Kau selalu mengabaikan surat-suratmu, ibu ku bilang seorang yang mengirimi Anda
surat, menghabiskan banyak waktu untuk
memikir dan menuliskannya.
Remahers…!
Dalam
rangka mengisi waktu liburan, komunitas, tempat saya belajar dan mengasah pengetahuan,
menawarkan juga memberikan kami kesempatan untuk meningkatkan keterampilan
dalam diri; mengasah talenta, demikian pernyataan Superior. Ada beberapa
kegiatan menarik yang tentunya juga memicu nan memacu imajinasi dan kreatifitas
kami. Imajinasi itulah yang memampukan kami untuk berkreasi. Kata rekan
komunitas saya, hanya dalam situasi tanpa tekanan seseorang
bisa berimajinasi. Imajinasi bukan sebuah khayalan mati belaka, imajinasi
selalu memiliki daya, karena imajinasi, setiap orang mampu berkreasi. Alhasil dalam keadaan yang bebas
dan tanpa tekanan, dan juga dalam rangka mengisi waktu senggang dari pada
bengong gara-gara batal pulang kampung, batal karena covid-19, telurlah
imajinasi, mengeram karya, membuahkan action.
Kami
semua mengikuti dinamika bersama dalam komunitas. Ada beberapa kegiatan yang
kami lakukan, perlu diingat, bahwa semua kegiatan merupakan hasil imajinasi
bersama komunitas. Sebagai sebuah komunitas formasi, tentunya semua kegiatan
yang ditawarkan adalah kegiatan-kegiatan yang beraroma dan berefek formasi;
pembentukan formandi yang berbau kebaikan. Harapannya, kelak aroma bisa
disebarluaskan keluar dari rumah, tembok, hingga periferi. Adapun beberapa kegiatan yang dilaksanakan
antara lain; bermain bola futsal, takraw, volly, karambol, dan ada beberapa
kegiatan lainya. Kegiatan-kegiatan inilah yang dinamakan olahraga, olahbadan, agar
tubuh tetap sehat dan bugar di tengah pademi yang tidak kita ketahui secara
pasti kapan berakhirnya. Daripada sibuk memikirkannya, lebih baik berolahraga.
Berdinamika dalam sebuah angan dan harapan jauh lebih berharga ketimbang
berprotes dalam senyap dan lara. Biarkan saja, mari kita lanjut berkisah.
Selain
olahraga ada juga olahspiritual, hhh. Olah spiritual ini dijalankan dengan
bebarapa hal. Mulai dari doa hingga kegiatan rohani lainnya. Ada beberapa input
spesial edisi liburan yang diberiakan oleh para pembina kami. Mereka, bagi
saya, adalah orang-orang hebat, punya wawasan pengetahuan yang luar biasa dalam
hal pengolahan spiritual. Saya pribadi melihat kelihaian mereka mengantar saya untuk
memahami banyak hal, bukan karena kehebatan saya, melainkan karena saya berada
di atas pundak mereka; meminjam sebuah pepatah klasik “semut di pundak
raksasa”. Olahspiritual diejahwantahakan melalui kegiatan-kegiatan-kegiatan
rohani dan input-input tentang sejarah perjalanan spiritual. Kami hebat karena kami selalu bersama-sama
dalam memutuskan dan melaksanakan semua kegiatan komunitas, hhh…
Pandemi Covid-19 yang mengharuskan untuk terus berada di rumah memaksa kami untuk mengadakan banyak hal. Di sela-sela olahraga dan olahspiritual, kami juga adakan olah intelektual; mengasah daya intelektual melalui berbagai kegiatan akademis. Sebagai realisasi dari asah spiritual, kami langsung mempraktekan lomba memasak. Memasak itu bukan hal yang muda, membutuhkan kemampuan dan wawasan pengetahuan yang luas. Sebagai komunitas yang hampir semuanya berlatarbelakang budaya patriakal, adalah sebuah keganjalan untuk ‘masuk’ dapur dan bekerja mengurus semua keperluan masak. Dapur itu bagi saya, hanya wilayah kekuasaan seorang ibu. Dapur menyiratkan wajah perempuan. But, sebenarnya itu adalah konsep kuno yang masih melekat dalam pikiran saya, mungkin juga beberapa dari kalian. Dapur ternyata bukan semata tempat meracik masakan, melainkan juga ruang tempat perempuan bisa kehilangan otonomi dirinya, yaitu ketika perempuan dianggap perlu mengasah feminitasnya lewat dapur atau diukur nilainya berdasarkan kepandaian memasak. Penggunaan istilah penguasa dapur atau ratu dapur membuat seolah dapur sebuah teritorial istimewa yang mampu mengangkat martabat siapapun yang menguasainya. Ini menyamar fungsi dapur sebagai tempat pembinaan perempuan agar menjadi sesuai keinginan masyarakat patriakal. Sejatinya dapur adalah gudang rasa yang dikemas dalam masakan, dari cinta hingga pengorbanan, dari letih hingga lusuh, lelah dan kasih berpadu. Oleh karenanya, lomba masak kami hari ini, sebenarnya wadah untuk merealisasikan cinta, mengasah intelektual, mengasa rasa dan bagaimana rasa bisa dinikmati bersama. Memasak bukan semata olah kemampuan intelektual, tetapi juga olahraga, olahspiritual dan juga paling penting adalah olah rasa.
Yogyakarta, 24 Juni 2020
Fransiskus Sardi