Sejatinya sebuah peristiwa tidak usah dinarasikan (baca, dituliskan) kembali atau dikenang dalam sejarah selanjutnya, karena narasi tidak punya kuasa untuk mewakili semua rasa yang lahir pada saat terjadinya sebuah peristiwa dalam hidup atau pasca terjadinya peristiwa tersebut. Narasi (tulisan) terbatas, sedangkan kisah atau peristiwa hidup punya sensasi dan nilai-nilai yang kaya nan luas dan tidak bisa diwakilkan semuanya dalam sebuah mininarasi ataupun metanarasi. Membuat narasi atau refleksi tentang sebuah kisah kehidupan atau pun peristiwa apapun, hemat saya adalah sebuah bentuk batasan atas indahnya kisah-kisah hidup atau sebuah tindakan bodoh untuk mengingat-ingat luka dalam sejarah (jika itu peristiwa kelam). Namun tak bisa ditolak setiap kisah itu akan menjadi sia-sia, jika dibiarkan berlalu begitu saja tanpa sebuah coretan. Disini letak kontroversi narasi; antara membatasi dan membingkai; antara mengenang dan menyakiti.
Terlepas dari kontroversinya; tulisan
sesungguhnya memiliki kesakralannya. Kesakralannya tampak dari kemampuan atau otoritasnya
dalam sebuah tulisan; merekam seluruh sejarah perjalanan hidup, walaupun tidak
semua, tetapi dia mampu MEREKAM kisah-kisah. Sejarah perjalanan; dari kelam
hingga terang, suka – duka semuanya dibingkai dalam tulisan-tulisan sejarah. Tampaklah
bahwa tulisan memiliki kemampuan mengubah kehidupan. Orang yang tidak
mengetahui dan mengenal tulisan bisa memahami banyak hal; bisa membaca; menulis
dan banyak hal lainnya. Konon ketika Adolf Hitler membantai sekitar enam juta
orang Yahudi di seluruh kawasan Eropa, tulisan menjadi (salah satu) saksi bisu
yang merekam; menghidupkan, dan membuat sejarah selalu diingat. ‘Bahasa tulis
bisa menjadi gambaran sederhana untuk, menjelaskan atau merenarasikan realitas
yang terjadi silam.
Pada tulisan ini saya ingin
menceritakan seorang tokoh yang juga sempat direkam dalam sejarah perjalanan
dunia. Tokoh yang saya yakini dikenal dengan baik oleh Remahers; Aristede de
souse Mendes (19 Juli 1985 – 3 april 1954), lazim dijuluki ‘malaikat dengan
stempel karet’. Bagaimana kisahnya? Kok Ia
sekarang dijuluki sebagai seorang pahlawan besar pada masa Perang Dunia kedua
(1939-1945)? Kisahnya bermula ketika konsulat Portugis ditempatkan di Bordeaux,
Prancis, Aristede ditugaskan di sana sebagai seorang diplomatnya. Sekitar bulan
Mei dan Juni 1940 ribuan pengunsi berusaha melarikan diri dari kengerian mesin
perang Nazi. Ia mencetakan visa untuk teman baiknya Rabi Chaim Kruger dan
seluruh keluarganya agar terhindar dari kejaran Nazi. Sayangnya pertolongannya
ditolak oleh sahabatnya ini. Rabi Chaim akan menerimanya jika ribuan jemaatnya
juga diperkenakan untuk meiliki visa. Terinspirasi dari penolakan Rabi,
akhirnya Mendes memutuskan untuk mencetak ribuan Visa.
Ribuan orang Yahudi menemuinya
dan meminta kepadanya untuk dibuatkan visa. Mereka sangat membutuhkan visa
untuk bisa keluar dari Perancis, dan visa Portugis akan memungkinkan mereka
melewati Spanyol ke Lisbon, ibu kota Portugal, di mana mereka dapat menemukan
kebebasan untuk mengungsi dan ‘melarikan diri’ ke negara lain. Aristedes berada
dalam situasi dilemma; antara membuatnya atau menolak mencampur tangan urusan Nazi.
But, ia memutuskan untuk tetap menerbitkan
visa.
Kita berpikir bahwa tindakan membuat
visa adalah hal yang sederhana dan mudah (anak kecil saja bisa melakukannya),
tetapi tindakannya ini sebenarnya dengan terang-terangan menentang keputusan
pemerintah Portugal. Portugal yang secara resmi bersikap netral di bawah
pemerintahan Antonio de Oliviera Salazar mengeluarkan perintah kepada seluruh
diplomatnya untuk menolak para pengunsi yang ingin mencari perlindungan di
wilayah kekuasaanaya. Antonio bahkan secara terang-terangan menolak orang
Yahudi, Rusia dan orang-orang tanpa kewarganegaraan yang tidak bisa dengan
bebas kembali ke negara asal mereka masuk atau melintasi wilayahnya. Aristedes
menentang dan melawan keputusan pemerintah, ia lebih memilih hati nuraninya. Ia
mengeluarkan visa ribuan lembar yang dikerjakannya dalam waktu kurang lebih
satu minggu (12-23 Juni 1940) dan memberikannya pada para pengunsi. Konsekuensi
dari tindakannya, ia dipecat dan dikuci dari lingkungannya dan bahkan ke-15
orang anaknya tidak diperkenankan untuk mengikuti dinamika kehidupan
sebagaimana orang merdeka hidup di negaranya sendiri. Mendes harus
diberhentikan dari jabtanya dan dilarang mencari kerja di negaranya untuk
menafkai kehidupan keluarga. Keluarga dan dirinya jatuh miskin dan bahkan susah
untuk mendapatkan makanan. Ini adalah salah satu konsekuensi dari tindakannya
melawan kediktatoran Salazar, tetapi ia meiliki prinsip hidup yang sangat kokoh
‘I could not have acted otherwise, and
therefore accept all that’s has befallen me with love’
Paus Fransiskus, pemimpin Gereja
Katolik Roma dalam audensinya pada hari Rabu 17 Juni 2020 on the hari hati nurani
‘Day of Conscience’ menegaskan bahwa Day
of conscience ialah hari yang diilhami oleh Sousa Mendes. Dia lebih memilih
dicopot daripada harus mengorbankan ribuan orang di bunuh ‘Aku lebih suka
berdiri dengan Tuhan melawan manusia daripada dengan manusia melawan Tuhan’. Penggalan
pernyataan ini menunjukan panggilan dan ketaatnya pada bisikan hati nuraninya,
perasaan kemanusiaan. Tindakan hati nurani bagi Aristides de Sousa Mendes ialah
menentang perintah pemerintah (jika itu tidak sesuai dengan panggilan kemanusian)
dan menunjukkan keberanian, kejujuran moral, tidak mementingkan diri sendiri,
dan pengorbanan diri dengan mengeluarkan visa untuk semua pengungsi terlepas
dari kebangsaan, ras, agama atau pendapat politik. Dia menyadari bahwa dia akan
menghadapi konsekuensi keras, Sousa Mendes memutuskan untuk bertindak sesuai perintah
hati nuraninya. Sejarahwan Bauer menyebut ini sebagai aksi penyelamatan
terbesar selama masa holocaust yang dilakukan seorang individu “perhaps the largest rescue action by a
single individual during the Holocaust.”
Aristides de Sousa Mendes
meninggal pada 3 April 1954 dalam kemiskinan di Rumah Sakit Fransiskan di
Lisbon. Dia dimakamkan dalam balutan jubah Fransiskan karena tidak memiliki
pakaian yang sesuai miliknya. Bahkan sampai akhir hidupnya yang pahit ini,
Aristides de Sousa Mendes tahu dan menyadari bahwa ia bertindak secara
manusiawi atas nama ribuan orang yang tidak bersalah dan mendukung keputusann
hatinya untuk menyelamatkan hidup banyak orang.
Tindakan heroiknya baru diakui
pertama pada tahun 1966 oleh Israel, yang menyatakan Aristides de Sousa Mendes
sebagai Righteous among the nations. Pada
tahun 1986, Kongres Amerika Serikat memproklamirkan untuk menghormati tindakan
kepahlawanannya. Belakangan ia akhirnya diakui oleh pemerintahan Portugal, saat
Presiden ke-17 Mario Soares (menjabat dari tahun 9 Maret 1986 – 9 Maret 1996) meminta
maaf kepada keluarga Sousa Mendes dan Parlemen Portugal mempromosikannya rank of Ambasador secara anumerta (posthumous) padanya. Wajah Aristides de
Sousa Mendes kini muncul di perangko atau stempel (stamps) di beberapa negara di dunia. Jauh lebih penting, wajahnya
telah terukir dalam hati jutaan orang.
Remahers, bagaimana dengan
tulisan dalam hati Anda? Suara hati Anda? Masih tajamkah? Atau harus diasah lagi?
Remahers, remember this ‘kebebasan hati
nurani akan selalu eksis dan akan selalu dihormati di mana-mana’. Tidak ada
orang yang bisa merebut kemerdekaan suara hati setiap pribadi. Akhirnya, mari belajar
untuk mengasah suara hati; membuatnya peka pada panggilan kemanusiaan;
menjadikannya tempat pijakan kebaikan dan ruang untuk bergumul melawan
kejahatan. Untuk dikenang berlaksa-laksa orang, dengarkanlah panggilan suara hati
Anda.
Yogyakarta, 17 Juni 2020
Fransiskus Sardi