Rabu, 10 Juni 2020

DOA: KEJENUHAN DAN SENSASI



Doa sering diartikan sebagai hubungan yang intim dengan Tuhan. Doa memampukan seseorang untuk melakukaan dan mendapatkan apa yang dipandang tidak masuk akal manusia; melampaui kodrat manusia. Doa mengubah hidup manusia, menjadi kekuatan bagi manusia yang lemah dan rapuh, menjadi sarana yang menjadikan pribadi manusia mampu mencapai sesuatu yang adikodrati. Dengan berdoa kita merasa dikuatkan dan bisa menerima semua tantangan, cobaan, dan penderitaan dalam hidup. Doa juga sering diartikan menyerahkan seluruh hidup pada rencana Tuhan. Membiarkan Tuhan membentuk dan menjadikan hidup sebagaimana mestinya, berdasarkan kehendak dan rencanaNya. Salah satu tokoh Kitab Suci yang menampilkan kesalehan dalam berdoa ini adalah Ayub. Kesalehannya dalam berdoa membuatnya bertahan walaupun diuji dalam berbagai bentuk penderitaan. (Baca; Kisah Ayub)
Alkisah Ayub adalah tokoh yang sangat saleh dan jujur. Ia takut akan Allah dan menjauhi darinya segala kejahatan. (Cf. Ayb. 1:1). Dalam buku, Degup Jantung Tuhan Curhat Wanita Pendaharaan, Gusti Supur, CMF. menjelaskan hakikat kata takut. Takut (yare) tidak menunjukan pada keadaan horor, tetapi pada sikap Veneror: menghormati dan bersembah sujud dihadapan  Allah sang Nama (hashem). Iman Ayub adalah iman yang takut akan Allah, takut akan Allah selalu berarti Shama: mendengarkan Dia dengan taat. Iman Ayub bukanlah iman yang cerewet, banyak bicara, melainkan iman yang selalu ditandai dengan sikap mendengarkan dengan taat dalam keheningan batin.
Tokoh Ayub menyerahkan seluruh hidupnya secara total pada kehendak Allah. Walaupun kemalangan dan penderitaan menimpa dirinya ia tetap mentaati Allah dan tidak pernah sekali-kali mengutuk Allah. Para saudara, sahabat dan bahkan isterinya sendiri mempertanyakan kehadiran Allah di saat-saat Ayub mengalami penderitan itu (cf.Ayb. 2:9). Dalam derita itu Ayub merasakan ketidakadilan yang diperlakukan Tuhan atas dirinya. Tetapi ia tetap setia dan taat pada Allah. setia dan taat ini karena ketakutannya akan KeMahaKuasaan Tuhan. Dalam kacamata kebajikan kerendahan hati, takut akan Tuhan adalah tindakan auto-submission di mana seseorang secara suka rela  dan tulus ikhlas menenggelamkan dirinya dalam samudera Kemahakuasaan Tuhan. Saat mana hidupnya dibiarkan dimonopoli secara total oleh Allah.
Perjalanan hidup Ayub sebagai seorang hamba Allah yang saleh namun ditimpa kemalangan, merupakan sebuah gambaran perjalanan hidup umat Kristiani dari jemaat perdana hingga zaman sekarang. Kisah Ayub, menggambarkan bahwa doa dan pengharapan yang besar pada Allah memampukan manusia untuk menerima semua rencana Allah. Lalu bagaimanakah pengaruh doa di tengah perkembangan teknologi dan kemajuan dunia saat ini? Apakah doa masih sungguh sebuah sarana transformasi atau hanyalah sebuah rutinitas belaka yang tak memberi pengaruh sama sekali?
Hemat penulis, berdasarkan realitas yang diamati dalam rumah formasi kita khususnya di Pra Novisiat Claret, kita sepertinya sedang mengalami sebuah kemandekan spiritual; pudarnya nilai spiritual dalam diri dan kurangnya sikap mistis injil. Hal ini dapat diamati dalam tindakan doa-doa harian kita yang kadang hanya menjalankannya sebagai aktivitas belaka, tanpa kerinduan akan perjumpaan dengan Dia. Memang tidak semua kita mengalami sikap ini, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa kita sedang mengalami kejenuhan. Hal ini di satu sisi menujukan bahwa doa kadang hanyalah sebuah ajang sensasi, ‘roh’ dari doa itu sendiri tidak lagi diperhatikan.
Kongregasi Claretian dalam dokumen kapitel XX, Claretian In Process of Renewal; menyadari bahwa banyak anggota Claretian yang mengalami sejenis kemandekan spiritual dan kurang memiliki sikap mistik injil dan semangat tinggi yang dibutuhkan dalam melaksanakan karya misi (cf. CPR. no. 46). Keprihatinan ini secara tidak langsung menunjukan bahwa kemandekan itu sudah ada seiring berkembangnya kongregasi. Mengatasi problema kongregasi menekankan kepada para Claretian untuk kembali menghayati secara mendalam komitmen pribadi, pengalaman khas dari rahmat panggilan dan menghidupkan kembali secara sungguh makna hidup berkomunitas. Solusi ini setidaknya mengantar kita untuk mengatasi rasa jenuh dalam diri.
Mengatasi penyakit pikiran atau kejenuhan, penulis mencoba menawarkan gagasan cemerlang Albert Camus dan Paulo Coelo. Albert Camus pada bagian pengantar esay Mite Sisifus mengatakan bahwa dalam kehidupan harian tentunya manusia akan selalu sampai pada sebuah sikap atau titik kejenuhan. Camus menyebutkan ini sebagai sebuah penyakit pikiran (mal de l’esprit). Senada dengan Camus, Paulo Coelo seorang novelis kelahiran Brasil, Agustus 1947 dalam novelnya The Zahir  mengafirmasi pernyataan Camus, di mana setiap manusia akan sampai pada sebuah sikap kejenuhan yang berkepanjangan dan atau hanya sementara. Coelo membahaskannya dengan istilah accomodador. Camus dan Coelo menegaskan bahwa kejenuhan itu sebenarnya  muncul karena pikiran manusia, oleh karena itu mereka mengatakan hal yang perlu diperhatikan adalah membangun sebuah sikap kesadaran. Kesadaran dapat tercapai melalui dua cara yakni dengan menciptakan suasana dan ruang kontemplasi kolektif (contemplative collective) dan keheningan batin yang personal dan comunal. Seorang akan menjadi pribadi yang baik apabila dia mampu menembus dan menerobos titik kejenuhan itu sendiri. Kejenuhan yang membuat kita mengalami kemandekan dan kurang memiliki sikap mistik injil. Kejenuhan juga membuat kita menjadikan doa sebagai ajang sensasi.
Penulis meyakini kejenuhan akan berlalu jika kita belajar dari tokoh Ayub dan juga solusi yang ditawarkan oleh Albert Camus dan Paulo Coelo. Sebagai Claretian dan Juga Calon Claretian kita juga mendapat pencerahan yang disuguhkan oleh dokumen kapitel ke-20 untuk kembali bersemangat dalam doa dan memperbarui diri kita (Renew our self). Dengan demikian “roh” dari doa mampu menjadi sarana transformasi diri.
Yogyakarta, 2020
Fransiskus Sardi


MEMENTO MORI (REMEMBER THOU MUST DIE)

Bagaimana Anda mempersiapkan waktu kematianmu? Suatu hari anda akan mati. Pasti! Semesta telah membuktikannya, dan sekarang di Indonesia, (9 Juni 2020) sudah ada 1.923 orang ‘pergi’ mendahului Anda dan saya dengan dalih makhluk renik bernama covid-19 sebagai penyebabnya. Entahlah! Saya ingin menegaskan bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan. Keduanya adalah dua putera dari satu bumi. Tak terpisahkan! Kematian, rasanya mengerikan dan menakutkan. Lebih parah lagi, ketika masih ingin menikmati indahnya semesta, tiba-tiba harus beralih ke dunia lain, ajal menjemput seperti syair sebuah lagu.

Mati! Kata yang menakutkan dan juga membuat orang selalu was-was. Tidak pasti kapan akan terjadi yang pasti hanyalah sebuah kepastian akan terjadinya kematian. Kematian ibarat sebuah gema kehidupan yang tidak pernah berhenti membuntut. Walau banyak yang ingin berlari dan menghindar tapi toh dia akan tetap ditaklukan dan dikalahkan oleh kematian. Ketakutan terhadap kematian adalah ketakutan terhadap kehidupan, karena hidup selalu melekat dengan kematian. Keduanya berjalan beriringan, dan yang pasti kematian adalah adiknya kelahiran… Mungkin demikian!

Epictetus, dalam Discourses mengisahkan bahwa para Jendral Romawi yang merayakan kemenangan pasca perang sering mendengar bisikan yang juga bisa dikatakan sebagai warning ‘memento mori’. Frasa ini sederhana, tapi menyurat dan menyiratkan makna nan menukik.

Hewan mati, teman mati, dan dirimu sendiri juga akan mati; tapi satu hal yang saya tahu tidak pernah mati, kisah tentang orang mati; selalu abadi.

Rasanya mengerikan kematian itu. Suka tidak suka, mau tidak mau, kita harus menerimanya sebagai bagain dari ziarah perjalanan. Kematian adalah cover terakhir dari sebuah ‘buku’ perjalanan hidup manusia yang diawali dengan cover depan (kelahiran). Setiap perziarahan; suka duka, adalah lembaran-lembaran kisah yang mewarnai perjalanannya. Saya heran dan terharu ketika membaca sebuah berita yang dituliskan dalam sebuah majalah, entah edisi berapa saya tidak mengingatnya secara pasti. Dikisahkan bahwa ada beberapa orang-orang tua yang melakukan meditasi kematian, dengan membiarkan diri masuk dalam peti mati; menjadi orang mati sehari. Mengerikan!

Ternyata dalam tradisi Buddha, sangat familiar dengan meditasi kematian. Bahkan dijelaskan: “Dari semua jejak kaki, jejak kaki gajahlah yang tertinggi. Begitu pula, dari semua meditasi pikiran, meditasi atas kematian adalah yang tertinggi.” Meditasi akan kematian menjadikan kita sadar bahwa hidup ini singkat dan sungguh disayangkan jika tidak dijalani dengan baik.

Sebuah penelitian dari University of Kentucky menjelaskan bahwa “memikirkan tentang kematian membuat kita berorientasi ke stimulus yang menyenangkan secara emosional.” Penelitian yang dilakukan oleh C.Nathan DeWall dan Roy F. Baumeister tersebut menemukan bahwa “hal ini terjadi di luar kesadaran kita, fakta yang berkontribusi terhadap kegagalan seseorang memprediksi seberapa cepat mereka akan pulih dari kejadian yang tidak menyenangkan. Fakta membuktikan bahwa respon yang umum terhadap perenungan kematian adalah orientasi tidak sadar terhadap pemikiran yang menyenangkan.” Artinya permenungan akan kematian tidak melahirkan bayangan ketakutan, tetapi pada sebuah kesadaran metafisis.

Bayangkan bahwa tidak ada kejahatan yang menimpa orang yang telah meninggal, bahwa kisah yang menjadikan dunia bawah tanah sebagai tempat teror bagi kita hanyalah sebuah dongeng belaka, bahwa tidak ada kegelapan yang mengancam orang mati, tidak ada penjara, atau lautan api yang menyala-nyala, atau tempat duduk penghakiman, tidak ada orang berdosa yang harus mempertangungjawabkan kejahatan mereka, bayangkanlah: semua itu hanyalah imajinasi para penyair, yang telah menyiksa kita dengan ketakutan yang tidak berdasar.

Kematian adalah pembebasan dari semua rasa sakit; mengembalikan kita pada keadaan damai di mana kita berbaring sebelum kita dilahirkan. Jika seseorang mengasihani mereka yang telah meninggal, biarkan dia mengasihani juga mereka yang belum dilahirkan. Kematian bukanlah tentang kebaikan atau kejahatan; karena darinya sesuatu bisa menjadi baik atau jahat, dan akhirnya kematian membebaskan kita dari keberuntungan.

Lupakan yang lainnya, pusatkan pikiran pada satu hal: jangan takut akan kematian. Jadikan kematian sebagai kerabat dekat anda Melalui refleksi panjang menjadikan kematian sebagai salah satu kenalan dekat Anda, sehingga, jika situasinya muncul, Anda bahkan bisa keluar dan menemuinya (Seneca, Earthquake).

Kesadaran akan kerapuhan dan kematian manusia, akan menjadikan manusia semakin sadar untuk menjadi hidup lebih baik dan bermanfaat bagi sesama manusia di dunia. Di tengah pandemic covid-19 saat ini, menyadari akan kerapuhan, menjadi jalan untuk lebih care denga hidup, sesama, alam dan Tuhan. Bagaimanapun juga kematian adalah bagian dari kehidupan, dan akan tetap beradu sampai penderitaan tidak ada lagi di bumi ini. Akhirnya, Memento Mori, INGATLAH ANDA AKAN MATI!

            Yogyakarta, 10 Juni 2020

            Fransiskus Sardi

*Pada Akhirnya