findagrave.com |
Stanley memiliki gagasan dan pemikiran teologi yang
sangat kaya. Paradigma teologinya tidak pernah terlepas dari konteks kebudayaan
India. Ada banyak sumbangsih pemikirannya dalam gagasan teologi, dan dalam
paper ini saya akan mencoba memberikan dua poin penting dari gagasan Stanley
yaitu mengenai konsep kristologi dan gerakan ekumenikal untuk merintis dialog
antar agama. Bagi saya secara pribadi, ini adalah dua poin penting yang cukup
menarik untuk dibahas dari pemikiran Standley. Sebelum memaparkan tentang
pemikiran teologinya, ada baiknya untuk membahas biografi singkatnya.
Biografi Stanley dan karya-karyanya[1]
Stanley
Jedidiah Samartha lahir pada 7 Oktober 1920 di Karkal, India sebagai anak
seorang pendeta Basel Evangelical Mission. Ia dibesarkan di lingkungan masyarakat
multi-religius yang terdiri dari agama Hindu, Islam, Kristen, dan Jainisme. Standley belajar di Madras
University, United Theological College, Bangalore (1941-1954), Union
Theological Seminary, New York (di bawah bimbingan Paul Tillich yang menjadi dosen pendamping
tesisnya), dan Hartford Seminary Foundation, Hartford, Connecticut. Stanley pernah menjadi rektor di
Basel Evangelical Mission Theological Seminary (sekarang
Karnataka Theological
Seminary; 1952-1960), Bangalore, Karnataka. Kemudian ia menjadi rektor
Serampore College, West Bengal (1960-1965).
Stanley juga melayani sebagai
direktur program dialog dengan iman dan ideologi-ideologi yang lain selama 1968-1980. Ia
kembali ke India dan mengajar di United Theological College sampai
menjadi dosen emeritus. Ia juga adalah anggota komite program doktor South Asia
Theological Research Institute. Stanley
meninggal pada 22 Juli 2001. Karya-karya
Stanley antara lain: One Christ many Religions (1991), Between two
cultures: Ecumenical Ministry in a pluralist world (1996), Courage for
Dialogue (1987), The Future of inter-religious dialogue (1992) dan
ada banyak karya masyhur lainnya.
Pemikiran Teologi Stanley Samartha
Dalam tulisannya, The Hindu View of History
According to Representative Thinkers Samartha menitikberatkan sejarah
sebagai gagasan inti. Ia menjelaskan Hinduisme modern dalam memahami sejarah.
Perlu digarisbawahi bahwa Stanley adalah penafsir terhadap gagasan sejarah
dalam Hinduisme.[2]
Samartha juga aktif menafsir ajaran Yesus Kristus dalam konteks komparasi
teologi antara Kristen dan Hindu. Berlatarbelakang dari budaya yang plural dan
multi-religius, Samartha juga getol menawarkan dialog antar agama. Berikut saya
akan menguraikan dua gagasan Stanley:
à Kristologi Stanley
Salah satu frasa yang terkenal dalam disertasi Stanley,
adalah Christianity belongs to Christ, Christ does not belong to
Christianity.[3]
Hal ini tidak terlepas dari konsentrasi Stanley yang menegaskan nilai
universalitas dari pribadi Kristus. Dalam gagasan Kristologinya, Stanley
Samartha menerapkan konsep Advaitik Sankara dari dalam kesadaran Hindu India,
yang menekankan prinsip non-dualitas atau unsur kesatuan, (non-duality
or oneness).
Implikasi dari gagsan ini adalah tiadanya perbedaan antar manusia, - menekankan
persatuan antar sesama.
Samartha
menginginkan bahwa, perkawinan antara pemikiran India dan Kristiani, khusunya
tentang kristologi juga mirip dengan yang dilakukan Origenes yang menggunakan
kategori pemikiran Platon dan Thomas Aquinas menggunakan pemikiran Aristoteles.
Oleh karena itu, Samartha ingin para teolog India juga mengunakan pemahaman
filosofis advaita vedanta atau advatik sankara.
Menurut Samarta ada empat alasan mengapa sistem
pemikitan teolog India bisa menerapkan gagasan advaita,[4]
1) sistem advaita adalah sistem paling terkenal di India, 2) sistem
pemikiran ini juga sudah dinterpretasi dalam gaya modern, 3) di
India modern, orang terus-menerus mencari, membandingkan, dan meneliti advaita
dan kemudian menghubungkannya dengan kehidupan dan pemikiran modern. 4) banyak yang membahas masalah-masalah sosial di
India menggunakan pendekatan ini dan terutama berhubungan dengan tujuan hidup.
Samartha
menggeser posisi kristologinya dari Kristus yang hadir secara misterius di
dalam agama-agama lain, suatu kristologi yang inklusivistik, ke arah kristologi
teosentris, suatu kristologi yang pluralis.
Dalam upaya mengakui misteri Kristus dan menjelaskan makna pribadi dan karya
Yesus Kristus, ia menolak pemahaman kristologi ekslusivisme normatif.
Samartha menjelaskan “It
is relational because Christ does not remain unrelated to neighbors of other
faiths, and distinctive because without recognizing the distinctiveness of the
great religious traditions as different responses to the Mystery of God, no
mutual enrichment is possible”[5] Samartha
mengembangkan Kristologi teosentris yang berpusat pada misteri. Samarta
mengunakan pendekatan kristologi dari bawah agar bisa berdialog dengan
agama-agama lain.
Usaha Samartha ini untuk membangun suatu pola pikir
kristologi yang bisa disandingkan dengan agama-agama lain. Samartha
juga mengakui keberadaan juru selamat-juru selamat yang lain seperti Rama,
Kresna, dan Budha di dalam konteks India. Kristologi teosentris juga saling
menhubungkan antara Kristus dengan tokoh-tokoh tersebut.
à Gagasan tentang Dialog dan Plurlalisme dan hubunganya
dengan Roh Kudus
Stanley Samartha mendasari
pneumatologi religionumnya dengan menegaskan bahwa Gereja perlu memiliki
kesadaran bahwa dirinya hidup dalam sebuah dunia yang plural secara religius;
dan oleh karena itu teologi Kristen tidak boleh lagi berpusat sebatas
dinding-dinding gereja saja (eklesiosentris) namun harus bergerak menyikapi
terhadap konteks yang plural tersebut.[6]
Teologi
pluralisme agama Samartha ternyata tidak lepas dari pengaruh teologi Barat dan
dipengaruhi oleh pandangan dunia (worldview) pencerahan. Bagi Samartha pluralitas dan dialog adalah hal yang
sangat penting. Samartha mengikuti Chiang Mai[7]
mengafirmasi bahwa dialog adalah 1) sarana untuk menghidupi iman dalam Kristus
dalam pelayanan komunitas dunia. 2) dialog dan pewartaan adalah hal yang tidak
dapat dipisahkan. Dialog tidak dilihat sebagai alternatif misi, tetapi sebagai
salah satu cara untuk membuat Yesus dapat diakui di dunia saat ini.
Pada dasarnya dialog dalam pluralisme agama dan budaya
tidak pernah terlepas dari karya Roh Kudus. Ketika kristiani berusahan
menekankan dialog sebagai suatu “gaya hidup dalam hubungan dengan sesama dalam
masyrakat plural”. Perlu mengakui keragaman besar situasi di mana gereja
menemukan diri mereka saat ini.
Tetangga-tetangga Kristen menjalin hubungan dalam
dialog mungkin menjadi rekan dalam krisis dan pencarian sosial, ekonomi dan
politik yang sama; pendamping dalam karya kerasulan, atau eksplorasi
intelektual dan spiritual dengan realitas plural dalam agama. Di beberapa
tempat, orang Kristen dan gereja sebagai institusi berada dalam posisi
kekuasaan dan pengaruh, dan agama-agama atau kebudayaan lain tidak memiliki
kuasa. Tetapi juga di tempat lain ada orang-orang Kristen yang tidak berdaya
(minoritas) karena didominasi oleh agama atau kebudayaan lain. Ada juga situasi
ketegangan dan konflik di mana dialog tidak mungkin dilakukan atau peluang
sangat terbatas.
Tidak bisa dielakan bahwa orang-orang dari kepercayaan
yang lain berinteraksi tidak hanya dengan agamanya sendiri, tetapi juga dengan
orang-orang dari berbagai ideologi, meskipun kadang-kadang sulit untuk membuat
perbedaan yang jelas antara agama dan ideologi, karena ada dimensi agama dari
ideologi dan dimensi ideologis dari agama. Samartha menegaskan bahwa agama Kristen
juga masuk dalam usaha untuk menawarkan gagasan dan nilai-nilai kristianitas. Ada
kecemasan baru dengan munculnya beragam kelompok agama baru di banyak negara
dan membawa dimensi dan ketegangan baru dalam hubungan antar-agama. Dengan
mengingat semua keragaman ini, dialog dan kesadaran pluralis menjadi hal yang
penting.
Akhirnya nilai-nilai kristiani dapat diterima dengan
membangun kesadaran pluralisme dan mempercayai universalitas ajaran Kristus.
Kristologi teosentris yang menekankan misteri dan karya Roh Kudus dalam karya
pewartaan dan dialog, menjadi poin penting dari gagasan Samartha. Tidak bisa membuat
distingsi antara misi dan dialog, hal demikian seperti kebudayaan dan keragaman
agama dengan nilai-nilai universalitas kristiani.
[1] Biografi Samartha ini
dihimpun dari tulisan Stanley
Samartha, “Between Two Cities-Part I: Early Years, dalam link
http://wcc-coe.org/wcc/what/interreligious/cd38-01.html bandingkan
juga dengan tulisan Christian Sulistio, Evaluasi Terhadap Teologi Pluralisme
Agama Stanley Samartha, Veritas, Jurnal Teologi dan Pelayanan, Oktober
2009: hal. 240.
[2] Christian
Sulistio, Evaluasi Terhadap Teologi Pluralisme Agama Stanley Samartha,
Veritas, Jurnal Teologi dan Pelayanan, Oktober 2009: hal. 241.
[3] Stanley J. Samartha, The
Hindu Response to the Unbound Christ (Madras, India: The Diocesan Press, 1974), hal. 10.
[4] Gagasa ini
mengikuti alur pemikiran Christian Sulistio, Evaluasi Terhadap Teologi
Pluralisme Agama Stanley Samartha, Veritas, Jurnal Teologi dan Pelayanan,
Oktober 2009: hal. 242 bandingkan juga dengan Kosuke Koyama, “Asian Theology”
dalam The Modern Theologians (2 jilid; ed. David F. Ford; Oxford: Blackwell,
1989) hal. 2219.
[5] Stanley Samartha, One
Christ—Many Religions (Maryknoll, Orbis, 1991) hal 104.
[6] Minggus Minarto Pranoto, Pneumatologi Religionum
dalam Pemikiran Stanley J. Samartha dan Amos Yong, Jurnal Abdiel: Khazanah
Pemikiran Teologi, Pendidikan Agama Kristen dan Musik Gereja, no 1
2021: hal. 4.
[7] Stanley J
Samartha, Guiedlines on Dialogue, 1979, hal. 157.