Jumat, 26 Juni 2020

BERDAMAI DENGAN CORONA ALA SISIFUS DAN AYUB

Ketika merenungkan pandemi Covid-19, saya teringat akan sebuah mite yang sangat familiar karya Albert Camus; Mite Sisifus. Mitos tersebut mengisahkan tentang seorang tokoh bernama Sisifus, yang mendapat siksaan dari para dewa. Siksaan disebabkan karena ia bekerja sama dengan Jupiter untuk menculik puteri Asop bernama Ejin. Dinarasikan juga, Sisifus adalah seorang yang paling bijaksana dan waspada, tetapi cendrung menjadi perampok. Ada banyak kontradiksi mengenai kepribadian Sisifus, tetapi di sini saya tidak ingin mempersoalkan hal tersebut, fokus saya adalah pada penderitaan yang dihadapinya dan responnya atas penderitaan. Ia mendapat hukuman dilemparkan ke neraka. Sisifus disiksa oleh para dewa dengan cara yang sangat mengerikan. Ia harus menggulingkan sebuah batu besar ke atas sebuah lereng gunung. Ia mengangkat batu raksasa tersebut, menggelindingkan dan mendorongnya sampai di lereng berulang-ulang tanpa berhenti. Ketika batu sudah digulingkannya dengan susah payah ke atas lereng, batu tersebut jatuh lagi ke bawah, dan seterusnya terjadi demikian (Albert Camus. Mite Sisifus, Suatu Penalaran Absurd, 155-156). Kisah ini mengaktifkan imajinasi saya, bahwa betapa penderitaan yang dialami oleh Sisifus ini tidak akan pernah berakhir. Ia berjuang menggulingkan batu raksasa ke atas, dan dengan sendirinya batu itu kembali lagi tergguling ke lembah.

Sisfus tampaknya terbiasa dengan penderitaan, saya mereka-reka mungkin dia juga paham filsafat stoa. Dia menerima penderitaan sebagai musibah akibat kesalahannya sendiri (personalization), (bdk. Filosofi Teras, hal. 201), tetapi dia memiliki kemampuan untuk melampui opininya itu dengan menerima penderitaan secara lapang dada. Dalam filsafat stoa, respon atas penderitaan menjadi kunci untuk menentukan keadaan diri kita selanjutnya. Pandemi covid-19 bisa menjadi ladang untuk melatih diri untuk merespon penderitaan (rasanya agak berlebihan). Menerima penderitaan akan menjadikan diri semakin tangguh, membentuk rasa percaya diri, dan menjadi pribadi yang menolak kenikmatan semata (FT. 207). Latihah untuk menerima penderitaan juga menjadi bagian dari usaha untuk memikirkan skenario-skenario buruk yang mungkin akan terjadi. Kekuatan filsafat stoa ada pada kemampuan untuk menerima penderitaan seperti Sisifus dalam mitenya Albert Camus.

Dalam konteks pandemi covid-19, saya merenungkan bahwa kita mesti terus berjuang seperti Sisifus yang menggangap ‘dirinya lebih kuat daripada batunya’. Sisifus tidak pernah menyerah dengan perjuangannya untuk menggulingkan batu ke puncak. Usahanya ini memang menuai hasil yang nihil, namun dalam proses mengangkat batu ke puncak, telurlah sebuah kesadaran yang sangat hakiki dan mendalam, bahwa penderitaannya tidak akan pernah berakhir dan hal yang perlu dilakukan hanyalah berusaha untuk berdamai dengan penderitaannya, menerima semuanya dengan lapang dada, mengafirmasi pengalaman kegetirannya sebagai bagian dari hidupnya sendiri sambil terus berjuang. ‘Penderitaan dan kebahagian adalah dua putra dari satu bumi’ demikian kata Camus dalam mitos tersebut. Keduanya tak terpisahkan. Bagi saya disinilah titik temu antara mite tersebut dengan pandemi Covid-19; berdamai dengan penderitaan; berdamai dengan makhluk renik, bernama corona. Berdamai dengan corona dalam permenungan saya bukan berarti menyerahkan diri untuk diserang dan dijangkit oleh virus. Berdamai dengan corona berarti berjuang untuk mulai menerima sebuah gaya hidup normal baru (new normal life) di tengah wabah seperti Sisifus di tengah penderitaannya. Kalau manusia terbiasa untuk menerima kebaikan, lalu mengapa harus menolak penderitaan. Berada dalam kesusahan (penderitaan) bisa membuat kita kembali bersyukur atas apa yang telah kita miliki dalam sejarah perjalanan hidup kita.

Menerima penderitaan (wabah corona) sebagai bagian dari hidup, atau pun sebagai sebuah pola hidup baru adalah hal yang memang cukup sulit untuk diterima dalam keseharian hidup manusia. Rutinitas keseharian yang biasanya selalu dalam relasi sosial sebaga makhluk sosial, perlahan geser oleh kecemasan dan sikap mawas diri. Kebutuhan psikologis untuk membangun intimitas dibatasi oleh sebuah wabah. Setiap pribadi selalu merasa was-wasan berinteraksi dengan liyan. Ada ketakutan untuk berelasi secara terbuka di ruang publik, dengan motif untuk mengurangi penyebaran dan penularan makhluk renik ini.

Ketidakjelasan kapan berakhirnya wabah ini juga membuat kita mesti berjuang untuk berdamai dengan covid-19, dan resolusi pasca wabah. Membiasakan diri untuk menerima wabah menjadi hal penting saat ini. Ayub dalam kisah Kitab Suci, bisa juga digambarkan sebagai tokoh yang mampu menerima penderitaan. Seperti Sisifus yang awalnya meronta-ronta dan menolak penderitaan, Ayub juga demikian. Ayub menolak untuk mengutuk Allah, dan bahkan ia menerima semua penderitaanya dengan suatu sikap penyerahan diri yang total. Ia memiliki keyakinan bahwa tulah yang menimpanya akan segera berakhir. Adalah sebuah kebohongan jika harus memberontak, jika pemberontakan itu tidak menemukan hasil. Kisah Ayub dalam Kitab Suci dan mitos Sisisfus, bagi saya bisa mewakili bentuk pemberontakan dengan mendiamkan penderitaan itu sendiri, menerimanya dengan lapang dan mengakuinya sebagai bagian dari hidup.

Di tengah wabah saat ini, kita diajak untuk belajar dari Sisifus dan Ayub, khususnya dalam kaitannya sikap penerimaan akan penderitaan. Menyadari penderitaan sebagai hal yang tak terpisahkan dari hidup seperti Sisifus dan melapangkannya dalam doa yang khusuk dan berkanjang seperti Ayub pada saat mendapat tulah. Doa bisa menjadi sekolah harapan, tempat untuk belajar berpengharapan. Di saat tidak ada seorang pun yang bisa membantu dan menolong, dalam keadaan yang mencekam, berserah diri pada Tuhan menjadi solusi baik ketimbang menyalahkan diri sendiri (Paus Benediktus XVI, Ensiklik Spe Salvi, art. 32). Doa bisa menjadi latihan kerinduan untuk bisa berdiri teguh dan kokoh menghadapi pandemi.

Di akhir permenungan tentang covid-19 ini, saya ingin menegaskan kembali bahwa poin pentingnya ialah bagaimana berdamai dengan penderitaan dan selalu ada dalam keadaan berpengharapan. Berdamai dan berpengharapan adalah dua hal yang mesti digaungkan dalam diri di tengah merebaknya wabah ini. Corona memberikan spasi baru bagi kita untuk bermenung tentang penderitaan dan membangun kesadaran.

Kesadaran akan realitas kelemahan dalam diri membuat kita selalu mencari sosok lain. Akhirnya, gejolak yang mestinya ada saat ini ialah menjadi sandaran bagi sesama dengan peduli dan bertanggungjawab. Kepudilan diartikan dengan ketaatan pada anjuran pemerintah untuk menjaga jarak, menerapkan pola hidup bersih dan bersolider dan juga lebih care lagi dengan ibunda bumi. Menerima penderitaan ala sisifus dan Ayub berarti berdamai dengan penderitaan, diri sendiri, sesama, alam dan Tuhan.

 

Yogyakarta, 26 Juni 2020

Fransiskus Sardi