Selasa, 09 Juni 2020

MAHASISWA KRITIS DI ERA TEKNOLOGI


Mengembangkan budaya kritis dalam dunia pendidikan adalah tujuan esensi dari proses pendidikan itu sendiri. Sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya juga, pada umumnya mengedepankan sikap,  dan nilai kritis demi membangun dan melahirkan generasi-generasi yang berkualitas. Term kritis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ‘sikap tidak mudah percaya atau selalu berusaha untuk menemukan kesalahan dan kekeliruan, mempertanyakan dan meragukan kesahihan suatu pernyataan, atau tindakan, dengan analisa yang tajam (analisis kritis). Definisi ini berhubungan dengan logika atau cara berpikir kritis. Lazimnya, ukuran berkualitas atau tidaknya sebuah lembaga pendidikan ditentukan sejauh mana lembaga tersebut berhasil mencetak output-output yang berkualitas.  
Teknologi, khususnya dalam bidang sosial media telah menawarkan kemudahan dan juga keruwetan bagi mahasiwa zaman now. Berhadapan dengan kemajuan teknologi khususnya bidang media sosial, para mahasiswa ditempatkan pada dua kemungkinanan dasar, yakni mampu menguasai teknologi atau malah dikuasai oleh teknologi. Pribadi yang mampu menguasai teknologi mampu untuk mengendalikan teknologi, sedangkan pribadi yang dikuasai oleh teknologi akan dikendalikan oleh teknologi. Keadaan dikuasai teknologi atau menguasai teknologi adalah pilihan yang bisa ada jika user memiliki kemampuan untuk berpikir kritis.
Kata kritis memiliki dua makna, yang pertama berarti sikap tidak mudah percaya atau selalu berusaha untuk menemukan kesalahan dan kekeliruan dari suatu pernyataan atau tindakan, dan analisa yang tajam (analisis kritis). Yang kedua, kritis juga bisa diartikan sebagai situasi krisis, gawat, genting, dalam keadaan yang paling menetukan berhasil atau gagalnya suatu usaha. Definisi yang kedua ini lebih berkaitan dengan suatu keadaan manusia, alam, dan binatang atau pun ciptaan pada umumnya. Bertolak dari definisi tersebut penulis melihat bahwa perkembangan teknologi membawa manusia pada situasi kritis yang mana membawa pada hal yang ruwet dan juga menawarkan kemudahan sehingga melahirkan pola pikir yang serba instan, karenanya diperlukan sikap kritis atau dengan lain kata mengkritisi perkembangan teknologi.
Mengkritisi bukan berarti menjauhkan diri tetapi selalu melihat nilai positif dari perkembangan dan kemajuan teknologi. Memanfaatkannya dan menggunakan pengaruh perkembangan dan kemajuan teknologi untuk kepentingan dan kebaikan personal, bersama, dan alam. Ketika setiap mahasiswa memanfaatkan dan menggunakan kreasi teknologi sebagai hal yang baik dan benar maka disaat itulah sebenarnya tumbuh generasi yang kritis. Kekritisan yang mau ditekankan di sini bukanlah tentang keadaan, tetapi lebih pada pola pikir dalam diri. Mahasiswa yang kritis tidak mudah percaya pada apa saja, ia selalu melakukan investigasi dan verifikasi lanjutan demi mencapai suatu nilai informasi yang kritis.  
Salah satu dari 10 skilss yang ditawarkan oleh World Economic Forum: the 10 skills you need to thrive in the fourth industrial revolution tahun 2016 adalah cara berpikir kritis (critical thingking). Setiap orang diharapkan paling tidak memiliki kemampuan berpikir kritis ditengah pesatnya perkembangan dunia. Di era revolusi industri 4.0 saat ini ada banyak kemudahan dalam mengakses berbagai materi pendidikan atau bahan perkuliahan. Pengetahuaan dan informasi yang dulu hanya bisa didapat ketika seorang mengikuti proses belajar di kelas dan dalam bentuk formal kini bergeser dengan mudahnya diakses melalui media online, yang merupakan buah dari perkembangan teknologi.
Menurut Widodo Budhiharto, opini Kompas 8 November 2019, Pendidikan di era 4.0 merupakan istilah umum yang dipakai para ahli teori pendidikan untuk menggambarkan beragam cara dalam mengintegrasikan teknologi siber  (cyber technology) baik secara fisik maupun tidak ke dalam dunia pembelajaran. Ujung dari revolusi industri 4.0 adalah otomasi untuk efisiensi dan kinerja handal. Oleh karena itu, mahasisiwa harus punya wawasan yang luas serta disiapkan kemampuan critical thingking, yaitu mampu menemukan cara alternatif untuk mengerjakan sesuatu dan bekerja dalam batasan tertentu sehingga menghasilkan solusi yang lebih efisien.
Kemampuan mengkreasi adalah hal yang mungkin bisa ada ketika seorang mahasiswa menggunakan nalar kritisnya untuk menilai dan memahami apa yang akan menjadi tuntutan dan kebutuhan zaman. Kebutuhan dan trend di setiap zaman selalu berubah, karenanya memahami trend dan minat dari zaman tersebuta adalah hal yang harus ada dalam diri para mahasiswa. Kemampuan memahami dan mengetahui tuntutan zaman adalah hal yang mungkin bisa terjadi ketika sesorang memahami cara berpikir kritis. Mahasiswa kritis selalu bisa membuat komparasi antara kebenaran dan kedungguan. Menjadi mahasiwa kritis di era teknologi berarti selalu berusaha menciptakan hal baru dengan tujuan membangun nalar kritis bangsa.
Presiden Jokowi dalam satu kesempatan presidential lecture di depan ribuan CPNS menegaskan bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) harus bersaing dengan teknologi, mesin dan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Perubahan dunia sangat cepat oleh karena itu komunitas-komunitas dan lembaga-lembaga akademis mestinya memiliki sikap siap sedia untuk menanggapi perkembangan dunia yang cepat tersebut. sekolah-sekolah diharapkan bergerak cepat agar sesuai dengan kecerdasan dan dinamika digital.Bergerak cepat dan respon cepat adalah harapan yang diutarakan oleh jokowi. Menanggapi hal ini saya melihat bahwasannya pendidikan di Indonesia haruslah pendidikan yang bisa menggunakan media-media teknologi yang telah merembes ke pelosok-pelosok Negara Indonesia.
Yogyakarta, 09 Juni 2020

Fransiskus Sardi

BELAJAR BERSAMA SAMPAI AKHIR

FACE TO FACE, SCREEN TO SCREEN!

Perjumpaan
Dalam satu kesempatan Adam Smith (1723-1790) seorang filsuf berdarah Skotlandia menyebut manusia sebagai homo homini socius, rekan atau sahabat bagi manusia lainnya. Ungkapan ini menunjukkan bahwa manusia makhluk yang mutlak membutuhkan orang lain sebagai sahabat atau rekan dalam hidup. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial menjadikan setiap pribadi selalu berada dalam lingkaran relasi dengan orang lain. Lazimnya, relasi selalu bermula dari perjumpaan; perjumpaan menjadi titik awal sebuah relasi. Maka yang takut berjumpa sebetulnya lupa asal, karena justru manusia itu hadir karena relasi. Dengan demikian perjumpaan menghasilkan relasi, relasi menelurkan kehidupan. Inilah unsur resiprokal dari esensi manusia sebagai makhluk sosial.
Era baru: Face to Face moves to’ Screen to Screen
Dalam budaya masyarakat Manggarai, dikenal sebuah istilah ‘lonto leok’ yang berarti kumpul bersama atau musyawarah. Lonto leok merupakan warisan budaya yang mana para tokoh masyarakat berkumpul bersama dan membangun ruang perjumpaan untuk membahas hal-hal mengenai cita-cita sekaligus mengevaluasi kehidupan. Lonto leok menjadi media untuk saling bertukar pikir, bercerita, bersenda gurau, bertukar pengalaman dan pengetahuan tentang fenomena kehidupan. Yang terpenting, relasi yang dibangun dalam tradisi lonto Leok ini, adalah sebuah relasi yang terjadi secara langsung, berhadap muka atau yang saya sebut sebagai perjumpaan face to face.
Perjumpaan face to face atau tatap langsung merupakan sebuah jenis relasi antar manusia yang paling asali sekaligus primodial karena diturunkan dari nenek moyang kita. Sebuah relasi yang punya kapasitas untuk menelurkan kehidupan. Atau mengutip Adam Smith, ini adalah sifat dasar manusia, selalu ada dalam relasi dengan orang lain.   
Dunia terus berkembang, ada begitu banyak hal juga yang berubah dan berkembang sebagai konsekuensi dari perkembangan. Saat ini manusia berhadapan dengan aneka macam media komunikasi yang memberikan warna yang berbeda dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Dimulai dari surat pena zaman siti nurbaya, telepon kabel, hingga smartphone yang available di manapun dan kapanpun. Itulah media sosial.
Media sosial yang booming dengan penemuannya yang masif seperti Handphone, laptop, tablet disertai dengan aneka macam platform Facebook, YouTube, Twitter, Instagram, Blogger kemudian membuat perjumpaan langsung seolah kehilangan makna. Di media sosial semua orang bisa mengakses dan mengupload informasi tanpa harus melangkah keluar dari ruang pribadinya untuk sekadar bersua muka mencari informasi. Perjumpaan face to face telah bergeser menuju perjumpaan dari layar ke layar (screen to screen).
Dapat dibayangkan, media sosial kini merajai generasi dari yang masih cabang bayi sampai tua keladi. Semua terkoneksi satu sama lain. Bahkan untuk Indonesia, dikutip dari Annual Digital Growth, sampai January 2019, kurang lebih 150 juta penduduk Indonesia aktif menggunakan media sosial dari total populasi penduduk sekitar 268.2 juta. Survei ini menujukkan bukti bahwa media sosial sudah akrab dan menjadi kebutuhan baru manusia zaman ini. Ia bukan lagi alat atau sarana, melainkan ruang perjumpaan.
Sejak adanya media sosial perjumpaan bisa dibangun dengan siapa saja. Dulu perjumpaan selalu mengarah pada interaksi langsung antarmuka (face to face) dalam masyarakat yang tinggal dalam tempat yang sama. Kini, perjumpaan bisa dibangun dari layar ke layar (screen to screen) dalam spasi yang terbentang luas tanpa batas dan menjangkau semua. Akhirnya kita sadar, perjumpaan yang awalnya hanya dibangun dalam ruang dan waktu yang sama, dari muka ke muka (face to face) kini melejit berubah menuju perjumpaan layar ke layar (screen to screen). Perjumpaan yang awalnya dibatasi oleh ruang spasial dan kultur tertentu kini bergeser menuju perjumpaan yang menembus tapal batas budaya, wilayah, suku, agama, dan ras. Inilah keunggulan perjumpaan dalam layar; menembus tapal batas dan bahkan tidak mengenal batasan. Media sosial telah melahirkan ruang dan cakupan perjumpaan dengan dunia yang luas dan tidak terikat pada spasi tertentu.
Merajut Harmoni: Screen to Screen dan Face to Face
Muncul dan berkembangnya internet membawa cara komunikasi baru di masyarakat. Media hadir dan merubah paradigma berkomunikasi. Komunikasi tak terbatas jarak, waktu dan ruang. Bisa terjadi dimana dan kapan saja tanpa harus tatap muka. Media sosial meniadakan status sosial yang sering menjadi penghambat dalam komunikasi face to face. Dalam artian ini media membuka kesempatan bagi setiap individu yang terlibat (user) di dalamnya dan memiliki komitmen untuk saling merasa melekat dengan yang lain (kohesif) dan saling mendukung (suportif) sebagai sebuah komunitas. Dengan demikian, kita lalu dapat berasumsi bahwa kendati medium atau pun jenis relasi kita berubah, dari face to face menuju screen to screen, namun yang pasti naluri perjumpaannya masih sama, yakni no man is an Island, manusia tidak dapat hidup sendiri.

Yogyakarta, Juni 2020

Fransiskus Sardi