Sabtu, 25 September 2021

TEOLOGI FEMINIS

             


Hampir semua teologi dalam tradisi kristiani, termasuk teologi pembebasan yang dilakukan dari perspektif orang miskin dan tertindas, telah dilakukan oleh teolog-teolog laki-laki. Dewasa ini kita melihat di beberapa belahan dunia, beberapa kaum perempuan bangkit memenemukan martabat dan suara mereka sendiri.

Efekya adalah saat ini dalam komunitas para murid ada kecendrungan untuk direfleksikan dari sudut pandang dan pengamatan perempuan. Banyak teolog kristen yang memperlakukan kaum perempuan tidak saja sebagai jenis makhluk hidup yang berbeda tetapi juga sebagai makhluk yang cacat Tertulianus (160-225) menyebut perempuan sebagai “gerbang iblis”.

Agustinus (354-430) berpendapat bahwa hanya lelaki sendirilah yang merupakan citra Allah; seorang perempuan adalah citra Allah hanya apabila bersama dengan suaminya. Thomas Aquinas (1225-1274), dipengaruhi oleh Aristotelses, menyebut perempuan sebagai makluk “cacat” dan “terkutuk”.[1] 

Feminisme telah menjadi hal yang penting dari budaya barat modern. Feminisme adalah sebuah pergerakan global yang bekerja pada emansipasi wanita, berdebat untuk kesetaraan gender dan pemahaman yang benar tentang hubungan perempuan dan laki-laki yang harus ditegaskan oleh praktek dan teologi kontemporer.

Terminologi lama yang digunakan ialah “kebebasan wanita”, (women’s liberation) menekankan fakta bahwa sebuah pergerakan pembebasan mengarahkan upaya pada pencapaian kesetaraan untuk perempuan dalam masyarakat modern, khususnya melalui penghapusan hambatan termasuk keyakinan, nilai-nilai, dan sikap- yang menghambat proses tersebut.[2]

Teologi Feminis bertujuan untuk memahami dan mengkritik tradisi dominasi pria dan menantang citra andorsentrisme[3] tentang Tuhan dan kemanusiaan (Feminist theology thus aims to understand and criticize male-dominated tradition and to challenge androcentric images of God and humanity).[4] Feminisme menjadi gerakan baru sebagai bentuk keinginan untuk mengakui sebuah perbedaan atas pendekatan pada bagian wanita dalam perbedaan budaya dan kelompok etnik.

Ada banyak jenis teologi feminis, tetapi pada umumnya tetap dapat dibedakan menjadi tiga golongan:[5]

Yang pertama disebut teologi feminis revolusioner, Aliran revolusioner diciptakan oleh perempuan-perempuan yang, setelah menyelidiki tradisi kristiani mengambil kesimpulan bahwa tradisi itu didominasi oleh kaum laki-laki dan menyatakan bahwa tradisi itu tidak dapat memberikan harapan perbaikan.

Perempuan-perempuan ini biasanya memberikan suara mereka dengan hentakan kaki mereka dan meninggalkan Gereja. Fenomena ini menjadi semakin besar di beberapa negara. Untuk membersihkan agama dari unsur dominasi laki-laki, mereka membentuk kelompok-kelompok yang berdoa dan beribadat secara bersama-sama.

Bagi kelompok-kelompok ini, persaudarian adalah nilai yang besar dan Allah yang di sapa adalah Dewi.[6] Jelas bahwa para teolog feminis revolusioner tidak tertarik pada teologi katolik yang khas, apalagi pada refleksi tentang  Yesus Kristus.

Banyak teolog feminis radikal bisa secara pasti dikatakan sebagai kaum pasca kristen. Banyak diantara mereka pada mulanya ambil bagian dalam gereja-gereja Kristen, namun kesadaran feminisnya mendorong mereka menyimpulkan bahwa agama kristen itu adalah patriakat yang tidak dapat disembuhkan lagi dan bahkan anti perempuan.[7]

Tokoh feminis revolusioner ini misalnya Matilda Joslyn Gage (1862-1893). Ia menandaskan bahwa kalau perempuan masih berharap untuk dibebaskan, maka mereka mesti meninggalkan agama kristen serta kode-kode patriakat yang dipengaruhi oleh Kitab Suci Kristen.

Yang kedua: teologi feminis reformis, para teolog feminis reformis meskipun sependapat bahwa tradisi kristiani telah didominasi oleh kaum laki-laki masih melihat alasan untuk tetap berharap bahwa teologi kristiani dapat diubah, sebab tradisi ini juga mengandung unsur-unsur pembebasan yang kuat.

Maka, mereka memilih untuk tetap tinggal dalam gereja dan berusaha untuk mengadakan pembaharuan. Didalam kelompok ini ada banyak pendekatan yang berbeda-beda (simbolik, fundamentalis, liberal), tetapi menarik bahwa mayoritas teolog feminis katolik seperti Rosemary Radford Reuther, Elizabeth Schussler Fiorenza, Anne Car dan Margaret Farley, bekerja dengan model pembebasan dalam arti bahwa mereka mengusahakan pelucutan patriaki dan keadilan yang sama terutama bagi orang-orang yang terampas dan tertindas (Elisabeth, 120).

Yang ketiga: teologi feminsi kristen rekronstruksi,[8] model yang ini meiliki titik temu antara teologi reformis dalam komitmen kepada agama Kristen, namun melihat sikap yang diambil oleh feminis reformis sebagai tanggapan yang tidak memadai terhadap penindasan serta status kelas dua kaum perempuan.

Mengizinkan kaum perempuan memegang jabatan gerejani dan melaksanakan pelayanan-pelayanan gerjani terkait lainnya tidak memadai. Para teolog feminis rekonstruksi mencari sebuah intipati teologis yang membebaskan kaum perempuan di dalam bingkai tradisi kristen itu sendiri.

Namun juga mencita-citakan suatu pembaruaan yang lebih mendalam, suatu konstruksi sejati, bukan saja menyangkut struktrur-struktur gerejaninya melainkan juga struktur-struktur masyarakat madani. Sama seperti para teolog feminis revolusioner, kaum feminis rekonstruksionis membuat penilaian kritis terhadap patriakat.

Namun mereka percaya bahwa dengan menafsir ulang simbol-simbol dan gagasan-gagasan tradisional agama kristen tanpa melepaskan Allah yang diwahyukan dalam diri Yesus Kristus merupakan hal yang mungkin diidam-idamkan.

Teologi feminis bertentangan dengan agama Kristen (seperti kebanyakan agama yang

lain) karena persepsi bahwa agama memperlakukan perempuan sebagai manusia kelas 2, baik dalam hal peran yang dialokasikan agama-agama itu kepada perempuan, dan cara mereka memahami citra Allah.

Namun demikian, evaluasi feminis terhadap kekristenan sama sekali tidak bermusuhan secara monolitik terhadap kekristenan seperti yang disarankan oleh para pencetus femisime revolusioner dan rekonstruksi. Beberapa teolog feminis yang bersebrangan dengan gagasan seksime dan gender menekankan bagaimana peran serta kaum perempuan dalam pembentukan dan pengembangan tradisi Kristen dari Perjanjian Baru dan seterusnya, dan telah menjalankan peran kepemimpinan yang penting sepanjang sejarah Kristen. Visi yang membangun teologi feminis ialah suatu visi masyarakat yang berdasarkan pada nilai-nilai saling timbal balik, bukan dominasi seksisme.



[1] Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis, diterjemahkan dari Introducting Feminist Theology, oleh Yosef M. Florisan, (Maumere: Ledalero, 2002) , 53.

[2] Alister E. Mcgrath, Historical Theology An Introduction To The History Of Christian Thought Second Edition, (UK: A John Wiley & Sons, Ltd., Publication, 2013), 202.

[3] Androsentrisme dari kata bahasa Yunanai Andros yang berarti laki-laki dewasa: visinya tentang kemanusiaan berpusat pada laki-laki.

[4] Alister E. Mcgrath, Historical Theology An Introduction To The History Of Christian Thought Second Edition, 202.

[5] Elisabeth A. Johnson, Kristologi Di Mata Kaum Feminis: Gelombang pembaruaan dalam Kristologi, diterjemahkan dari Consider Jesus, Waves Of Renewal in Christology, oleh A. Widiyamartaya (Yogyakarta: Kanisius,2003), 120.

[6] Elisabeth A. Johnson, Kristologi Di Mata Kaum Feminis: Gelombang pembaruaan dalam Kristologi, 121.

[7] Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis, 57.

[8] Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis, 59.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar