Dok. devianart.com
Malam bertabur bintang,
ditemani angin sepoi dan gerimis yang menjilat, membasahi rerumputan. Pandi,
seorang penikmat kopi dan pecandu rokok berdiri sambil pangku tangan menatap
keluar rumah. Ia berkhayal di sudut kamarnya, sambil menatap awan kelam lewat
jendela yang sengaja ia buka.
Walaupun malam berisik
dan risau, ia tetap membiarkan jendelanya terbuka. Dan itu akan dibiarkan
terbuka sampai selamanya. Menurutnya, orang yang selalu membuka jendela kamar
adalah orang yang baik dan terbuka.
Analoginya sederhana,
kamar itu sama seperti hati seseorang, dan orang yang membiarkan hatinya
dipandangi oleh orang lain adalah orang yang benar-benar memiliki hati, orang
yang baik, dan orang yang pemurah, orang yang ramah. Pandi memang kadang suka
aneh-aneh dalam berpikir! Kok bisa-bisanya kamarnya disamakan dengan hati.
Ketika suatu hari saya
masuk ke kamarnya dan menanyai alasan perihal jendela kamarnya tersebut. Ia
berceloteh panjang, “saya seorang penikmat malam, penikmat siang, penikmat
bulan-bintang, penikmat matahari, penikmat angin, penikmat gerimis, penikmat
terik, penikmat senja, penikmat hujan, penikmat dingin dan penikmat segalanya.
Bahkan kakakmu yang
ganteng ini lebih dari seorang penikmat, kakak adalah seorang pencinta yang
sejati. Pecandu yang tak mau sembuh. Kakak tidak akan pernah menutup jendela
kamar, kakak membiarkan semua hal, entah baik buruk yang kakak sebut sebagai
candu atau nikmat itu masuk ke dalam kamar kakak, masuk ke dalam hati kakak,
masuk ke dalam kehidupan kakak”.
Sebagai seorang adik
bungsu, tentu saya iba dengan kakak yang memiliki kebiasaan buruk ini – yeah –
walaupun buruknya hanya dari paradigma berpikir saya, bagi si kutu buku dan
penggemar sastra ini ‘untuk memahami arti penderitaan, seseorang harus
menderita, jika ingin memahami cinta, dia juga harus mencintai’.
Dia memahami bahwa segala
sesuatu yang ingin kita peroleh, harus kita perjuangkan. Dan perjuangan itu
harus diwarnai dengan rasa, sense
katanya. Menurutnya lagi, semua orang bisa membeli harta, tapi tidak seorangpun
bisa membeli rasa. Rasa hanya bisa diperoleh dari perjuangan menghargai semua
hal dalam hidup. Orang yang memiliki rasa akan mencintai semua hal, entah jahat
atau pun yang baik.
Selama saya masih menjadi
anak SMP, saya akan susah memahami setiap percakapan dengan kakak pencinta
filsafat dan ilmu retorika ini. Dia satu-satunya orang dalam rumah kami yang
berkesempatan belajar filsafat di sebuah sekolah tinggi filsafat. Ia sangat
mencintai filosofi sebab-akibat.
Filosofi sebab-akibat
sangat menyatu denganya, bahkan mengalir dalam urat nadi Pandi. Ia percaya
setiap hal punya penyebabnya, dan selalu menimbulkan akibat, dan setiap akibat
punya penyebabnya. Dia selalu membuka jendela karena ia memiliki alasannya, dan
ia tahu apa akibatnya.
Ia juga paham setiap hal
yang dilakukan akan punya akibatnya. Ia percaya jika ia melakukan hal baik pada
orang lain, maka ia juga pasti akan mendapat perlakuan yang baik. Hal ini yang
menjadi tesis dasar mengapa ia selalu membuka jendela. Ia mencintai alam
semesta, dan ia ingin berbuat baik pada mereka dengan membiarkan mereka masuk
dalam kamarnya. Aneh memang sih... tapi itulah yang terjadi!
“Ka, kenapa sih kak nggak pernah tutup jendela
setiap tidur
malam hari”? tanyaku lagi di kamar makan saat sarapan pagi
bersama. Beruntungnya pagi ini kami makan bersama Papa dan Mama. Biasanya Papa
dan Mama selalu sibuk, dan sejak subuh sudah meninggalkan rumah menuju kantor
masing-masing. Sebagai putera bungsu dari tiga bersaudara, saya merasa sedikit
beruntung dengan adanya pandemi covid-19, akhirnya saya lebih banyak waktu
bersama malaikat tanpa sayap dan kedua kakak saya yang punya karakter
‘gila-gilaan’ – bukan gila benaran yeah –
dan aneh-aneh ini.
“Kamu kepo banget yeah Ancis! Bukannya semalam kakak
sudah berikan alasannya kan? Nanti dulu baru kita cerita lagi ya, sekarang
sarapan dulu, kasihan tuh mama sudah siapkan mie dan telur untuk kita, udah
lama juga nunggu kita di sini. Ayo makan!” Bukannya menjawab pertanyaan saya,
Pandi malah sibuk makan.
“Yeah ayo makan semuanya! Mama udah siapin sarapan
kesukan kalian ni! Limabelas menit lagi mama ada meeting via zoom di kamar
tamu. Kalian jangan berisik ya” tambah mama.
“Iya mama” jawab kami bertiga kompak.
“Nanti papa juga ada rapat ya, rapatnya juga dari
rumah kok. Kalian siapkan diri untuk belajar di kamar kalian masing-masing”
ujar papa sambil menatap kami semua yang duduk melingkar di meja makan.
“Kamu Pandi gimana skripsinya, udah sampai bab
terakhir ya?” tanya Papa pada Pandi.
“Sudah fix semua Pa, sudah ujian dua minggu lalu kok!
Maaf ya Pandi tidak memberitahukan Papa dan Mama. Saya ujianya di kamar via zoom juga kok. Mario sama Ancis juga
nggak saya beritahu! Nggak mau ngerepotin kalian” jelas kak Pandi.
“Sejak kecil dulu kakak bermimpi bertemu tentang diri
kakak yang berdiri dekat jendela tanpa busana. Saat itu sedang hujan, anehnya
juga pada saat yang sama sedang terjadi angin besar. Hujan membasahi diri kakak
yang berdiri dekat jendela. Setelah hujan matahari langsung menyengati tubuh
kakak. Kakak basah keringatan. Setelah semuanya reda, kakak bermimpi dalam
mimpi, seorang pria berambut panjang dan gimbal memberikan sebuah kalimat yang
sangat menarik dan itulah yang mengubah kehidupan kakak sejak hari itu.
Kalimatnya demikian, ‘jika engkau mencintai hujan,
lalu mengapa ketika hujan datang engkau mengenakan payung untuk melindungi
dirimu? Jika engkau mencintai matahari, lalu mengapa engakau memilih berteduh
di bawah naungan pohon ketika matahari menyinari bumi? Jika engkau mencintai
angin, mengapa juga engkau mengenakan sweater atau kain selimut di saat
istirahat malam? Kau lahir dalam keadaan telanjang, dan kau akan menghakiri
hidupmu dalam keadaan telanjang pula, sebaiknya engkau tidak perlu menutup
jendela mu ini, saya ingin engkau merasakan setiap tetesan air hujan, setiap
embusan angin, setiap keringat dibawah terik matahari. Setiap rasa yang kau
rasakan tidak bisa dibayar oleh apapun juga. Kau hanya bisa membayar tenaga
setiap orang, bisa membayar waktu setiap orang, tapi kau tidak bisa merasakan
perasaan yang setiap orang rasakan, itulah filosofi hidup yang dipelajari dari jendela
versi saya”.