Ketika merenungkan pandemi Covid-19, saya teringat akan sebuah mite yang sangat familiar karya Albert Camus; Mite Sisifus. Mitos tersebut mengisahkan tentang seorang tokoh bernama Sisifus, yang mendapat siksaan dari para dewa. Siksaan disebabkan karena ia bekerja sama dengan Jupiter untuk menculik puteri Asop bernama Ejin. Dinarasikan juga, Sisifus adalah seorang yang paling bijaksana dan waspada, tetapi cendrung menjadi perampok. Ada banyak kontradiksi mengenai kepribadian Sisifus, tetapi di sini saya tidak ingin mempersoalkan hal tersebut, fokus saya adalah pada penderitaan yang dihadapinya dan responnya atas penderitaan. Ia mendapat hukuman dilemparkan ke neraka. Sisifus disiksa oleh para dewa dengan cara yang sangat mengerikan. Ia harus menggulingkan sebuah batu besar ke atas sebuah lereng gunung. Ia mengangkat batu raksasa tersebut, menggelindingkan dan mendorongnya sampai di lereng berulang-ulang tanpa berhenti. Ketika batu sudah digulingkannya dengan susah payah ke atas lereng, batu tersebut jatuh lagi ke bawah, dan seterusnya terjadi demikian (Albert Camus. Mite Sisifus, Suatu Penalaran Absurd, 155-156). Kisah ini mengaktifkan imajinasi saya, bahwa betapa penderitaan yang dialami oleh Sisifus ini tidak akan pernah berakhir. Ia berjuang menggulingkan batu raksasa ke atas, dan dengan sendirinya batu itu kembali lagi tergguling ke lembah.
Sisfus tampaknya
terbiasa dengan penderitaan, saya mereka-reka mungkin dia juga paham filsafat
stoa. Dia menerima penderitaan sebagai musibah akibat kesalahannya sendiri (personalization), (bdk. Filosofi Teras, hal. 201), tetapi dia memiliki kemampuan
untuk melampui opininya itu dengan menerima penderitaan secara lapang dada. Dalam filsafat stoa, respon atas penderitaan menjadi
kunci untuk menentukan keadaan diri kita selanjutnya. Pandemi covid-19 bisa
menjadi ladang untuk melatih diri untuk merespon penderitaan (rasanya agak
berlebihan). Menerima penderitaan akan menjadikan diri semakin tangguh,
membentuk rasa percaya diri, dan menjadi pribadi yang menolak kenikmatan semata
(FT. 207). Latihah untuk menerima penderitaan juga menjadi bagian dari usaha
untuk memikirkan skenario-skenario buruk yang mungkin akan terjadi. Kekuatan
filsafat stoa ada pada kemampuan untuk menerima penderitaan seperti Sisifus
dalam mitenya Albert Camus.
Dalam konteks pandemi covid-19, saya merenungkan bahwa kita mesti terus
berjuang seperti Sisifus yang menggangap ‘dirinya lebih kuat daripada batunya’.
Sisifus tidak pernah menyerah dengan perjuangannya untuk menggulingkan batu ke
puncak. Usahanya ini memang menuai hasil yang
nihil, namun dalam proses mengangkat batu ke puncak, telurlah sebuah kesadaran
yang sangat hakiki dan mendalam, bahwa penderitaannya tidak akan pernah
berakhir dan hal yang perlu dilakukan hanyalah berusaha untuk berdamai dengan
penderitaannya, menerima semuanya dengan lapang dada, mengafirmasi pengalaman
kegetirannya sebagai bagian dari hidupnya sendiri sambil terus berjuang.
‘Penderitaan dan
kebahagian adalah dua putra dari satu bumi’ demikian kata Camus dalam mitos
tersebut. Keduanya tak terpisahkan. Bagi saya disinilah titik temu antara mite tersebut dengan pandemi Covid-19; berdamai dengan penderitaan;
berdamai dengan makhluk renik, bernama corona. Berdamai dengan corona dalam permenungan saya bukan
berarti menyerahkan diri untuk diserang dan dijangkit oleh virus. Berdamai
dengan corona berarti berjuang untuk mulai menerima sebuah gaya hidup normal
baru (new normal life) di tengah
wabah seperti Sisifus di tengah penderitaannya. Kalau manusia terbiasa untuk menerima kebaikan, lalu mengapa
harus menolak penderitaan. Berada dalam
kesusahan (penderitaan) bisa membuat kita kembali bersyukur atas apa yang telah
kita miliki dalam sejarah perjalanan hidup kita.
Menerima penderitaan (wabah corona) sebagai bagian dari hidup, atau pun
sebagai sebuah pola hidup baru adalah hal yang memang cukup sulit untuk
diterima dalam keseharian hidup manusia. Rutinitas keseharian yang biasanya
selalu dalam relasi sosial sebaga makhluk sosial, perlahan geser oleh kecemasan
dan sikap mawas diri. Kebutuhan
psikologis untuk membangun intimitas dibatasi oleh sebuah wabah. Setiap pribadi
selalu merasa was-wasan berinteraksi dengan liyan. Ada ketakutan untuk berelasi
secara terbuka di ruang publik, dengan motif untuk mengurangi penyebaran dan
penularan makhluk renik ini.
Ketidakjelasan kapan berakhirnya
wabah ini juga membuat kita mesti berjuang untuk berdamai dengan covid-19, dan resolusi pasca wabah. Membiasakan
diri untuk menerima wabah menjadi hal penting saat ini. Ayub dalam kisah Kitab
Suci, bisa juga digambarkan sebagai tokoh
yang mampu
menerima
penderitaan. Seperti Sisifus yang awalnya meronta-ronta dan menolak
penderitaan, Ayub juga demikian. Ayub menolak untuk mengutuk Allah, dan bahkan
ia menerima semua penderitaanya dengan suatu sikap penyerahan diri yang total.
Ia memiliki keyakinan bahwa tulah yang menimpanya akan segera berakhir. Adalah
sebuah kebohongan jika harus memberontak, jika pemberontakan itu tidak
menemukan hasil. Kisah Ayub dalam Kitab Suci dan mitos Sisisfus, bagi saya bisa
mewakili bentuk pemberontakan dengan mendiamkan penderitaan itu sendiri,
menerimanya dengan lapang dan mengakuinya sebagai bagian dari hidup.
Di tengah wabah saat ini, kita diajak untuk belajar dari Sisifus dan Ayub, khususnya
dalam kaitannya sikap penerimaan akan penderitaan. Menyadari penderitaan
sebagai hal yang tak terpisahkan dari hidup seperti Sisifus dan melapangkannya dalam doa
yang khusuk dan berkanjang seperti Ayub pada saat mendapat tulah. Doa bisa
menjadi sekolah harapan, tempat untuk belajar berpengharapan. Di saat tidak ada
seorang
pun
yang bisa membantu dan menolong, dalam keadaan yang mencekam, berserah diri
pada Tuhan menjadi solusi baik ketimbang menyalahkan diri sendiri (Paus
Benediktus XVI, Ensiklik Spe Salvi, art. 32). Doa bisa menjadi latihan
kerinduan untuk bisa berdiri teguh dan kokoh menghadapi pandemi.
Di akhir permenungan tentang covid-19 ini, saya ingin menegaskan kembali
bahwa poin pentingnya ialah bagaimana berdamai dengan penderitaan dan selalu
ada dalam keadaan berpengharapan. Berdamai dan berpengharapan adalah dua hal
yang mesti digaungkan dalam diri di tengah merebaknya wabah ini. Corona memberikan spasi
baru bagi kita untuk bermenung tentang penderitaan dan membangun kesadaran.
Kesadaran akan realitas kelemahan dalam diri membuat kita selalu mencari
sosok lain. Akhirnya, gejolak yang
mestinya ada saat ini ialah menjadi sandaran bagi sesama dengan peduli dan
bertanggungjawab. Kepudilan diartikan dengan ketaatan pada anjuran pemerintah
untuk menjaga jarak, menerapkan pola hidup bersih dan bersolider dan juga lebih
care lagi dengan ibunda bumi.
Menerima penderitaan ala sisifus dan Ayub berarti berdamai dengan penderitaan,
diri sendiri, sesama, alam dan Tuhan.
Yogyakarta, 26 Juni 2020
Fransiskus Sardi