Rabu, 10 Juni 2020

MEMENTO MORI (REMEMBER THOU MUST DIE)

Bagaimana Anda mempersiapkan waktu kematianmu? Suatu hari anda akan mati. Pasti! Semesta telah membuktikannya, dan sekarang di Indonesia, (9 Juni 2020) sudah ada 1.923 orang ‘pergi’ mendahului Anda dan saya dengan dalih makhluk renik bernama covid-19 sebagai penyebabnya. Entahlah! Saya ingin menegaskan bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan. Keduanya adalah dua putera dari satu bumi. Tak terpisahkan! Kematian, rasanya mengerikan dan menakutkan. Lebih parah lagi, ketika masih ingin menikmati indahnya semesta, tiba-tiba harus beralih ke dunia lain, ajal menjemput seperti syair sebuah lagu.

Mati! Kata yang menakutkan dan juga membuat orang selalu was-was. Tidak pasti kapan akan terjadi yang pasti hanyalah sebuah kepastian akan terjadinya kematian. Kematian ibarat sebuah gema kehidupan yang tidak pernah berhenti membuntut. Walau banyak yang ingin berlari dan menghindar tapi toh dia akan tetap ditaklukan dan dikalahkan oleh kematian. Ketakutan terhadap kematian adalah ketakutan terhadap kehidupan, karena hidup selalu melekat dengan kematian. Keduanya berjalan beriringan, dan yang pasti kematian adalah adiknya kelahiran… Mungkin demikian!

Epictetus, dalam Discourses mengisahkan bahwa para Jendral Romawi yang merayakan kemenangan pasca perang sering mendengar bisikan yang juga bisa dikatakan sebagai warning ‘memento mori’. Frasa ini sederhana, tapi menyurat dan menyiratkan makna nan menukik.

Hewan mati, teman mati, dan dirimu sendiri juga akan mati; tapi satu hal yang saya tahu tidak pernah mati, kisah tentang orang mati; selalu abadi.

Rasanya mengerikan kematian itu. Suka tidak suka, mau tidak mau, kita harus menerimanya sebagai bagain dari ziarah perjalanan. Kematian adalah cover terakhir dari sebuah ‘buku’ perjalanan hidup manusia yang diawali dengan cover depan (kelahiran). Setiap perziarahan; suka duka, adalah lembaran-lembaran kisah yang mewarnai perjalanannya. Saya heran dan terharu ketika membaca sebuah berita yang dituliskan dalam sebuah majalah, entah edisi berapa saya tidak mengingatnya secara pasti. Dikisahkan bahwa ada beberapa orang-orang tua yang melakukan meditasi kematian, dengan membiarkan diri masuk dalam peti mati; menjadi orang mati sehari. Mengerikan!

Ternyata dalam tradisi Buddha, sangat familiar dengan meditasi kematian. Bahkan dijelaskan: “Dari semua jejak kaki, jejak kaki gajahlah yang tertinggi. Begitu pula, dari semua meditasi pikiran, meditasi atas kematian adalah yang tertinggi.” Meditasi akan kematian menjadikan kita sadar bahwa hidup ini singkat dan sungguh disayangkan jika tidak dijalani dengan baik.

Sebuah penelitian dari University of Kentucky menjelaskan bahwa “memikirkan tentang kematian membuat kita berorientasi ke stimulus yang menyenangkan secara emosional.” Penelitian yang dilakukan oleh C.Nathan DeWall dan Roy F. Baumeister tersebut menemukan bahwa “hal ini terjadi di luar kesadaran kita, fakta yang berkontribusi terhadap kegagalan seseorang memprediksi seberapa cepat mereka akan pulih dari kejadian yang tidak menyenangkan. Fakta membuktikan bahwa respon yang umum terhadap perenungan kematian adalah orientasi tidak sadar terhadap pemikiran yang menyenangkan.” Artinya permenungan akan kematian tidak melahirkan bayangan ketakutan, tetapi pada sebuah kesadaran metafisis.

Bayangkan bahwa tidak ada kejahatan yang menimpa orang yang telah meninggal, bahwa kisah yang menjadikan dunia bawah tanah sebagai tempat teror bagi kita hanyalah sebuah dongeng belaka, bahwa tidak ada kegelapan yang mengancam orang mati, tidak ada penjara, atau lautan api yang menyala-nyala, atau tempat duduk penghakiman, tidak ada orang berdosa yang harus mempertangungjawabkan kejahatan mereka, bayangkanlah: semua itu hanyalah imajinasi para penyair, yang telah menyiksa kita dengan ketakutan yang tidak berdasar.

Kematian adalah pembebasan dari semua rasa sakit; mengembalikan kita pada keadaan damai di mana kita berbaring sebelum kita dilahirkan. Jika seseorang mengasihani mereka yang telah meninggal, biarkan dia mengasihani juga mereka yang belum dilahirkan. Kematian bukanlah tentang kebaikan atau kejahatan; karena darinya sesuatu bisa menjadi baik atau jahat, dan akhirnya kematian membebaskan kita dari keberuntungan.

Lupakan yang lainnya, pusatkan pikiran pada satu hal: jangan takut akan kematian. Jadikan kematian sebagai kerabat dekat anda Melalui refleksi panjang menjadikan kematian sebagai salah satu kenalan dekat Anda, sehingga, jika situasinya muncul, Anda bahkan bisa keluar dan menemuinya (Seneca, Earthquake).

Kesadaran akan kerapuhan dan kematian manusia, akan menjadikan manusia semakin sadar untuk menjadi hidup lebih baik dan bermanfaat bagi sesama manusia di dunia. Di tengah pandemic covid-19 saat ini, menyadari akan kerapuhan, menjadi jalan untuk lebih care denga hidup, sesama, alam dan Tuhan. Bagaimanapun juga kematian adalah bagian dari kehidupan, dan akan tetap beradu sampai penderitaan tidak ada lagi di bumi ini. Akhirnya, Memento Mori, INGATLAH ANDA AKAN MATI!

            Yogyakarta, 10 Juni 2020

            Fransiskus Sardi

*Pada Akhirnya


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar