Jumat, 19 Juni 2020

PERJUMPAAN VS TEMBOK

Perjumpaan

Kemampuan mencintai adalah sebuah seni yang melekat dalam diri setiap manusia. Seni untuk mencintai merupakan anugerah Tuhan dan itu termaktub dalam diri setiap orang. Cinta yang ialah sebuah seni hanya bisa ditemukan apabila ada ruang dan waktu, karena cinta bukanlah sesuatu yang abstrak. Cinta bukan semata tentang rasa dalam kata, frasa, kalimat, atau pun barisan bait-bait indah nan menawan. Cinta sejatinya adalah tentang perjumpaan. Perjumpaan adalah embrio cinta. Ketakutan terhadap perjumpaan adalah ketakutan terhadap cinta, karena cinta selalu mekar dan bersemi dalam dan melalui perjumpaan.

Perjumpaan memang membutuhkan sebuah sikap keberanian. Keberanian ialah ketakutan yang diucapkan dalam doa dan semuanya terkabulkan dalam perjumpaan. Pada umumnya manusia tidak bisa mencinta atau dicinta tanpa terlebih dahulu merajut kisah perjumpaan. Perjumpaan adalah titik start dan juga titik  finishnya cinta dan bagi penulis cinta yang dibalut dalam nuansa perjumpaan tidak pernah mengenal titik  finishnya; ia abadi.

Tembok

Ketika Donald Trump mencalonkan dirinya menjadi presiden Amerika pada tahun 2017 salah satu janji kampanyenya adalah mendirikan tembok di perbatasan Meksiko dan USA. Tujuannya adalah untuk menghindari masuknya imigran gelap ke wilayah Amerika. Kampanye Trump ini menuai pro dan kontra; ada yang mendukung ada juga yang menolak. Paus Fransiskus, pemimpin gereja katolik Roma mengecam Trump dengan sindiran yang bernuansa reflektif dan berdaya transformative. Dikutip dari Tempo.co (Edisi 26 January 2019) ia menegaskan saatnya sekarang untuk membangun jembatan bukan tembok. Di lansir dari Detiknews 29 Mei 2019 memuat pernyataan Paus yang menyatakan pihak-pihak yang membangun tembok akan berakhir menjadi tahanan dari tembok yang mereka bangun. Fenomena serupa (tembok) sebenarnya sudah pernah dan terjadi di Negara Jerman; Tembok Berlin (Berliner Mauer) yang dibangun pada 13 Agustus 1961 dibawah pimpinan Walter Ulbricht menjadi pemisah antara Berlin Barat dan Berlin Timur kala itu. Oleh otoritas Jeman Barat Tembok ini disebut sebagai tembok memalukan yang membatasi kebebasan bergerak dan berdinamika dalam hidup. Jerman Timur mengidentikan Tembok ini sebagai dinding perlindungan anti-fasis (Antifaschistischer Schutzwall). Tembok ini dirubuhkan sekitar tahun 1989. Jatuhnya Tembok Berlin menjadi reunifikasi Jerman, yang ditandatangani pada tanggal 3 Oktober 1990. Proses penyatuaan kembali ini menjadi tanda bahwasannya tembok yang berdiri sekitar kurang lebih tiga dekade ini telah menghambat dan membatasi ruang perjumpaan (terlepas dari faktor-faktor lainnya).

What Will We Do?

Menanggapi perkembangan zaman yang canggih, dan melahirkan sikap individualis ekstrem dalam diri setiap orang. Setiap orang dituntut untuk menawarkan pentingnya perjumpaan dalam hidup dan dialog antarmuka. Dialog antarmuka mutlak dibutuhkan di zaman ini. Berjumpa face to face berarti suatu usaha untuk merobohkan tembok-tembok keegoisan, meruntuhkan semua aspek negative thinking tentang orang lain dari dalam diri dan ada kesedian untuk menderita dan menanggalkan kenyamanan diri demi membangun sebuah nilai perjumpaan yang hakiki. Perjumpaan yang hakiki adalah perjumpaan yang selalu dikenang meski harus pergi dan berpisah oleh berbagai tantangan hidup.

 Perjumpaan menjadi sarana untuk menabur benih cinta dan juga sarana untuk menuai cinta. Siapa yang menabur cinta pasti akan menuai cinta, karena cinta selalu menarik cinta. Perjumpaan juga menjadi momen untuk berbagi kasih, sukacita, dukacita dan harapan hidup. Perjumpaan selalu mengandaikan robohnya sebuah tembok penghambat perjumpaan. Dengan demikian perjumpaan pada akhirnya akan selalu menang melawan tembok.


                Yogyakarta Juni 2020

                Fransikus Sardi