Senin, 27 September 2021

Pemikiran Teologi Gregorius dari Nyssa

 


Riwayat Hidup

Gregorius dari Nyssa lahir pada tahun 335 di Kapadokia.[1] Gregorius dari Nisa adalah seorang uskup, mistikus, teolog, dan santo.[2] Ayahnya bernama Basil dari Caeserea, yang terkenal sebagai seorang ahli pidato di Kapadokia (sekarang Turki).[3] Pada awalnya Gregorius menekuni ilmu retorika akan tetapi akhirnya ia memutuskan menjadi seorang pertapa dengan menjauhkan diri dari kehidupan duniawi. Gregorius menujukan dirinya sebagai orang yang tertarik dengan meditasi, refleksi, serta keterbukaan bagi kebudayaan pada zamannya. Ia menaruh perhatian pada teologi mistik dan kontemplasi.

Pada tahun 372 Gregorius ditahbiskan menjadi uskup di Kapodokia yaitu di wilayah Nyssa. Itulah alasan mengapa ia dipanggil Gregorius dari Nyssa. Ia mengikuti konsili Antiokhia dan konsili Konstantinopel, tempat mempertahankan credo (syahdat para rasul) melawan arianisme. Arianisme ialah ajaran dari Arius, seorang imam Alexandria (Mesir) yang menyangkal keallahan Yesus. Allah Putera dianggap bukan Allah yang sejati, melainkan semacam makhluk pengantara di antara Allah-Bapa dan seluruh alam ciptaan. Ajaran ini ditolak oleh konsili Nicea (tahun 325) dengan alasan tidak sesuai dengan Wahyu yang dibawa oleh Yesus Kristus. Gregorius wafat pada tahun 395.[4] Gregorius adalah murid Origenes.[5]

Pendidikannya sebagai orang kristiani diperhatikan secara khusus oleh Basilius Agung kakaknya, yang pernah disebutnya ‘bapa dan guru’ dan juga oleh saudarinya Macrina. Gregorius dari Nyssa juga dikenal sebagai pemikir dalam hal teologi spekulatif dan mistik. Ia berbeda dengan kedua orang Kapadokia Gregorius dari Nazianze yang termasyhur dalam hal berpidato dan Basiulius Agung yang condong sebagai administrator.[6]

Sumbangsih Teologinya

            Pemikiran teologis Gregorius dari Nyssa tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Gregorius dari Nazianze dan Basilius Agung. Mereka mengembangkan terminologi yang tepat untuk membedakan antara hakikat Allah pada umumnya dan pribadi individual. Ketiganya menggunakan konsep ousia untuk menunjukan haikat (esensi atau kodrat) ilahi yang dimiliki bersama oleh ketiga Diri, sedangkan konsep hypostatis untuk eksistensi pribadi yang dimiliki oleh masing-masing Diri ilahi. Ousia mengacu kepada hakikat Allah yang umum, dan hypostatis menunjuk kepada bentuk-bentuk khusus yang diterima oleh hakikat ilahi ini dalam diri pribadi Bapa, Putra, dan Roh Kudus.[7]

Bidaah yang dihadapi oleh Gregorius pada zamannya adalah apolinarisme yaitu bidaah dalam bidang Kristologi. Bidaah ini dipelopori oleh uskup Apollinarius dari Laodikhea (310-390) yang membela keilahian Kristus yang berdaya guna, terutama demi keselamatan semua manusia dengan mengurbankan kemanusiaan Yesus Kristus dengan penegasan bahwa Kristus tidak mempunyai roh atau jiwa rasional.[8] Apolinarius mengunggulkan unsur keilahiaan dengan mutlak sehingga kurang memperhatikan unsur kemanusiaan Yesus Kristus. Dalam bidang Kristologi Gregorius dari Nyssa membahas Teologi gambar (teologi-eikon) dan Ketuhanan Yesus Kristus dan Keilahiaan Roh Kudus. Pemikiran teologis dari Gregorius yang dipengaruhi oleh filsafat adalah penjelasan tentang substansi yang sama antara Bapa dan Putra.[9]

Pemikrannya yang lain dalam teologi ialah tentang keselamatan di akhir zaman. Menurutnya orang yang tidak dibaptis dan juga yang telah dibaptis tetapi kemudian berdosa dan tanpa menebusnya dengan “doa atau filsafat” sesudah kematiannya harus dimurnikan oleh api.[10] Gagasan tentang neraka sebagai hukum abadi tidak ada pada Gregorius. Gregorius memandang pemulihan dunia itu sebagai akhir zaman secara mutlak, satu kali untuk selamanya. Dengan kecerdasaan yang tajam dan pengetahuaan tentang filsafat dan teologi, dia membela iman kristiani melawan para bidaah yang menyangkal keallahan Putra dan Roh Kudus (seperti Enomius dan orang-orang Makedonia), atau menyangsikan kesempurnaan kemanusiaan Kristus (seperti Apollinaris).

Gregorius merenungkan secara khusus penciptaan manusia. Dalam penciptaan dilihatnya pantulan Sang Pencipta dan disini ditemukan jalan menuju Allah. Gregorius juga menulis karya penting tentang riwayat hidup Musa, yang ditampilkan sebagai manusia dalam perjalanan kepada Allah: pendakian gunung sinai baginya menjadi suatu gambaran pendakian kehidupan manusiawi menuju kehidupan sejati, menuju pertemuan dengan Allah. Gregorius menjelaskan Allah adalah “seniman yang terbaik, Ia membentuk kodrat kita sedemikia rupa, sehingga sesuai untuk mendapatkan kedudukan sebagai raja. Melalui kelebihan yang diberikan kepada jiwa dan bentuk yang diberikan kepada tubuh, Allah sudah mengatur supaya manusia sungguh sesuai untuk mendapat kekuasaan”.[11]

Gregorius dari Nyssa menunjukkan diri sebagai orang yang berpandangan amat luhur tentang martabat manusia. Tujuan manusia adalah menjadikan diri serupa dengan Allah, dan tujuan itu tercapai melalui kasih, pengetahuaan dan pelaksanaan keutamaan-keutamaan yang merupakan “sinar-sinar cahaya yang turun dari kodarat ilahi”, dalam gerakan terus-menerus mendekat pada yang baik. Panggilan manusia seluruhnya adalah hidup dalam kasih dan pengetahuan-pengetahuan akan keutamaan hidup.


[1] Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa Gereja, diterjemahkan dari The Fathers oleh Waskito SJ, (Malang: Dioma, 2010), 123.

[2] Morwenna Ludlow, Gregory of Nyssa, ancient and [post] modern, (New York Oxford University Press: 2007), 1.

[3] Agustinus Riyadi, Bapa-Bapa Gereja Berfilsafat, (Surabaya: Pustakamas, 2011), 91.

[4] F.D Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 121-122.

[5] Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 530.

[6] Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 1 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 151.

[7] Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 1, 151.

[8] Agustinus Riyadi, Bapa-Bapa Gereja Berfilsafat, 93.

[9] Agustinus Riyadi, Bapa-Bapa Gereja Berfilsafat, 94-97.

[10] Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 2, 529.

[11] Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa Gereja, 124-126.