Riwayat Hidup
Gregorius dari Nyssa lahir pada tahun 335 di Kapadokia.[1]
Gregorius dari Nisa adalah seorang uskup, mistikus, teolog, dan santo.[2]
Ayahnya bernama Basil dari Caeserea, yang terkenal sebagai seorang ahli pidato
di Kapadokia (sekarang Turki).[3]
Pada awalnya Gregorius menekuni ilmu retorika akan tetapi akhirnya ia
memutuskan menjadi seorang pertapa dengan menjauhkan diri dari kehidupan
duniawi. Gregorius menujukan dirinya sebagai orang yang tertarik dengan
meditasi, refleksi, serta keterbukaan bagi kebudayaan pada zamannya. Ia menaruh
perhatian pada teologi mistik dan kontemplasi.
Pada tahun 372 Gregorius ditahbiskan menjadi uskup di Kapodokia yaitu di
wilayah Nyssa. Itulah alasan mengapa ia dipanggil Gregorius dari Nyssa. Ia
mengikuti konsili Antiokhia dan konsili Konstantinopel, tempat mempertahankan
credo (syahdat para rasul) melawan arianisme. Arianisme ialah ajaran dari
Arius, seorang imam Alexandria (Mesir) yang menyangkal keallahan Yesus. Allah
Putera dianggap bukan Allah yang sejati, melainkan semacam makhluk pengantara
di antara Allah-Bapa dan seluruh alam ciptaan. Ajaran ini ditolak oleh konsili
Nicea (tahun 325) dengan alasan tidak sesuai dengan Wahyu yang dibawa oleh
Yesus Kristus. Gregorius wafat pada tahun 395.[4]
Gregorius adalah murid Origenes.[5]
Pendidikannya sebagai orang kristiani diperhatikan secara khusus oleh
Basilius Agung kakaknya, yang pernah disebutnya ‘bapa dan guru’ dan juga oleh
saudarinya Macrina. Gregorius dari Nyssa juga dikenal sebagai pemikir dalam hal
teologi spekulatif dan mistik. Ia berbeda dengan kedua orang Kapadokia
Gregorius dari Nazianze yang termasyhur dalam hal berpidato dan Basiulius Agung
yang condong sebagai administrator.[6]
Sumbangsih
Teologinya
Pemikiran teologis Gregorius
dari Nyssa tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Gregorius dari Nazianze dan
Basilius Agung. Mereka mengembangkan terminologi yang tepat untuk membedakan
antara hakikat Allah pada umumnya dan pribadi individual. Ketiganya menggunakan
konsep ousia untuk menunjukan haikat
(esensi atau kodrat) ilahi yang dimiliki bersama oleh ketiga Diri, sedangkan
konsep hypostatis untuk eksistensi
pribadi yang dimiliki oleh masing-masing Diri ilahi. Ousia mengacu kepada hakikat Allah yang umum, dan hypostatis menunjuk kepada bentuk-bentuk
khusus yang diterima oleh hakikat ilahi ini dalam diri pribadi Bapa, Putra, dan
Roh Kudus.[7]
Bidaah yang dihadapi oleh Gregorius pada zamannya adalah apolinarisme
yaitu bidaah dalam bidang Kristologi. Bidaah ini dipelopori oleh uskup
Apollinarius dari Laodikhea (310-390) yang membela keilahian Kristus yang
berdaya guna, terutama demi keselamatan semua manusia dengan mengurbankan
kemanusiaan Yesus Kristus dengan penegasan bahwa Kristus tidak mempunyai roh
atau jiwa rasional.[8]
Apolinarius mengunggulkan unsur keilahiaan dengan mutlak sehingga kurang
memperhatikan unsur kemanusiaan Yesus Kristus. Dalam bidang Kristologi Gregorius
dari Nyssa membahas Teologi gambar (teologi-eikon) dan Ketuhanan Yesus Kristus dan
Keilahiaan Roh Kudus. Pemikiran teologis dari Gregorius yang dipengaruhi oleh
filsafat adalah penjelasan tentang substansi yang sama antara Bapa dan Putra.[9]
Pemikrannya yang lain dalam teologi ialah tentang keselamatan di akhir
zaman. Menurutnya orang yang tidak dibaptis dan juga yang telah dibaptis tetapi
kemudian berdosa dan tanpa menebusnya dengan “doa atau filsafat” sesudah
kematiannya harus dimurnikan oleh api.[10]
Gagasan tentang neraka sebagai hukum abadi tidak ada pada Gregorius. Gregorius
memandang pemulihan dunia itu sebagai akhir zaman secara mutlak, satu kali
untuk selamanya. Dengan kecerdasaan yang tajam dan pengetahuaan tentang
filsafat dan teologi, dia membela iman kristiani melawan para bidaah yang
menyangkal keallahan Putra dan Roh Kudus (seperti Enomius dan orang-orang
Makedonia), atau menyangsikan kesempurnaan kemanusiaan Kristus (seperti
Apollinaris).
Gregorius merenungkan secara khusus penciptaan manusia. Dalam penciptaan
dilihatnya pantulan Sang Pencipta dan disini ditemukan jalan menuju Allah.
Gregorius juga menulis karya penting tentang riwayat hidup Musa, yang
ditampilkan sebagai manusia dalam perjalanan kepada Allah: pendakian gunung
sinai baginya menjadi suatu gambaran pendakian kehidupan manusiawi menuju
kehidupan sejati, menuju pertemuan dengan Allah. Gregorius menjelaskan Allah
adalah “seniman yang terbaik, Ia membentuk kodrat kita sedemikia rupa, sehingga
sesuai untuk mendapatkan kedudukan sebagai raja. Melalui kelebihan yang
diberikan kepada jiwa dan bentuk yang diberikan kepada tubuh, Allah sudah
mengatur supaya manusia sungguh sesuai untuk mendapat kekuasaan”.[11]
[1] Paus Benediktus
XVI, Bapa-Bapa Gereja, diterjemahkan dari The Fathers oleh
Waskito SJ, (Malang: Dioma, 2010), 123.
[2] Morwenna Ludlow, Gregory
of Nyssa, ancient and [post] modern, (New
York Oxford University Press: 2007), 1.
[3] Agustinus Riyadi,
Bapa-Bapa Gereja Berfilsafat, (Surabaya: Pustakamas, 2011),
91.
[4] F.D Wellem, Riwayat
Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta,
121-122.
[5] Nico Syukur
Dister, OFM, Teologi Sistematika 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 530.
[6] Nico Syukur
Dister, OFM, Teologi Sistematika 1 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 151.
[7]
Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 1, 151.
[8] Agustinus Riyadi,
Bapa-Bapa Gereja Berfilsafat,
93.
[9] Agustinus Riyadi,
Bapa-Bapa Gereja Berfilsafat, 94-97.
[10] Nico Syukur
Dister, OFM, Teologi Sistematika 2,
529.
[11] Paus Benediktus
XVI, Bapa-Bapa Gereja, 124-126.