Hampir semua teologi dalam tradisi kristiani, termasuk teologi pembebasan yang dilakukan dari perspektif orang miskin dan tertindas, telah dilakukan oleh teolog-teolog laki-laki. Dewasa ini kita melihat di beberapa belahan dunia, beberapa kaum perempuan bangkit memenemukan martabat dan suara mereka sendiri.
Efekya
adalah saat ini dalam komunitas para murid ada kecendrungan untuk direfleksikan
dari sudut pandang dan pengamatan
perempuan. Banyak teolog kristen yang memperlakukan kaum perempuan tidak saja
sebagai jenis makhluk hidup yang berbeda tetapi juga sebagai makhluk yang cacat
Tertulianus (160-225) menyebut perempuan sebagai “gerbang iblis”.
Agustinus
(354-430) berpendapat bahwa hanya lelaki sendirilah yang merupakan citra Allah;
seorang perempuan adalah citra Allah hanya apabila bersama dengan suaminya.
Thomas Aquinas (1225-1274), dipengaruhi oleh Aristotelses, menyebut perempuan
sebagai makluk “cacat” dan “terkutuk”.[1]
Feminisme
telah menjadi hal yang penting dari budaya barat modern. Feminisme adalah
sebuah pergerakan global yang bekerja pada emansipasi wanita, berdebat untuk
kesetaraan gender dan pemahaman yang benar tentang hubungan perempuan dan
laki-laki yang harus ditegaskan oleh praktek dan teologi kontemporer.
Terminologi
lama yang digunakan ialah “kebebasan wanita”, (women’s liberation) menekankan fakta bahwa sebuah pergerakan
pembebasan mengarahkan upaya pada pencapaian kesetaraan untuk perempuan dalam
masyarakat modern, khususnya melalui penghapusan hambatan termasuk keyakinan,
nilai-nilai, dan sikap- yang menghambat proses tersebut.[2]
Teologi Feminis bertujuan untuk memahami
dan mengkritik tradisi dominasi pria dan menantang citra andorsentrisme[3]
tentang Tuhan dan kemanusiaan (Feminist
theology thus aims to understand and criticize male-dominated tradition and to
challenge androcentric images of God and humanity).[4]
Feminisme menjadi gerakan
baru sebagai bentuk keinginan untuk
mengakui sebuah perbedaan atas pendekatan pada bagian wanita dalam perbedaan
budaya dan kelompok etnik.
Ada banyak jenis teologi feminis, tetapi
pada umumnya tetap dapat dibedakan menjadi tiga golongan:[5]
Yang
pertama disebut teologi feminis revolusioner,
Aliran revolusioner diciptakan oleh perempuan-perempuan yang, setelah
menyelidiki tradisi kristiani mengambil kesimpulan bahwa tradisi itu didominasi
oleh kaum laki-laki dan menyatakan bahwa tradisi itu tidak dapat memberikan
harapan perbaikan.
Perempuan-perempuan ini biasanya
memberikan suara mereka dengan hentakan kaki mereka dan meninggalkan Gereja.
Fenomena ini menjadi semakin besar di beberapa negara. Untuk membersihkan agama
dari unsur dominasi laki-laki, mereka membentuk kelompok-kelompok yang berdoa
dan beribadat secara bersama-sama.
Bagi kelompok-kelompok ini, persaudarian
adalah nilai yang besar dan Allah yang di sapa adalah Dewi.[6]
Jelas bahwa para teolog feminis revolusioner tidak tertarik pada teologi
katolik yang khas, apalagi pada refleksi tentang Yesus Kristus.
Banyak teolog feminis radikal bisa secara
pasti dikatakan sebagai kaum pasca kristen. Banyak diantara mereka pada mulanya
ambil bagian dalam gereja-gereja Kristen, namun kesadaran feminisnya mendorong
mereka menyimpulkan bahwa agama kristen itu adalah patriakat yang tidak dapat
disembuhkan lagi dan bahkan anti perempuan.[7]
Tokoh feminis revolusioner ini misalnya
Matilda Joslyn Gage (1862-1893). Ia menandaskan bahwa kalau perempuan masih
berharap untuk dibebaskan, maka mereka mesti meninggalkan agama kristen serta
kode-kode patriakat yang dipengaruhi oleh Kitab Suci Kristen.
Yang
kedua: teologi feminis reformis, para teolog
feminis reformis meskipun sependapat bahwa tradisi kristiani telah didominasi
oleh kaum laki-laki masih melihat alasan untuk tetap berharap bahwa teologi
kristiani dapat diubah, sebab tradisi ini juga mengandung unsur-unsur
pembebasan yang kuat.
Maka, mereka memilih untuk tetap tinggal
dalam gereja dan berusaha untuk mengadakan pembaharuan. Didalam kelompok ini
ada banyak pendekatan yang berbeda-beda (simbolik, fundamentalis, liberal),
tetapi menarik bahwa mayoritas
teolog feminis katolik seperti Rosemary Radford Reuther, Elizabeth Schussler
Fiorenza, Anne Car dan Margaret Farley, bekerja dengan model pembebasan dalam arti
bahwa mereka mengusahakan pelucutan
patriaki dan keadilan yang sama terutama bagi orang-orang yang terampas dan
tertindas (Elisabeth, 120).
Yang
ketiga: teologi feminsi kristen rekronstruksi,[8]
model yang ini meiliki titik temu antara teologi reformis dalam komitmen kepada
agama Kristen, namun melihat sikap yang diambil oleh feminis reformis sebagai
tanggapan yang tidak memadai terhadap penindasan serta status kelas dua kaum
perempuan.
Mengizinkan kaum perempuan memegang
jabatan gerejani dan melaksanakan pelayanan-pelayanan gerjani terkait lainnya
tidak memadai. Para teolog feminis rekonstruksi mencari sebuah intipati
teologis yang membebaskan kaum perempuan di dalam bingkai tradisi kristen itu
sendiri.
Namun juga mencita-citakan suatu
pembaruaan yang lebih mendalam, suatu konstruksi sejati, bukan saja menyangkut
struktrur-struktur gerejaninya melainkan juga struktur-struktur masyarakat madani. Sama
seperti para teolog feminis revolusioner, kaum feminis rekonstruksionis membuat
penilaian kritis terhadap patriakat.
Namun mereka percaya bahwa dengan menafsir
ulang simbol-simbol dan gagasan-gagasan tradisional agama kristen tanpa
melepaskan Allah yang diwahyukan dalam diri Yesus Kristus merupakan hal yang
mungkin diidam-idamkan.
Teologi feminis bertentangan dengan agama
Kristen (seperti kebanyakan agama yang
lain)
karena persepsi bahwa agama memperlakukan perempuan sebagai manusia kelas 2,
baik dalam hal peran yang dialokasikan agama-agama itu kepada perempuan, dan
cara mereka memahami citra Allah.
Namun demikian, evaluasi feminis terhadap
kekristenan sama sekali tidak bermusuhan secara monolitik terhadap kekristenan
seperti yang disarankan oleh para pencetus
femisime revolusioner dan rekonstruksi. Beberapa teolog feminis yang bersebrangan dengan gagasan seksime dan gender
menekankan bagaimana peran serta kaum perempuan dalam pembentukan
dan pengembangan tradisi Kristen dari Perjanjian
Baru dan seterusnya, dan
telah menjalankan peran kepemimpinan yang penting sepanjang sejarah Kristen. Visi yang membangun teologi feminis ialah suatu visi
masyarakat yang berdasarkan pada nilai-nilai saling timbal balik, bukan
dominasi seksisme.
[1] Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis,
diterjemahkan dari Introducting Feminist
Theology, oleh Yosef M. Florisan, (Maumere: Ledalero, 2002) , 53.
[2] Alister E. Mcgrath, Historical Theology An Introduction To The
History Of Christian Thought Second Edition, (UK: A John Wiley & Sons,
Ltd., Publication, 2013), 202.
[3] Androsentrisme dari kata
bahasa Yunanai Andros yang berarti
laki-laki dewasa: visinya tentang kemanusiaan berpusat pada laki-laki.
[4] Alister E. Mcgrath, Historical Theology An Introduction To The
History Of Christian Thought Second Edition, 202.
[5] Elisabeth A. Johnson, Kristologi Di Mata Kaum Feminis: Gelombang
pembaruaan dalam Kristologi, diterjemahkan dari Consider Jesus, Waves Of Renewal in Christology, oleh A.
Widiyamartaya (Yogyakarta: Kanisius,2003), 120.
[6] Elisabeth A. Johnson, Kristologi Di Mata Kaum Feminis: Gelombang
pembaruaan dalam Kristologi, 121.
[7] Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis, 57.
[8] Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis, 59.