Satu jam 30 menit,
sebelum pertandingan Benfica Vs Barcelona, saya menulis ucapan ulang tahun
untuk teman angkatan saya yang merayakan ulang tahun. Keduanya adalah penggemar
Real Madrid. Dalam tulisan itu saya mengaitkan sepak bola dengan momen ulang
tahun. Sepak bola yang kesannya hanya tontonan hiburan sebenarnya menyimpan
banyak peristiwa kehidupan dan persoalan bumi manusia.
Dalam pertandingan
sepak bola, ada kemenangan, kekalahan, kekecewaan, dan beragam peristiwa yang
bisa ditilik, demi memperkaya makna kehidupan. Inti dari tulisan itu sangat
sederhana, sepak bola itu representasi kehidupan. Bersamaan dengan ulang tahun
kedua pendukung Madrid itu, saya menegaskan bahwa ulang tahun itu sama seperti
peristiwa dalam sepak bola, yakni momen untuk bersyukur jika kalah atau menang,
evaluasi semua aspek dalam pertandingan dan memulai dengan taktik baru. Jika
berkeinginan melihat foto dua orang ganteng yang merayakan ulang tahun, klik di
sini.
Tepat pukul 02 dini
hari Waktu Indonesia Barat, (30/09/2021) kick off pertandingan Benfica vs Barca
dimulai. Saya harus akui, Barcelona adalah tim favorite saya. 3 menit setelah
kick off, tim tuan rumah berhasil mencetak gol pembukanya lewat Darwin Nunez.
Hingga babak pertama selesai, kedudukan 1 0 belum berubah. Pada jeda babak
pertama ini, dalam hati saya berharap Barca bisa bangkit. Sayangnya, di menit
69 giliran Rafa Silva yang berhasil menempatkan namanya di papan skor. Sepuluh
menit sebelum babak kedua berakhir, penalti diberikan kepada tim tuan rumah,
Nunez kembali mencetak gol keduanya. Barcelona tidak berhasil mencetak satu gol
pun di stadion Da Luz. Pilu.
Kekalahan ini menambah
rekor buruk Barcelona di babak penyisihan Grup Liga Champions 2021/2022.
Sebelumnya, pada laga pertama di Camp Nou, Barca dipermalukan oleh raksasa
Jerman, Bayer Munich. Kekalahan 0 3 di kandang menghantui mereka, hingga
akhirnya harus menerima kenyataan 0 3 di markas Benfica, 0 3 3 0. Pilu sekali
angka 3 dan 0. 30 menit setelah pertandingan berakhir, baru saya bisa pejamkan
mata, dan saya teringat ternyata 30 September itu pilu.
30 itu pilu. Bukan hanya
untuk tim dan fans Barca yang mengalaminya saat pertandingan. Konon di sebuah
negeri pada tahun 1965, ada kisah tentang 7 anak manusia yang di bunuh.
Sejujurnya, saya tidak melihat peristiwa itu secara langsung, seperti
pertandingan Barca yang dibantai Benfica hari ini, walaupun hanya dalam siaran
lewat kamera, live streaming. Tapi saya sempat mendengar dan membaca tentang
kisah-kisah jendral itu. Itulah alasan mengapa 30 September itu menjadi kisah
pilu, bukan karena 0 3 tapi karena ada yang mati untuk Negeri. Jauh melampau 0
3 di Da Luz.
Ketika Sekolah Dasar,
guru-guru saya sering menceritakan tentang peristiwa G30SPKI. Saya sedih dan
takut mendengar kisah ini. Sebagai anak SD, dengan kepolosan, kala itu saya
berpikir ini adalah satu contoh kejahatan paling kejam yang ada di dunia.
Ternyata dugaan saya salah, saat saya sudah bisa membaca tulisan, mendengar
berita dengan baik, melihat dengan benar, ada beribu kisah pilu di dunia ini
yang luput dari liputan mata dan kepala saya.
Dari kisah rezim
fasisme Benito Musolini di Italia selama periode 1924-1943, Nazi di Jerman
(1933-1945) yang menyebabkan peristiwa holokaus, melenyapkan enam juta orang
Yahudi, Perang sipil Bosnia selama periode 1992-1995, kasus apartheid di Afrika
selatan sektar tahun 1960 dan mungkin yang paling segar tentang kisah kekerasan
atas etnis Rohingya Myanmar. Itu potretan umum saja. Ada banyak kisah-kisah
lain yang lebih mengerikan, tapi luput dari sejarah. Dari sini saya paham,
ternyata sebelum saya ada, dunia sudah bergejolak dalam kisah pilu. Tragedi
demi tragedi terjadi, yang mati akhirnya tinggal dalam sejarah.
Potret peristiwa
tunaetika ini, akhirnya menyadarkan saya, bahwasannya kekalahan Barca, bukanlah
apa-apa, dan tidak ada apa-apanya. Sebagai penggemar sepak bola, Kekalahan
dalam bermain bola atau kalahnya tim favorite, tidak ada arti apa-apanya dengan
peristiwa-peristiwa keji yang menghilankan nyawa manusia. Bola hanya
mengajarkan kita bagaimana belajar untuk hidup, belajar untuk menang, belajar
untuk bertahan, belajar untuk berjuag, bukan untuk membunuh seperti kisah
G30SPKI.
Ketujuh sosok yang
dikenangkan setiap tanggal 30 September di Indonesia, adalah sosok-sosok
panutan bangsa. Mereka ialah Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan
Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi), Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi
II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi), Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono
(Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan), Mayjen TNI
Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen), Brigjen TNI
Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik), Brigjen
TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat),
dan Perwira Pierre Andreas Tendean.
Saya tidak ingin
berkisah banyak tentang peristiwa keji di bulan September. Saat peristiwa itu
terjadi, saya masih ada dalam wujud lain. Belum mengenal bumi mausia dan segala
macam antah berantahnya. Saya hanya menganjurkan pembaca, untuk membaca kisah para
pahlawan dari mereka yang sungguh mengenal, ada bersama, dan menyaksikan
peristiwa itu terjadi. Jangan dengarkan mereka yang mencari popularitas dan
ambisi politik. Kisah dari mereka kadang menghancurkan negeri. Ada banyak
sejarahwan yang menulis tentang kisah G30SPKI dengan benar dan membangkitkan
semngat nasionalis.
Akhirnya, Saya hanya
ingin menegaskan, pernah ada suatu peristiwa pilu di suatu hari pada tanggal 30
September. Entah dulu dan sekarang. Peristiwa itu menyakitkan. Semoga tidak diulang
lagi, dan tidak tejadi lagi. Visca Barca, Jayalah Indonesiaku.
NB. tulisan ini ada di blog kompasiana saya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar