Rabu, 13 Oktober 2021

Tragedi 30s (0 3 dan 3 0) : Jangan Diulang Lagi

 

Satu jam 30 menit, sebelum pertandingan Benfica Vs Barcelona, saya menulis ucapan ulang tahun untuk teman angkatan saya yang merayakan ulang tahun. Keduanya adalah penggemar Real Madrid. Dalam tulisan itu saya mengaitkan sepak bola dengan momen ulang tahun. Sepak bola yang kesannya hanya tontonan hiburan sebenarnya menyimpan banyak peristiwa kehidupan dan persoalan bumi manusia.

Dalam pertandingan sepak bola, ada kemenangan, kekalahan, kekecewaan, dan beragam peristiwa yang bisa ditilik, demi memperkaya makna kehidupan. Inti dari tulisan itu sangat sederhana, sepak bola itu representasi kehidupan. Bersamaan dengan ulang tahun kedua pendukung Madrid itu, saya menegaskan bahwa ulang tahun itu sama seperti peristiwa dalam sepak bola, yakni momen untuk bersyukur jika kalah atau menang, evaluasi semua aspek dalam pertandingan dan memulai dengan taktik baru. Jika berkeinginan melihat foto dua orang ganteng yang merayakan ulang tahun, klik di sini. 

Tepat pukul 02 dini hari Waktu Indonesia Barat, (30/09/2021) kick off pertandingan Benfica vs Barca dimulai. Saya harus akui, Barcelona adalah tim favorite saya. 3 menit setelah kick off, tim tuan rumah berhasil mencetak gol pembukanya lewat Darwin Nunez. Hingga babak pertama selesai, kedudukan 1 0 belum berubah. Pada jeda babak pertama ini, dalam hati saya berharap Barca bisa bangkit. Sayangnya, di menit 69 giliran Rafa Silva yang berhasil menempatkan namanya di papan skor. Sepuluh menit sebelum babak kedua berakhir, penalti diberikan kepada tim tuan rumah, Nunez kembali mencetak gol keduanya. Barcelona tidak berhasil mencetak satu gol pun di stadion Da Luz. Pilu.

Kekalahan ini menambah rekor buruk Barcelona di babak penyisihan Grup Liga Champions 2021/2022. Sebelumnya, pada laga pertama di Camp Nou, Barca dipermalukan oleh raksasa Jerman, Bayer Munich. Kekalahan 0 3 di kandang menghantui mereka, hingga akhirnya harus menerima kenyataan 0 3 di markas Benfica, 0 3 3 0. Pilu sekali angka 3 dan 0. 30 menit setelah pertandingan berakhir, baru saya bisa pejamkan mata, dan saya teringat ternyata 30 September itu pilu.

30 itu pilu. Bukan hanya untuk tim dan fans Barca yang mengalaminya saat pertandingan. Konon di sebuah negeri pada tahun 1965, ada kisah tentang 7 anak manusia yang di bunuh. Sejujurnya, saya tidak melihat peristiwa itu secara langsung, seperti pertandingan Barca yang dibantai Benfica hari ini, walaupun hanya dalam siaran lewat kamera, live streaming. Tapi saya sempat mendengar dan membaca tentang kisah-kisah jendral itu. Itulah alasan mengapa 30 September itu menjadi kisah pilu, bukan karena 0 3 tapi karena ada yang mati untuk Negeri. Jauh melampau 0 3 di Da Luz.

Ketika Sekolah Dasar, guru-guru saya sering menceritakan tentang peristiwa G30SPKI. Saya sedih dan takut mendengar kisah ini. Sebagai anak SD, dengan kepolosan, kala itu saya berpikir ini adalah satu contoh kejahatan paling kejam yang ada di dunia. Ternyata dugaan saya salah, saat saya sudah bisa membaca tulisan, mendengar berita dengan baik, melihat dengan benar, ada beribu kisah pilu di dunia ini yang luput dari liputan mata dan kepala saya.

Dari kisah rezim fasisme Benito Musolini di Italia selama periode 1924-1943, Nazi di Jerman (1933-1945) yang menyebabkan peristiwa holokaus, melenyapkan enam juta orang Yahudi, Perang sipil Bosnia selama periode 1992-1995, kasus apartheid di Afrika selatan sektar tahun 1960 dan mungkin yang paling segar tentang kisah kekerasan atas etnis Rohingya Myanmar. Itu potretan umum saja. Ada banyak kisah-kisah lain yang lebih mengerikan, tapi luput dari sejarah. Dari sini saya paham, ternyata sebelum saya ada, dunia sudah bergejolak dalam kisah pilu. Tragedi demi tragedi terjadi, yang mati akhirnya tinggal dalam sejarah.

Potret peristiwa tunaetika ini, akhirnya menyadarkan saya, bahwasannya kekalahan Barca, bukanlah apa-apa, dan tidak ada apa-apanya. Sebagai penggemar sepak bola, Kekalahan dalam bermain bola atau kalahnya tim favorite, tidak ada arti apa-apanya dengan peristiwa-peristiwa keji yang menghilankan nyawa manusia. Bola hanya mengajarkan kita bagaimana belajar untuk hidup, belajar untuk menang, belajar untuk bertahan, belajar untuk berjuag, bukan untuk membunuh seperti kisah G30SPKI.

Ketujuh sosok yang dikenangkan setiap tanggal 30 September di Indonesia, adalah sosok-sosok panutan bangsa. Mereka ialah Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi), Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi), Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan), Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen), Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik), Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat), dan Perwira Pierre Andreas Tendean.

Saya tidak ingin berkisah banyak tentang peristiwa keji di bulan September. Saat peristiwa itu terjadi, saya masih ada dalam wujud lain. Belum mengenal bumi mausia dan segala macam antah berantahnya. Saya hanya menganjurkan pembaca, untuk membaca kisah para pahlawan dari mereka yang sungguh mengenal, ada bersama, dan menyaksikan peristiwa itu terjadi. Jangan dengarkan mereka yang mencari popularitas dan ambisi politik. Kisah dari mereka kadang menghancurkan negeri. Ada banyak sejarahwan yang menulis tentang kisah G30SPKI dengan benar dan membangkitkan semngat nasionalis.

Akhirnya, Saya hanya ingin menegaskan, pernah ada suatu peristiwa pilu di suatu hari pada tanggal 30 September. Entah dulu dan sekarang. Peristiwa itu menyakitkan. Semoga tidak diulang lagi, dan tidak tejadi lagi. Visca Barca, Jayalah Indonesiaku.

NB. tulisan ini ada di blog kompasiana saya