Rabu, 16 Februari 2022

PEMIKIRAN STANLEY JEDIDIAH SAMARTHA

findagrave.com


Stanley memiliki gagasan dan pemikiran teologi yang sangat kaya. Paradigma teologinya tidak pernah terlepas dari konteks kebudayaan India. Ada banyak sumbangsih pemikirannya dalam gagasan teologi, dan dalam paper ini saya akan mencoba memberikan dua poin penting dari gagasan Stanley yaitu mengenai konsep kristologi dan gerakan ekumenikal untuk merintis dialog antar agama. Bagi saya secara pribadi, ini adalah dua poin penting yang cukup menarik untuk dibahas dari pemikiran Standley. Sebelum memaparkan tentang pemikiran teologinya, ada baiknya untuk membahas biografi singkatnya.

Biografi Stanley dan karya-karyanya[1]

Stanley Jedidiah Samartha lahir pada 7 Oktober 1920 di Karkal, India sebagai anak seorang pendeta Basel Evangelical Mission. Ia dibesarkan di lingkungan masyarakat multi-religius yang terdiri dari agama Hindu, Islam, Kristen, dan Jainisme. Standley belajar di Madras University, United Theological College, Bangalore (1941-1954), Union Theological Seminary, New York (di bawah bimbingan Paul Tillich yang menjadi dosen pendamping tesisnya), dan Hartford Seminary Foundation, Hartford, Connecticut. Stanley pernah menjadi rektor di Basel Evangelical Mission Theological Seminary (sekarang Karnataka Theological Seminary; 1952-1960), Bangalore, Karnataka. Kemudian ia menjadi rektor Serampore College, West Bengal (1960-1965).

Stanley juga melayani sebagai direktur program dialog dengan iman dan ideologi-ideologi yang lain selama 1968-1980. Ia kembali ke India dan mengajar di United Theological College sampai menjadi dosen emeritus. Ia juga adalah anggota komite program doktor South Asia Theological Research Institute. Stanley meninggal pada 22 Juli 2001. Karya-karya Stanley antara lain: One Christ many Religions (1991), Between two cultures: Ecumenical Ministry in a pluralist world (1996), Courage for Dialogue (1987), The Future of inter-religious dialogue (1992) dan ada banyak karya masyhur lainnya.

Pemikiran Teologi Stanley Samartha

            Dalam tulisannya, The Hindu View of History According to Representative Thinkers Samartha menitikberatkan sejarah sebagai gagasan inti. Ia menjelaskan Hinduisme modern dalam memahami sejarah. Perlu digarisbawahi bahwa Stanley adalah penafsir terhadap gagasan sejarah dalam Hinduisme.[2] Samartha juga aktif menafsir ajaran Yesus Kristus dalam konteks komparasi teologi antara Kristen dan Hindu. Berlatarbelakang dari budaya yang plural dan multi-religius, Samartha juga getol menawarkan dialog antar agama. Berikut saya akan menguraikan dua gagasan Stanley:

à Kristologi Stanley

            Salah satu frasa yang terkenal dalam disertasi Stanley, adalah Christianity belongs to Christ, Christ does not belong to Christianity.[3] Hal ini tidak terlepas dari konsentrasi Stanley yang menegaskan nilai universalitas dari pribadi Kristus. Dalam gagasan Kristologinya, Stanley Samartha menerapkan konsep Advaitik Sankara dari dalam kesadaran Hindu India, yang menekankan prinsip non-dualitas atau unsur kesatuan, (non-duality or oneness). Implikasi dari gagsan ini adalah tiadanya perbedaan antar manusia, - menekankan persatuan antar sesama.

            Samartha menginginkan bahwa, perkawinan antara pemikiran India dan Kristiani, khusunya tentang kristologi juga mirip dengan yang dilakukan Origenes yang menggunakan kategori pemikiran Platon dan Thomas Aquinas menggunakan pemikiran Aristoteles. Oleh karena itu, Samartha ingin para teolog India juga mengunakan pemahaman filosofis advaita vedanta atau advatik sankara.

Menurut Samarta ada empat alasan mengapa sistem pemikitan teolog India bisa menerapkan gagasan advaita,[4] 1) sistem advaita adalah sistem paling terkenal di India, 2) sistem pemikiran ini juga sudah dinterpretasi dalam gaya modern, 3) di India modern, orang terus-menerus mencari, membandingkan, dan meneliti advaita dan kemudian menghubungkannya dengan kehidupan dan pemikiran modern. 4) banyak yang membahas masalah-masalah sosial di India menggunakan pendekatan ini dan terutama berhubungan dengan tujuan hidup.

Samartha menggeser posisi kristologinya dari Kristus yang hadir secara misterius di dalam agama-agama lain, suatu kristologi yang inklusivistik, ke arah kristologi teosentris, suatu kristologi yang pluralis. Dalam upaya mengakui misteri Kristus dan menjelaskan makna pribadi dan karya Yesus Kristus, ia menolak pemahaman kristologi ekslusivisme normatif.

Samartha menjelaskan “It is relational because Christ does not remain unrelated to neighbors of other faiths, and distinctive because without recognizing the distinctiveness of the great religious traditions as different responses to the Mystery of God, no mutual enrichment is possible[5] Samartha mengembangkan Kristologi teosentris yang berpusat pada misteri. Samarta mengunakan pendekatan kristologi dari bawah agar bisa berdialog dengan agama-agama lain.

Usaha Samartha ini untuk membangun suatu pola pikir kristologi yang bisa disandingkan dengan agama-agama lain. Samartha juga mengakui keberadaan juru selamat-juru selamat yang lain seperti Rama, Kresna, dan Budha di dalam konteks India. Kristologi teosentris juga saling menhubungkan antara Kristus dengan tokoh-tokoh tersebut.

à Gagasan tentang Dialog dan Plurlalisme dan hubunganya dengan Roh Kudus

Stanley Samartha mendasari pneumatologi religionumnya dengan menegaskan bahwa Gereja perlu memiliki kesadaran bahwa dirinya hidup dalam sebuah dunia yang plural secara religius; dan oleh karena itu teologi Kristen tidak boleh lagi berpusat sebatas dinding-dinding gereja saja (eklesiosentris) namun harus bergerak menyikapi terhadap konteks yang plural tersebut.[6]

Teologi pluralisme agama Samartha ternyata tidak lepas dari pengaruh teologi Barat dan dipengaruhi oleh pandangan dunia (worldview) pencerahan. Bagi Samartha pluralitas dan dialog adalah hal yang sangat penting. Samartha mengikuti Chiang Mai[7] mengafirmasi bahwa dialog adalah 1) sarana untuk menghidupi iman dalam Kristus dalam pelayanan komunitas dunia. 2) dialog dan pewartaan adalah hal yang tidak dapat dipisahkan. Dialog tidak dilihat sebagai alternatif misi, tetapi sebagai salah satu cara untuk membuat Yesus dapat diakui di dunia saat ini.

Pada dasarnya dialog dalam pluralisme agama dan budaya tidak pernah terlepas dari karya Roh Kudus. Ketika kristiani berusahan menekankan dialog sebagai suatu “gaya hidup dalam hubungan dengan sesama dalam masyrakat plural”. Perlu mengakui keragaman besar situasi di mana gereja menemukan diri mereka saat ini.

Tetangga-tetangga Kristen menjalin hubungan dalam dialog mungkin menjadi rekan dalam krisis dan pencarian sosial, ekonomi dan politik yang sama; pendamping dalam karya kerasulan, atau eksplorasi intelektual dan spiritual dengan realitas plural dalam agama. Di beberapa tempat, orang Kristen dan gereja sebagai institusi berada dalam posisi kekuasaan dan pengaruh, dan agama-agama atau kebudayaan lain tidak memiliki kuasa. Tetapi juga di tempat lain ada orang-orang Kristen yang tidak berdaya (minoritas) karena didominasi oleh agama atau kebudayaan lain. Ada juga situasi ketegangan dan konflik di mana dialog tidak mungkin dilakukan atau peluang sangat terbatas.

Tidak bisa dielakan bahwa orang-orang dari kepercayaan yang lain berinteraksi tidak hanya dengan agamanya sendiri, tetapi juga dengan orang-orang dari berbagai ideologi, meskipun kadang-kadang sulit untuk membuat perbedaan yang jelas antara agama dan ideologi, karena ada dimensi agama dari ideologi dan dimensi ideologis dari agama. Samartha menegaskan bahwa agama Kristen juga masuk dalam usaha untuk menawarkan gagasan dan nilai-nilai kristianitas. Ada kecemasan baru dengan munculnya beragam kelompok agama baru di banyak negara dan membawa dimensi dan ketegangan baru dalam hubungan antar-agama. Dengan mengingat semua keragaman ini, dialog dan kesadaran pluralis menjadi hal yang penting.

Akhirnya nilai-nilai kristiani dapat diterima dengan membangun kesadaran pluralisme dan mempercayai universalitas ajaran Kristus. Kristologi teosentris yang menekankan misteri dan karya Roh Kudus dalam karya pewartaan dan dialog, menjadi poin penting dari gagasan Samartha. Tidak bisa membuat distingsi antara misi dan dialog, hal demikian seperti kebudayaan dan keragaman agama dengan nilai-nilai universalitas kristiani.



[1] Biografi Samartha ini dihimpun dari tulisan Stanley Samartha, “Between Two Cities-Part I: Early Years, dalam link http://wcc-coe.org/wcc/what/interreligious/cd38-01.html bandingkan juga dengan tulisan Christian Sulistio, Evaluasi Terhadap Teologi Pluralisme Agama Stanley Samartha, Veritas, Jurnal Teologi dan Pelayanan, Oktober 2009: hal. 240.

[2] Christian Sulistio, Evaluasi Terhadap Teologi Pluralisme Agama Stanley Samartha, Veritas, Jurnal Teologi dan Pelayanan, Oktober 2009: hal. 241.

[3] Stanley J. Samartha, The Hindu Response to the Unbound Christ (Madras, India: The Diocesan Press, 1974), hal. 10.

[4] Gagasa ini mengikuti alur pemikiran Christian Sulistio, Evaluasi Terhadap Teologi Pluralisme Agama Stanley Samartha, Veritas, Jurnal Teologi dan Pelayanan, Oktober 2009: hal. 242 bandingkan juga dengan Kosuke Koyama, “Asian Theology” dalam The Modern Theologians (2 jilid; ed. David F. Ford; Oxford: Blackwell, 1989) hal. 2219.

[5] Stanley Samartha, One Christ—Many Religions (Maryknoll, Orbis, 1991) hal 104.

[6] Minggus Minarto Pranoto, Pneumatologi Religionum dalam Pemikiran Stanley J. Samartha dan Amos Yong, Jurnal Abdiel: Khazanah Pemikiran Teologi, Pendidikan Agama Kristen dan Musik Gereja, no 1 2021: hal. 4.

[7] Stanley J Samartha, Guiedlines on Dialogue, 1979, hal. 157.