allah yang menderita sering ditemukan
dalam alkitab. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, identitas Anak Allah sering dikaitkan
dengan bangsa Israel. Allah yang telah memilih bangsa Israel, dan karenanya
secara umum bangsa Israel disebut anak Allah (Yes.1:2, 30:1). Bangsa Israel
juga menerima atau menyebut Allah sebagai Bapa. Hal ini terlihat jelas dalam
kisah Yesaya 63:16, “Bukankah engkau Bapa Kami?... Ya Tuhan engkau sendiri Bapa
Kami, namamu ialah penebus kami, sejak dahulu kala”. Pernyataan dan pembuktian
alkitabiah ini, serentak menunjukan bahwa hubungan antara Allah dan Bangsa
Israel, seperti hubungan antara anak dan Bapa. Jadi pembuktian pertama mengenai
identitas anak dalam Perjanjian Lama adalah bangsa Israel sendiri yang disebut
secara kolektif.
Di sisi lain, konsep Anak Allah dalam Perjanjian Lama,
sering diidentikan dengan Raja yang baru diurapi, yang menjadi tangan kanan
Allah, karena dipilih dan diurapi oleh Allah sendiri. Ada dua tekanan penting
dari pernyataan anak Allah dalam relasinya dengan sebutan raja, yaitu:
kapasitas seorang raja dalam menjalankan tugasnya, dan kedua status anak Allah
yang dimiliki oleh seorang raja adalah sebuah implikasi dari janji Allah kepada
Daud. Hal ini bisa dibaca dalam kisah
Samuel “aku akan menjadi Bapanya, dan ia akan menjadi anak-Ku” (2 Sam.7:14).
Raja yang diurapi disebut sebagai anak Allah karena ia memiliki tugas dan
kewajiban sebagai orang-orang bertanggung jawab atas keutuhan suatu bangsa.
Dalam Perjanjian Lama, belum bisa ditemukan secara
jelas sebutan mesias sebagai anak Allah. Singkatnya dalam Perjanjian Lama,
sebutan anak Allah disematkan pada diri Bangsa Israel, raja yang diurapi dan
juga (menurut Oscar Cullman)[3] para
malaikat Allah karena mendapat perutusan dari Allah. Ketika digunakan untuk
menyebutkan anak Allah sebagai bangsa Israel atau status Raja, maka itu adalah
status kepemilikan yang spesial. Penyebutan
malaikat sebagai Anak Allah merupakan sebuah penyebutan mitologis yang
menampilkan kodrat spiritual dari para malaikat.[4] Dalam uraian
yang dipaparkan oleh Banawiratma, gelar anak Allah juga disematkan pada
orang-orang yang dikasihi Allah[5]
(Kel.4:22, 2Sam 7:14 dan Yer 31:9,20). Pemahaman dalam Perjanjian Lama ini
merupakan representasi dari pola pemikiran bangsa Yahudi dalam memahami status hubungan
mereka dengan Allah.
Dalam tradisi Yunani dan Romawi, konsep anak Allah
merujuk pada sosok pahlawan, para filsuf, dan para pembuat mukjizat. Konsep ini
tidak terlepas dari peristiwa historis, yang menunjukan bahwa kekristenan
muncul di Imperium Romawi segera setelah kematian Yesus sekitar tahun 30-an M.
Bagian Timur kekaisaran Romawi ini, sepenuhnya dikuasai oleh budaya Yunani dan
menggunakan bahasa Yunani sebagai interaksi harian. Bahasa Yunani inilah yang
menjadi bahasa dalam penulisan Perjanjian Baru.[6] Latar belakang situasi dan konteks ini bisa
menjadi landasan untuk memahami konsep anak Allah dalam tradisi Yunani dan
Romawi.
Dalam konsep Yunani-Romawi ada tiga model yang
menggambarkan sosok ilahi dan relasinya dengan manusia. Pertama, Allah
menjadi manusia dalam waktu sementara, konsep ini berlandaskan pada mitologi
yang ditulis oleh Ovid (43SM-17M), yakni Methamophoses menggambarkan
bahwa perubahan itu membutuhkan interaksi antara dewa dan manusia dalam waktu
yang bersifat temporal atau sementara. Kisah yang mendukung gagasan ini adalah
kisah tentang pasangan miskin Filemon dan Baucis yang mendapat kunjungan dari
Jupiter dan Merkurius (Dewa dalam mitologi Yunani). Jupiter dan Merkurius
mendapat sambutan dari pasangan lansia ini dan dewa ini mengabulkan semua
keinginan lansia. Singkatnya, pasangan Filemon dan Baucis ini dianggap sebagai
dewa karena Dewa Jupiter dan Merkurius memberikan rahmat itu kepada mereka.
Ketika Filemon dan Baucis disembah sebagai dewa, bukan karena mereka sekuat
Jupiter dan Merkurius, tapi karena mereka dianggap sebagai manusia yang diangkat
ke alam ilahi.[7]
Hal ini menunjukan bahwa Allah atau yang Ilahi bisa menjadi manusia. Inilah
konsep deifikasio pertama dalam budaya Romawi-Yunani dan konsep ini memiliki
relasi dengan kisah Paulus dan Barnabas di Listria (Kis. 14:11) yang memanggil
Paulus sebagai Hermes dan Barnabas sebagai Zeus.
Pandangan kedua ialah sosok Ilahi lahir dari manusia
yang fana, konsep ini melekat dengan kisah Zeus yang datang kedunia dan
melakukan hubungan dengan manusia, sehingga anak yang dilahirkan sering
dinamakan sebagai anak dewa. Alexander Agung (356-323 SM) sering diidentikan
dengan seorang putra Dewa berkat perkawinan Olympias (manusia) dan Zeus
representasi Dewa), atau kisah Jupiter yang jatuh cinta dengan istri Amphytrion,
Alcmena yang melahirkan Hercules.[8] Mitos ini
mau menunjukan bahwa sosok yang ilahi dapat lahir dari sosok seorang wanita
fana. Model ketiga pemahaman manusia ilahi dalam lingkaran Yunani-Romawi
ialah manusia yang menjadi Ilahi. Hal ini bisa ditemukan dalam kisah Romulus,
Kaisar Julius, Kaisar Agustinus.[9] Dari sini
tampak bahwa pemahaman sosok Ilahi atau Allah dalam budaya Yunani-Romawi sering
dikaitkan dengan tindakan Dewa mengunjungi manusia.
Dalam Perjanjian Baru, konsep religius Yahudi, Yunani
dan Romawi dikaji dengan cara yang baru. Perjanjian Baru secara gamblang
menunjukan bahwa sosok Anak Allah adalah sosok Yesus. Injil-injil sinoptik
menampakan Yesus sebagai Anak Allah. Yesus sendiri selama hidupnya, menyebut
Allah sebagai Abba, Bapa. Yesus sering berbicara tentang dirinya sebagai Anak
(Mrk 1:32, Luk. 10:22, Mat 11:27). Identitas ini manu menunjukan hubungan Yesus
dengan Bapa. Gagasan Yesus sebagai Anak kepada Allah yang adalah Bapa adalah
usaha yang diangkat oleh pata penulis Perjanjian Baru untuk menjelaskan makna
salib Yesus. Injil Markus secara jelas menggambarkan Yesus sebagai Kristus dan
Anak Allah. Anak Allah muncul tujuh kali dalam injil dan berada pada
bagian-bagian kunci injil, misalnya pada bagian awal injil (1.1), digunakan
oleh roh jahat (3.11 dan 5.7) yang mengenal Yesus sebagai anak Allah. Di
hadapan otoritas Yahudi, imam besar (14:61), dan juga di ayat 15:39)
menggambarkan status anak Allah dalam Markus. Pernyataan Allah sendiri mengenai
identitas Yesus sebagai anak Allah juga adalah dalam peristiwa pembaptisan
(1:11). Dan juga dalam peristiwa transfigurasi pernyataan Anak Allah yang
dikasihi diulang kembali[10]
Pernyataan ini menggambarkan bahwa status Anak Allah sudah ada dalam teks
Markus dan dinyatakan oleh Allah sendiri, Roh Jahat, dan juga oleh manusia
sendiri. Ini menunjukan bahwa Yesus memiliki kuasa yang melampaui segalanya. Penginjil
Markus menggunakan gelar Anak Allah dari Yesus dalam hubungan dengan
ketaatan-Nya kepada Allah. Perumpamaan tentang anak penggarap Kebun Anggur
menggambarkan bahwa Yesus adalah putera yang diutus Allah. Walaupun diutus oleh
Allah ia tetap dibunuh,dan dalam kuasa-Nya Yesus tetapa taat. Markus mau
menampilkan Yesus yang taat bahkan hingga mati di salib.
Peran Roh Kudus Menyingkapi Identitas Anak Allah
Peran Roh Kudus meliputi seluruh karya Allah, baik
penciptaan, penyelamatan manusia dan juga tindakan membarui seluruh ciptaan.
Roh Kudus menggerakan hidup para Murid yang takut menjadi pwarta yang berani.
Kisah Roh Kudus turun atas para Rasul menjadi teks yang menunjukan bahwa Roh
Kudus berperan dalam karya Para Rasul. Dalam Perjanjian
Baru Yesus ditampilkan sebagai pribadi yang memiliki kepenuhan Roh Kudus yang
turun atas-Nya dalam peristiwa pembaptisan (Mrk 1:10). Peristiwa ini merupakan
tanda kekuasaan perutusan-Nya. Yesus di bawah oleh Roh (Mat 4:1) dan berkarya
dalam Kuasa Roh (Luk 1:14.18).[11] Dalam
Lukas Roh Kudus menuntun dan membimbing orang-orang percaya
yang mengalami krisis dan ketidakpastian hidup dengan menyatakan hadirnya
Kerajaan Allah di dunia. Roh menggerakkan Simeon untuk pergi ke Bait Allah dan berjumpa
dengan bayi Yesus (2:25-27). Secara
implisit peran Roh Kudus tidak bisa dipisahkan dengan peran Yesus. Allah Bapa,
Allah Putera dan Allah Roh Kudus adalah pribadi yang memiliki ikatan yang tak
terpisahkan dan selalu dalam kesatuan menjalankan karya perutusan di dunia. Roh
Kudus memampukan umat manusia untuk menerima Allah yang hadir dalam pribadi
Anak.
Peritiwa salib
Peristiwa salib adalah tindakan Allah yang mau berbela
rasa dengan manusia. Dalam perspektif Yunani, salib adalah kebodohan dan dalam
tradisi Yahudi salib adalah kutukan. Salib merupakan hukuman yang dipakai oleh
orang-orang Romawi untuk menghukum siapa saja yang melakukan kejahatan atau
melawan Raja.[12]
Markus memberikan dua argumen yang mau menunjukan bahwa peristiwa salib atau
penderitaan memiliki nilai-nilai yang penting. Dua alasan yang menempatkan
bahwa penderitaan melekat dengan perutusan seorang Anak Allah : 1) Yesus
sendiri mengatakan tentang penderitaan dan kematian yang akan dialami-Nya.
Kata-kata Yesus mengafirmasi peristiwa yang akan terjadi dengan diri-Nya. 2)
Penderitaan sebagai bagian inti dari ketaatan Yesus kepada Allah. Dua gambaran
ini menunjukan bahwa Yesus mau masuk dalam kehidupan manusia dan mengalami
semua peristiwa hidup manusia. Dengan mati di Salib Ia mau menggambarkan bahwa
hidupnya diwarnai dengan sikap taat.
Sosok Yesus yang mau menderita, salib dan mati serta
hidup bersama manusia menjadi gambaran dasar kristologi dari bawah. Yesus tidak
tampak dalam kejayaan, tetapi dalam salib, salib bukanlah momen untuk
mengakhiri hidup-Nya tetapi sebagai awal kehidupan bermula dari Salib.
Kebangkitan menjelaskan bahwa kematian Yesus bukanlan kegagalan dan
kesia-siaan, tetapi sebagai jalan untuk meneggarai bahwa hidup adalah sutu
perutusan yang integral dengan kematian dan kebangkitan. Markus menggambarkan
kristolgi dari bawah ini dalam karya dan pelayanan Yesus hingga peristiwa Salib
sebagai penjelasan dua kriteria di atas. Sebagaiaman markus adalah penginjil
yang mau menunjukan konsekuensi ketaatan Yesus kepada Bapa. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa peristiwa salib adalah suatu rangakian rencana keselamatan
Allah bagi manusia melalui Yesus dalam ketaatan-Nya bersama Roh Kudus.
Kesimpulan
Salib dan Anak Allah adalah dua term yang tidak bisa
dipisahkan. Karya keselamatan dari Allah bagi manusia terlaksana lewat kematian
Yesus di salib, yang bermuara pada peristiwa kebangkitan. Markus secara jelas
memggambarkan bahwa ketaatan Yesus hingga menderita di salib sebagai anak Allah
adalah konsekuensi dari ketaat-Nya pada Bapa. Yesus yang taat dan mau
melaksankan kehendak Bapa-Nya bahkan hingga wafat, dengan sendirinya mengangkat
dan menjadikannya sebagai anak Allah. Dari sini disimpulkan bahwa gelar Anak
Allah dalam perspektif Markus selalu dilihat dalam terang ketaatan Yesus.
Akhirnya, logika sederhana konsep Markus dalam pemahaman saya adalah demikian,
Yesus adalah anak Allah karena Dia taat pada Bapa-Nya dan kematian-Nya di salib
adalah suatu bentuk ketaatan seorang Anak pada Bapa. Perkara yang dipaparkan
oleh Somad dan Rizieq bisa dibaca dalam terang atau perspektif Markus ini. Salib
akhirnya bukan sebuah kebodohan, melainkan suatu konsekuensi ketaatan dan jalan
menuju keselamatan.
[1] CNN
Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190819143928-12-422696/abdul-somad-dilaporkan-ke-polisi-terkait-ceramah-soal-salib diakses
pada 05 Desember 2021
[2] BBC
Indonesia https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38435195 diakses
pada 05 Desember 2021
[3] Oscar
Cullman, The Christology of the New Testament, (Philadelphia USA: The
Westminster, 1963), 272
[4] Eko Riyadi,
Yesus Kristus Tuhan Kita, (Yogyakarta: Kanisius, 2011),130
[5] J.B.
Banawirtma, (ed) Kristologi dan Allah Tritunggal, (Yogyakarta: Kanisius, 1986),
29.
[6] Barth D
Ehrman, How Jesus Became God, the exaltation of a jewish preacher from
Galilee (USA, HarperOne) 19
[7] Barth D
Ehrman, How Jesus Became God, the exaltation of a jewish preacher from
Galilee, 21
[8] Barth D
Ehrman, How Jesus Became God, the exaltation of a jewish preacher from
Galilee, 23
[9] Barth D Ehrman,
How Jesus Became God, the exaltation of a jewish preacher from Galilee, 24-27
[10] Eko Riyadi,
Yesus Kristus Tuhan Kita, (Yogyakarta: Kanisius, 2011),137-138
[11] Herbert
Vorgrimler, Trinitas Bapa, Firman, Roh Kudus, (Yogyakarta:
Kanisius, 2005), 56
[12] Eko Riyadi,
Markus, Engkau adalah Mesias, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 232