Selasa, 25 Januari 2022

Kristologi = Solidaritas

 
DOKPRI,  Fransiskus Sardi


Satu hal yang muncul dalam pikiran saya ketika merenungkan tentang kristologi adalah pribadi Kristus. Kristus adalah representasi dari kebaikan. Kristus, tidak pernah terpisah dari kosa kata kebaikan. Dari sini, ketika membahas tentang kristologi, dengan sendirinya hal-hal yang menjadi representatif dari Pribadi Kristus secara otomatis muncul dalam permenungan saya.
Sebagai orang Kristiani, yang sejak kecil dididik dalam ajaran Kristiani saya juga mengenal Pribadi Kristus yang erat dengan kata penyelamat, penebus, pembebas, dan beragam term yang menunjukkan sisi kebaikan Kristus. Hemat saya, kristologi adalah pemahaman akan hal-hal tersebut, terlepas dari pemahaman ilmiah tentang konsep kristologi yang menunjukan refleksi sistematis tentang pengalaman keselamatan dalam Kristus.
Konsep atau paradigma lain yang muncul dalam pikiran saya, ketika membahas kristologi adalah, kelekatan hubungannya dengan konsep soterologis, dan pneumatolgis. Kita meyakin ajaran yang menekankan bahwa Yesus adalah inkarnasi diri Allah yang menyelamatkan umat manusia dalam kuasa Roh Kudus. Hubungan Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus, dalam kasih, adalah panggilan bagi umat kristiani untuk menghidupi kasih.
Membahas hubungan Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus (atau konsep trinitas dalam paham ilmiah), dalam praksis hidup harian adalah membahas relasi kasih dan solidaritas dalam hidup harian. Bagi saya, adalah terlalu abstrak membahas teori kristologi tanpa menkankan relasi interpersonal antar sesama manusia, tanpa melihat sejarah penyelamatan yang dilaksanakan beribu tahun lalu dalam terang dunia zaman sekarang. Kristologi perlu dipahami dalam kekinian zaman, dan diinterpretasi dengan melihat dan memeperhatikan situasi dan konteks yang sedang melanda dunia.
Dalam salah satu tulisan, Romo Bagus (Majalah Basis No 9-10 tahun 69, 2020, Berhenti Menikmati Hidup, Pendidikan di Masa Krisis) menulis satu frasa yang menarik perhatian saya. Dalam tulisan itu ada satu term yang menegaskan bahwa no connection without attention, tidak ada perhatian tanpa relasi atau koneksi. Bagi saya ini adalah core of the core dari konsep kristologi, soterologi dan pneumatolgi. Konsep kristologis, hemat saya dalam pandangan masyrakat grassroot seharusnya dijelaskan dengan pernyataan demikian. Membuat abstraksi konsep kristologi mudah dipahami menjadi tugas yang mesti dijalankan.
Dalam kuliah tentang pandemic covid-19 di awal semester 2 tahun lalu, Romo Hasto memberikan satu buku (The Rise of Chritianity) yang berkisah tentang berkembangnya jemaat perdana di masa wabah dan bagaimana mereka bersolider di saat itu. Menariknya saat itu mereka tidak berbicara tentang konsep kristologi, dan menjelaskan ajaran kristologi, mereka bersolider dengan orang-orang yang mengalami serangan wabah saat itu. Dalam buku yang ditulis oleh Rodney Stark tersebut, salah satu tesisnya membahas tentang sikap jemat kristiani saat itu. Dikatakan, bahwa sejak awal nilai-nilai cinta dan kasih amal kristian telah dinyatakan dalam norma-norma pelayanan sosial dan solidaritas.
Diuraikan juga dalam buku itu bahwa, ketika bencana terjadi, orang-orang Kristen tentunya mengalami juga yang namanya kematian, tetapi di saat yang sama jumlah orang kristiani semakin bertambah. Hal lain juga yang perlu diperhatikan bahwa dalam solidaritas kasih tersebut, tingkat kelangsungan hidup jauh lebih tinggi. Ini berarti bahwa setelah epidemi, orang Kristen membentuk presentase yang lebih besar dari sebelumnya, bahkan tanpa orang baru bertobat. Selain itu, dijelaskan pula bahwa tingkat kelangsungan hidup mereka menjadi lebih baik, yang akhirnya juga mempengaruhi pertobatan.
Bertolak dari peristiwa epidemi, dan Sekaran di masa pandemi ini, saya menilai relasi solidaritas menjadi suatu hal yang penting. Sebagaimana organisasi kesehatan dunia (WHO) menekan bahwa keselamatan dunia tidak bisa diraih tanpa suatu sikap konektivitas antar individu. Tidak ada satu orangpun yang bisa selamat, tanpa keselamatan dari orang-orang lain.
Pada akhirnya, sebagai mahasiswa awam, saya memhami bahwa solidaritas itu bukan tentang uraian gagasan yang menarik. Kristologi itu bukan tentang perdebatan akademis dalam ruang kuliah, jauh melampaui itu semua, kristologi itu solidaritas. Kristologi itu adalah kemampuan saya melihat wajah liyan, dan menempatkan mereka sebagai aku yang lain. Saya selama masa-masa pandemi, secara pribadi mengenal apa arti solidaritas itu. Saya, jujur bahwa pengalaman akan Kristus justru saya rasakan ketika perjumpaan dengan orang-orang yang bersolider. Saya sebut saja misalnya pembagian Sembako oleh Sekretariat Paroki Kota Baru, SVD -SSPS berbagi kasih, nasi estafet, dan ada banyak aksi solidaritas lain di masa pandemi ini adalah wajah nyata dari solidaritas. Pembagian sembako ini memang kesannya simple, dan tidak menghilangkan persoalan bumi manusia ini, tapi ini adalah praktek kristologis yang nyata, dan sudah pernah dipraktekan oleh jemaat perdana. Itulah alasannya mengapa saya menulis judul refleksi saya ini kristologi itu sama dengan solidaritas.
Berangkat dari sini, saya juga merasa seperti ditampar oleh refleksi saya sendiri. Saya menekankan nilai solidaritas dalam kehidupan bersama di masa krisis untuk menghidupkan kristologi. Namun pertanyaanya, bagaiaman hal itu bisa terjadi jika saya tidak memiliki konsep yang mendalam tentang kristologi? Apakah saya mampu bersolider dan membagi sukacita kristus di saat saya mengalami situasi krisis? Hingga akhirnya bagaimana membuat kristologi itu berakar dalam hidup di saat Kristus tidak menjadi pegangan saya? Masih mungkinkah Kristus berkarya, bersolider dalam diri pribadi yang menyangkal karya Kristus?