Sabtu, 02 September 2023

Review Buku Aku Lelakimu Setia Menunggumu

Judul: Aku Lelakimu Setia Menunggumu Penulis: Maman Suherman Penerbit: Grasindo Genre: Fiksi Tebal: 144 hlm Rate: 4.9/5
(Foto. Dokumen Pribadi by sardhyf) Buku ini saya peroleh hasil adu hoki, #GiveAwayBukuKopi, kolaborasi antar Kang Maman, JNE_id dan Kang Komeng. Setelah seminggu diterima dan saya ‘kuliti’ isinya, rasanya banyak hal yang jadi pelajaran penting. Buku ini dimulai dengan prembule, yang kiranya menjadi tujuan dan sasaran pembacanya. 'Berikan buku ini kepada calon istrimu, ...calon suamimu, ...dan katakan kau kuciptakan untuk kucintai...'. Kang Maman dalam buku ini (dalam interpretasi saya) menjadi konselor cinta, ia menawarkan racikan narasi perihal pria dan wanita dalam bentuk puisi. Puisi-puisinya terbagi dalam sepuluh tema besar, yang di dalamnya berisikan nyanyian hati lelaki yang mencari jantung hatinya. Puisi Maman tidak semata penggalan dan rayuan maut laki-laki untuk wanita, atau sebaliknya, tapi ‘berdandankan’ selaksa peristiwa dan pesan dan nilai dalam hidup. Dari pengharapan, komitmen, kesetiaan, kehilangan, ketulusan, kegelisahan, hingga keberanian. Setidaknya itu yang saya baca. Dari 10 tema besar, hal yang paling mengesankan bagi saya adalah kumpulan puisi pada bagian 6, “Jadikan Aku Suamimu”. Puisi-puisi pada bagian ini, hemat saya menjadi prasyarat untuk setiap pribadi dalam memilih pasangan. Walaupun ‘cinta’ pada akhirnya ‘adalah jawaban sekaligus tujuan’ tapi pada titik tertentu ia harus memiliki aturan. Ini mengafirmasi Habibie, ‘tidak ada hubungan yang tanpa aturan (prasyarat), jika ingin bebas tetaplah sendiri’.

Kamis, 20 Juli 2023

Review Buku Sebuah Seni Bersikap Bodo Amat

 

Judul: Sebuah seni untuk bersikap Bodo Amat (2018)

Penulis: Mark Manson

Judul Asli: The Subtle Art of not giving Fuck (2016)

Alih Bahasa: F. Wicakso

Penerbit: Gramedia

Tebal: 247

photo by Sardi


Dalam sembilan bab yang membahas tentang kehidupan hingga kematian, Mark Manson menarasikan gagasannya dengan gaya yang paradoks dan nyentrik. Judulnya dirangkai menggunakan term yang menaruh curiga dan penasaran. ‘Jangan Berusaha’, ‘Kebahagian itu masalah’, ‘Anda tidak Istimewa’, ialah contoh dari kelihaian Mark menuangkan idenya. Judulnya sangat kontroversial, ia seperti membuat konstruksi baru demi kewarasan dalam hidup.

Tulisan yang diterjemahkan oleh Wicakso ini, memberikan gambaran bagaimana sejatinya melakoni kehidupan. Membuat semua orang menyukai, people pleaser ialah bahaya laten apabila diri sendiri diabaikan. Pada titik ini, bodoh amat adalah suatu seni untuk menjalani kehidupan.

‘Masa bodo, atau bodo amat, artinya memandang tanpa gentar tantangan yang paling menakutkan dan sulit dalam kehidupan dan mau mengambil sautu tindakan’ (14). Namun dalam penghayatannya, ‘hal ini membutuhkan latihan dan kedisiplinan seumur hidup untuk mencapainya, dan sepertinya akan banyak gagalnya’ karena kita terbiasa untuk membuat orang menyukai kita, kita takut dikucilkan, padahal dikucilkan/rasa sakit adalah awal dari suatu pribadi yang paripurna.

Ada tiga konsep bersikap bodo amat ala Mark Manson: 1). Bodo amat bukan berarti menjadi acuh tak acuh, tapi menjadi pribadi yang nyaman saat berbeda, tidak ikut trend, tidak FOMO. 2). Untuk bisa mengatakan ‘bodoh amat’ pada kesulitan, pertama harus peduli terhadap sesuatu yang jauh lebih penting dari kesulitan, kontra-argumen, hukum kebalikan. ‘Menemukan suatu yang penuh arti, perhatian membuat hidup tidak semberono, 3).Entah disadari atau tidak, kita selalu memilih satu hal untuk diperhatikan. Manusia lahir untuk dirisaukan oleh banyak hal, memutuskan untuk fokus pada hal penting tertentu adalah suatu seni untuk bersikap bodo amat atas ‘perkara’ lain.

Bodo amat ialah cara sederhana untuk mengarahkan kembali ekspektasi hidup dalam memilih apa yang penting dan tidak. Mark menamainya sebagai ‘Pencerahan Praktis’ walau dalam bacaan saya, hal ini meninggalkan ‘kegelapan’ bagi yang lain.

Menariknya, buku ini menekankan bahwa ziarah manusia akan ditemani oleh kegagalan, berdandankan penyesalan, berkawan dengan kerugian, dan keniscayaan kematian. Berhadapan dengan fakta demikian – sama seperti beberapa buku motivasi lain – memeluk penderitaan dan berdamai dengan ialah suatu keharusan. Pada akhirnya, kita akan menertawakan air mata, itulah seni dari bodo amat.

Kelebihannya:

Buku ini diterjemahkan dengan bahasa yang mudah dipahami. Narasinya asyik dan candu untuk dibaca. Judul-judul yang paradoks juga menaikan rasa penasaran akan isinya. Bab yang ada di dalamnya bisa dibaca secara terpisaha, sehingga sangat rekomded bagi yang tidak punya banyak waktu luang. Untuk jadi diri sendiri, mungkin buku ini bisa jadi salah satu resepnya. Suka atau tidak, pada satu titik kita harus bersikap bodo amat. Terdapat quetos yang memicu adrenalin untuk berpikir lebih keras dan mandiri. Rekomded banget.

Kelemahannya:

Saya tidak menemukannya. Karena salah satu tujuan dari membaca buku ini adalah untuk menemukan hal-hal pentingnya saja. Apakah artinya tidak ada kekurangan dari buku ini? Tentunya ada. Tapi saya tetap memilih untuk melihat hal-hal penting saja. Bukan kah itu pelajarannya. hhh

Rabu, 16 Februari 2022

PEMIKIRAN STANLEY JEDIDIAH SAMARTHA

findagrave.com


Stanley memiliki gagasan dan pemikiran teologi yang sangat kaya. Paradigma teologinya tidak pernah terlepas dari konteks kebudayaan India. Ada banyak sumbangsih pemikirannya dalam gagasan teologi, dan dalam paper ini saya akan mencoba memberikan dua poin penting dari gagasan Stanley yaitu mengenai konsep kristologi dan gerakan ekumenikal untuk merintis dialog antar agama. Bagi saya secara pribadi, ini adalah dua poin penting yang cukup menarik untuk dibahas dari pemikiran Standley. Sebelum memaparkan tentang pemikiran teologinya, ada baiknya untuk membahas biografi singkatnya.

Biografi Stanley dan karya-karyanya[1]

Stanley Jedidiah Samartha lahir pada 7 Oktober 1920 di Karkal, India sebagai anak seorang pendeta Basel Evangelical Mission. Ia dibesarkan di lingkungan masyarakat multi-religius yang terdiri dari agama Hindu, Islam, Kristen, dan Jainisme. Standley belajar di Madras University, United Theological College, Bangalore (1941-1954), Union Theological Seminary, New York (di bawah bimbingan Paul Tillich yang menjadi dosen pendamping tesisnya), dan Hartford Seminary Foundation, Hartford, Connecticut. Stanley pernah menjadi rektor di Basel Evangelical Mission Theological Seminary (sekarang Karnataka Theological Seminary; 1952-1960), Bangalore, Karnataka. Kemudian ia menjadi rektor Serampore College, West Bengal (1960-1965).

Stanley juga melayani sebagai direktur program dialog dengan iman dan ideologi-ideologi yang lain selama 1968-1980. Ia kembali ke India dan mengajar di United Theological College sampai menjadi dosen emeritus. Ia juga adalah anggota komite program doktor South Asia Theological Research Institute. Stanley meninggal pada 22 Juli 2001. Karya-karya Stanley antara lain: One Christ many Religions (1991), Between two cultures: Ecumenical Ministry in a pluralist world (1996), Courage for Dialogue (1987), The Future of inter-religious dialogue (1992) dan ada banyak karya masyhur lainnya.

Pemikiran Teologi Stanley Samartha

            Dalam tulisannya, The Hindu View of History According to Representative Thinkers Samartha menitikberatkan sejarah sebagai gagasan inti. Ia menjelaskan Hinduisme modern dalam memahami sejarah. Perlu digarisbawahi bahwa Stanley adalah penafsir terhadap gagasan sejarah dalam Hinduisme.[2] Samartha juga aktif menafsir ajaran Yesus Kristus dalam konteks komparasi teologi antara Kristen dan Hindu. Berlatarbelakang dari budaya yang plural dan multi-religius, Samartha juga getol menawarkan dialog antar agama. Berikut saya akan menguraikan dua gagasan Stanley:

à Kristologi Stanley

            Salah satu frasa yang terkenal dalam disertasi Stanley, adalah Christianity belongs to Christ, Christ does not belong to Christianity.[3] Hal ini tidak terlepas dari konsentrasi Stanley yang menegaskan nilai universalitas dari pribadi Kristus. Dalam gagasan Kristologinya, Stanley Samartha menerapkan konsep Advaitik Sankara dari dalam kesadaran Hindu India, yang menekankan prinsip non-dualitas atau unsur kesatuan, (non-duality or oneness). Implikasi dari gagsan ini adalah tiadanya perbedaan antar manusia, - menekankan persatuan antar sesama.

            Samartha menginginkan bahwa, perkawinan antara pemikiran India dan Kristiani, khusunya tentang kristologi juga mirip dengan yang dilakukan Origenes yang menggunakan kategori pemikiran Platon dan Thomas Aquinas menggunakan pemikiran Aristoteles. Oleh karena itu, Samartha ingin para teolog India juga mengunakan pemahaman filosofis advaita vedanta atau advatik sankara.

Menurut Samarta ada empat alasan mengapa sistem pemikitan teolog India bisa menerapkan gagasan advaita,[4] 1) sistem advaita adalah sistem paling terkenal di India, 2) sistem pemikiran ini juga sudah dinterpretasi dalam gaya modern, 3) di India modern, orang terus-menerus mencari, membandingkan, dan meneliti advaita dan kemudian menghubungkannya dengan kehidupan dan pemikiran modern. 4) banyak yang membahas masalah-masalah sosial di India menggunakan pendekatan ini dan terutama berhubungan dengan tujuan hidup.

Samartha menggeser posisi kristologinya dari Kristus yang hadir secara misterius di dalam agama-agama lain, suatu kristologi yang inklusivistik, ke arah kristologi teosentris, suatu kristologi yang pluralis. Dalam upaya mengakui misteri Kristus dan menjelaskan makna pribadi dan karya Yesus Kristus, ia menolak pemahaman kristologi ekslusivisme normatif.

Samartha menjelaskan “It is relational because Christ does not remain unrelated to neighbors of other faiths, and distinctive because without recognizing the distinctiveness of the great religious traditions as different responses to the Mystery of God, no mutual enrichment is possible[5] Samartha mengembangkan Kristologi teosentris yang berpusat pada misteri. Samarta mengunakan pendekatan kristologi dari bawah agar bisa berdialog dengan agama-agama lain.

Usaha Samartha ini untuk membangun suatu pola pikir kristologi yang bisa disandingkan dengan agama-agama lain. Samartha juga mengakui keberadaan juru selamat-juru selamat yang lain seperti Rama, Kresna, dan Budha di dalam konteks India. Kristologi teosentris juga saling menhubungkan antara Kristus dengan tokoh-tokoh tersebut.

à Gagasan tentang Dialog dan Plurlalisme dan hubunganya dengan Roh Kudus

Stanley Samartha mendasari pneumatologi religionumnya dengan menegaskan bahwa Gereja perlu memiliki kesadaran bahwa dirinya hidup dalam sebuah dunia yang plural secara religius; dan oleh karena itu teologi Kristen tidak boleh lagi berpusat sebatas dinding-dinding gereja saja (eklesiosentris) namun harus bergerak menyikapi terhadap konteks yang plural tersebut.[6]

Teologi pluralisme agama Samartha ternyata tidak lepas dari pengaruh teologi Barat dan dipengaruhi oleh pandangan dunia (worldview) pencerahan. Bagi Samartha pluralitas dan dialog adalah hal yang sangat penting. Samartha mengikuti Chiang Mai[7] mengafirmasi bahwa dialog adalah 1) sarana untuk menghidupi iman dalam Kristus dalam pelayanan komunitas dunia. 2) dialog dan pewartaan adalah hal yang tidak dapat dipisahkan. Dialog tidak dilihat sebagai alternatif misi, tetapi sebagai salah satu cara untuk membuat Yesus dapat diakui di dunia saat ini.

Pada dasarnya dialog dalam pluralisme agama dan budaya tidak pernah terlepas dari karya Roh Kudus. Ketika kristiani berusahan menekankan dialog sebagai suatu “gaya hidup dalam hubungan dengan sesama dalam masyrakat plural”. Perlu mengakui keragaman besar situasi di mana gereja menemukan diri mereka saat ini.

Tetangga-tetangga Kristen menjalin hubungan dalam dialog mungkin menjadi rekan dalam krisis dan pencarian sosial, ekonomi dan politik yang sama; pendamping dalam karya kerasulan, atau eksplorasi intelektual dan spiritual dengan realitas plural dalam agama. Di beberapa tempat, orang Kristen dan gereja sebagai institusi berada dalam posisi kekuasaan dan pengaruh, dan agama-agama atau kebudayaan lain tidak memiliki kuasa. Tetapi juga di tempat lain ada orang-orang Kristen yang tidak berdaya (minoritas) karena didominasi oleh agama atau kebudayaan lain. Ada juga situasi ketegangan dan konflik di mana dialog tidak mungkin dilakukan atau peluang sangat terbatas.

Tidak bisa dielakan bahwa orang-orang dari kepercayaan yang lain berinteraksi tidak hanya dengan agamanya sendiri, tetapi juga dengan orang-orang dari berbagai ideologi, meskipun kadang-kadang sulit untuk membuat perbedaan yang jelas antara agama dan ideologi, karena ada dimensi agama dari ideologi dan dimensi ideologis dari agama. Samartha menegaskan bahwa agama Kristen juga masuk dalam usaha untuk menawarkan gagasan dan nilai-nilai kristianitas. Ada kecemasan baru dengan munculnya beragam kelompok agama baru di banyak negara dan membawa dimensi dan ketegangan baru dalam hubungan antar-agama. Dengan mengingat semua keragaman ini, dialog dan kesadaran pluralis menjadi hal yang penting.

Akhirnya nilai-nilai kristiani dapat diterima dengan membangun kesadaran pluralisme dan mempercayai universalitas ajaran Kristus. Kristologi teosentris yang menekankan misteri dan karya Roh Kudus dalam karya pewartaan dan dialog, menjadi poin penting dari gagasan Samartha. Tidak bisa membuat distingsi antara misi dan dialog, hal demikian seperti kebudayaan dan keragaman agama dengan nilai-nilai universalitas kristiani.



[1] Biografi Samartha ini dihimpun dari tulisan Stanley Samartha, “Between Two Cities-Part I: Early Years, dalam link http://wcc-coe.org/wcc/what/interreligious/cd38-01.html bandingkan juga dengan tulisan Christian Sulistio, Evaluasi Terhadap Teologi Pluralisme Agama Stanley Samartha, Veritas, Jurnal Teologi dan Pelayanan, Oktober 2009: hal. 240.

[2] Christian Sulistio, Evaluasi Terhadap Teologi Pluralisme Agama Stanley Samartha, Veritas, Jurnal Teologi dan Pelayanan, Oktober 2009: hal. 241.

[3] Stanley J. Samartha, The Hindu Response to the Unbound Christ (Madras, India: The Diocesan Press, 1974), hal. 10.

[4] Gagasa ini mengikuti alur pemikiran Christian Sulistio, Evaluasi Terhadap Teologi Pluralisme Agama Stanley Samartha, Veritas, Jurnal Teologi dan Pelayanan, Oktober 2009: hal. 242 bandingkan juga dengan Kosuke Koyama, “Asian Theology” dalam The Modern Theologians (2 jilid; ed. David F. Ford; Oxford: Blackwell, 1989) hal. 2219.

[5] Stanley Samartha, One Christ—Many Religions (Maryknoll, Orbis, 1991) hal 104.

[6] Minggus Minarto Pranoto, Pneumatologi Religionum dalam Pemikiran Stanley J. Samartha dan Amos Yong, Jurnal Abdiel: Khazanah Pemikiran Teologi, Pendidikan Agama Kristen dan Musik Gereja, no 1 2021: hal. 4.

[7] Stanley J Samartha, Guiedlines on Dialogue, 1979, hal. 157.

Senin, 14 Februari 2022

POLITIK YANG ADIL MENURUT PAUL RICOEUR

Paul Ricoeur (1913 - 2005)


Pengantar

Sejak munculnya pemikiran yang membedakan watak alam sosial, dengan alam fisik, lebih dari 2500 tahun yang lalu, teori politik telah menarik perhatian pemikir-pemikir dari segala zaman. Perhatian manusia terhadap politik, sebenarnya tidak terlalu mengejutkan, karena manusia, meminjam istilah Aristoteles (384-322) adalah makhluk yang berpolitik (zoon politicon).[1] Konsekuensi logis dari penamaan manusia sebagai makhluk politik ialah hidup dalam tatanan masayrakat. Untuk membangun hidup baik dalam masyarakat, sangat diperlukan suatu etika politik yang benar demi mencapai hidup yang adil.

Hidup bersama dalam masyarakat, baik dalam skala kecil maupun besar, selalu rentan konflik. Sejarah hidup bersama mencatat ada berbagai persoalan dan masalah yang muncul akibat ketidakmampuan mengatur kebebasan setiap individu. Negara kita, Indonesia menorehkan beragam persoalan politis. Cela kritis dan krisis situasi politik Indonesia memberi sinyal kuat bahwa politik yang santun dalam membangun masyarakat yang adil mutlak dibutuhkan. Tema politik yang santun dalam membangun masyrakat yang adil, akan dibahas dalam paper ini dengan bertolak dari gagasan Paul Ricoeur. Penulis akan memulai dengan menarasikan riwayat hidup Paul Ricoeur, dilanjutkan dengan uraian gagasan politiknya, dan relevansi untuk membangun suatu komunitas masyarakat yang adil.

Riwayat Hidup Paul Ricoeur

Paul Ricoeur lahir di Valence, Selatan Lyons pada 27 Februari 1913. Ia  menjadi yatim saat usia 2 tahun. Ibunya meninggal saat melahirkannya, dan ayahnya gugur dalam Perang Dunia II sehingga ia dibesarkan oleh kakek dan neneknya.[2]  Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yang taat dan dianggap sebagai salah satu filsif cendekiawan Protestan yang terkemuka di Prancis. Ricoeur sangat peduli dengan persoalan-persoalan sosial, politik, edukatif, kultur, dan agama. Ia dibesarkan di Rennes. Dia memulai karir filsafatnya ketika pemikiran filsafat Eropa didominasi oleh tokoh-tokoh seperti Husserl, Heidegger, Jassper dan Gabriel Marcel.[3] Mereka ini yang mewarnai pemikiran filsafatnya. Pada tahun 1933, ia memperoleh lisensiat filsafat lalu ia mendaftar di Universitas Sorbonne Paris guna mempersiapkan diri untuk menjadi asisten dosen.

Pada tahun 1957, Ricoeur diangkat sebagai profesor Filsafat di Universitas Sorbone. Tahun 1960 ia mempublikasikan buku Finitiude and Guilt, (Keberhinggan dan Keberhasilan). Buku ini adalah jilid kedua yang terbagi menjadi dua buku Fallible Man (Manusia yang Bersalah) dan The Symbolism of Evil (simbol-simbol tentang kejahatan). Ceramah-ceramahnya yang diberikan di Yale University, Amerika Serikat (1961) dikembangkan menjadi karya besar Perihal Interpretasi, Esai Tentang Freud (1965). Tahun 1969 dia menulis tentang psikoanalisis dan strukturalisme, judul bukunya (The Conflict of Interpretation: Essays in Hermeneutics; Konflik Interpretasi: Esai Tentang Hermeneutika). Satu karya penting yang membahas tentang konsep politik adalah Oneself  as Another (1991). Ricoeur meninggal dunia pada 20 Mei 2005 di Chatenay-Malabry.[4]

Politik Yang Adil Menurut Ricoeur

Manusia dalam hidupnya selalu mengejar hidup yang baik. Paul Ricoeur dalam konstruksi etika politiknyamemulai dengan gagasan Aristoteles. Aristoteles dalam karyanya Nichomachean Etichs I mendeklarasikan bahwa kebaikan merupakan tujuan utama dari segala pilihan hidup manusia. Manusia dalam seluruh proyek hidupnya, selalu mengejar hidup baik.[5] Hidup baik hanya bisa dicapai dalam relasi antarpribadi. Relasi ini mengandaikan adanya suatu tantanan hidup yang berkadilan.

Paul Ricoeur mengadopsi pandangan teleologis Aristoteles. Bagi Paul Ricoeur keadilan selalu berkaitan dengan keutamaan (virtue). Menurut Ricoeur keadilan memiliki dua makna[6], yaitu sebagai good yang menandakan keberadaan relasi antara pribadi menuju institusi-institusi menuju ke dalam masyarakat yang tak berwajah. Hal kedua ialah sebagai suatu aturan yang merujuk pada sistem keadilan dalam masyrakat luas.

Tesis Ricoeur menegaskan bahwa keadilan sebagai sebentuk keutamaan. Keutamaan adalah kemampuan manusia untuk melakukan perannya sebagai manusia untuk mencapai tujuan yaitu adil. Seorang menjadi adil apabila dia bertindak secara adil. Tampak Ricoeur menggarisbawahi pemahaman bahwa keadilan selalu merupakan praksis keutamaan. Paul Ricoeur membangun etika politiknya dengan menekankan situasi riil, yang mana semua manusia memiliki hasrat untuk hidup dalam keadilan.

Fakta bahwa keadilan yang selalu dihasrati, dikehendaki, merupakan alasan kuat bahwa keadilan pertama-tama adalah soal keutamaan. Secara gamblang bisa dijelaskan bahwa politik dalam perspektif Ricoeur adalah keadilan yang berlandaskan pada keutamaan. Keadilan sebagai etika dalam bertumpu pada realitas hidup, bahwa semua orang menghendaki dan mengusahakan hidup adil dan baik.

Dalam mendukung gagasannya tentang konsep keadilan, Ricoeur menguraikan bahwa konsep keadilan selalu bersifat proporsional. Artinya bahwa walaupun keadilan adalah suatu prinsip universal, tetapi penerapan atau aplikasinya selalu dilihat dan dibaca dalam konteks.

Menurut Ricoeur dalam membangun suatu sistem politik yang baik dibutuhkan tiga sikap utama[7] yaitu: kebebasan subjek, kebebasan orang lain, dan institusi yang memediasi kebebasan subjek dan kebebasan orang lain.[8] Semua sikap ini menurut Ricoeur akan mengarahkan seorang pada hidup baik. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa hidup baik adalah tujuan akhir dari kegiatan manusia dalam tatanan hidup bersama.

Ricoeur mendefinisikan hidup baik sebagai pencapaian impian dan ideal tertinggi dari dalam masyarakat. Hidup yang baik tidak pernah terpisah dari pemahaman hidup yang mengandaikan adanya tiga sikap diatas. Oleh karena itu dasar pertimbangan etika politik Paul Ricoeur adalah hidup baik yang tidak lain adalah hasrat akan kebahagian untuk semua orang.

Konsep politik yang berimplikasi pada hidup baik adalah hidup yang mengarahkan hidup bersama bagi semua orang melalui institusi yang adil. Dalam pemahaman Ricoeur, individu, masyarakat luas, dan institusi adalah tiga hal utama yang menggerakan hidup bersama dalam tatanan bersama untuk membangun politik yang adil.

Sumbangan Pemikiran Ricoeur Untuk Masyarakat Adil

            Sebagai seorang pemikir kristiani, Ricoeur memberikan gambaran bahwa esensi dari suatu tindakan keadilan adalah memperlakukan orang lain selaras dengan apa yang hendak kita ingin orang lain perbuat.

Teks injil Matius 7:12  “segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka” menjadi landasan etika keadilan politik Ricoeur. Gagasan ini menjadi sumbangan besar dari Paul Ricoeur yang mana menekankan hubungan kesalingan dan kesetaraan.

Ricoeur memang menekankan dan memprioritaskan hasrat baik dan moralitas yang berlandaskan pada norma hukum. Peran institusi menjadi sangat penting untuk membangun etika dan moralitas politik tersebut. Dalam bacaan kelompok kami, peran institusi mutlak menjadi hal yang penting dalam hidup bersama apabila dikaitkan dengan kesetaraan dan kesalingan.

            Fenomena korupsi yang ada di setiap negara, serentak menurukkan konsep keadilan bagi semua orang dari gagasan Ricoeur. Dalam telaah yang ditulis Beni Harman,[9] ‘salah satu celah para koruptor mencuri harta negara adalah kelonggaran hukum dan institusi yang lemah dalam bidang pengawasan hukum’. Kelemahan institusi ini juga tidak terlepas dari sikap kebebasan yang kebablasan. Sumbangan Paul Ricoeur dengan etika politik yang adil sebagai keutamaan, bisa dibaca dalam hal ini.

Prinsip keadilan dalam etika politik Paul Ricoeur mendorong institusi-institusi untuk menekankan prinsip keadilan yang saling terhubung dan setara. Penekanan politik yang setara dan berhubungan dengan berlandaskan pada asas keadilan menjadi sumbangan penting Paul Ricoeur.

            Ricoeur memadatkan seluruh gagasannya tentang etika politik di atas tiga pilar penting: 1) mengarahkan pada hidup baik, 2) bersama dan untuk orang lain, 3) dalam institusi-institusi yang adil. Hidup baik menjadi tujuan akhir semua kegiatan manusia. Untuk menggapai hidup tersebut manusia harus ada dalam kebersamaan dengan orang lain, maka relasi persahabatan menjadi suatu hal yang mutlak dan tidak bisa ditolak.

Sebagaiman cita-cita para pendiri Bangsa untuk menjadikan negara Indonesia baik dan adil, maka etika politik Paul Ricoeur bisa menjadi sumbangan untuk membangun suatu masyrakat yang adil.

 



[1] Henry J Schmandt, A History of Political Philosophy, terj. Ahmad Baidlowi dan Imam Baehaqi, Filsafat Politik, Kajian Historis dari zaman Yunani Kuno sampai zaman Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 4.

[2] F Budi Hardiman, Seni Memahami, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), 237 

[3] John. B. Thompson, "Editor's Intrroduction," dalam Paul Ricoeur Hermeneutics and the Human Science (Amerika: Cambridge University Press, 1982), 2.

[4] F Budi Hardiman, Seni Memahami, 239

[5] Aristotle, Nichomachean Ethics I, the Complete works of Aristotle, Vol II (Princenton: Princenton University Press, 1991) 10941a

[6] Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans by. Kathleen Blamey (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1991), 228

[7] Paul Ricoeur, The Problem of the foundation of Moral Philosophy, (Prancis, 2000) 11

[8] Bernard P Dauenhauer, Paul Ricoeur, The Promise and Risk of Politics, (NewYork, Rowlan and Littlefield Publishers, 1998), 27

[9] Beni Kabur Harman, Negeri Mafia, Republik Koruptor, (Yogyakarta: Lamalera, 2012), 102

Rabu, 26 Januari 2022

Anak Allah Yang Tersalib dan Menderita dalam Paradigma Injil Markus

Dokpri, Fransiskus Sardi, Pantai Alamanda

 

Pengantar

            Habib Rizieq dan Ustad Abdul Somad, pernah mengomentari status ke-Allah-an Yesus dalam ceramah mereka. Menurut Ustad Abdul Somad, pada salib yang yang tergantung ada jin kafir.[1] Pernyataan kontroversial Abdul Somad menuai beragam tangggapan dari umat kristiani. Pernyataanya seolah menurunkan status ke-Allah-an Yesus. Status Yesus sebagai anak Allah juga dipersoalkan oleh Habib Rizieq, menurutnya jika Tuhan beranak, bidannya siapa?[2] Dua kasus ini, merupakan contoh bahwa ada persoalan yang cukup pelik mengenai status Yesus dan Allah. Masih banyak beragam kasus lain, namun dalam paper ini saya akan menuangkan gagasan saya bertolak dari kasus mengenai status Anak Allah.

Berhadapan dengan masyarakat yang plural di Indonesia, umat kristiani diandaikan: 1) memahami dengan baik dan benar ajaran atau dogma-dogma kristiani [kemampuan rasio], 2) beriman dengan sungguh agar mampu berkanjang dalam beragam kritikan dan celoteh [kemampuan iman]. Dua sikap ini akan mengantar kedewasaan iman bagi umat kristiani. Dalam paper ini, saya akan membangun apologetik tentang status Yesus sebagai Anak Allah yang tersalib dan menderita dengan pendekatan biblis. Tulisan ini juga adalah usaha saya agar bisa menguraikan status anak Allah dalam perspekti Markus, sehingga iman umat kristiani juga berlandaskan pada nalar atau rasio yang benar.

Konsep Anak Allah, dari Perjanjian Lama (Tradisi Yahudi), Tradisi Helenis-Romawi dan dalam Injil Markus

            Konsep Anak Allah yang menderita sering ditemukan dalam alkitab. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, identitas Anak Allah sering dikaitkan dengan bangsa Israel. Allah yang telah memilih bangsa Israel, dan karenanya secara umum bangsa Israel disebut anak Allah (Yes.1:2, 30:1). Bangsa Israel juga menerima atau menyebut Allah sebagai Bapa. Hal ini terlihat jelas dalam kisah Yesaya 63:16, “Bukankah engkau Bapa Kami?... Ya Tuhan engkau sendiri Bapa Kami, namamu ialah penebus kami, sejak dahulu kala”. Pernyataan dan pembuktian alkitabiah ini, serentak menunjukan bahwa hubungan antara Allah dan Bangsa Israel, seperti hubungan antara anak dan Bapa. Jadi pembuktian pertama mengenai identitas anak dalam Perjanjian Lama adalah bangsa Israel sendiri yang disebut secara kolektif.

Di sisi lain, konsep Anak Allah dalam Perjanjian Lama, sering diidentikan dengan Raja yang baru diurapi, yang menjadi tangan kanan Allah, karena dipilih dan diurapi oleh Allah sendiri. Ada dua tekanan penting dari pernyataan anak Allah dalam relasinya dengan sebutan raja, yaitu: kapasitas seorang raja dalam menjalankan tugasnya, dan kedua status anak Allah yang dimiliki oleh seorang raja adalah sebuah implikasi dari janji Allah kepada Daud.  Hal ini bisa dibaca dalam kisah Samuel “aku akan menjadi Bapanya, dan ia akan menjadi anak-Ku” (2 Sam.7:14). Raja yang diurapi disebut sebagai anak Allah karena ia memiliki tugas dan kewajiban sebagai orang-orang bertanggung jawab atas keutuhan suatu bangsa.

Dalam Perjanjian Lama, belum bisa ditemukan secara jelas sebutan mesias sebagai anak Allah. Singkatnya dalam Perjanjian Lama, sebutan anak Allah disematkan pada diri Bangsa Israel, raja yang diurapi dan juga (menurut Oscar Cullman)[3] para malaikat Allah karena mendapat perutusan dari Allah. Ketika digunakan untuk menyebutkan anak Allah sebagai bangsa Israel atau status Raja, maka itu adalah status kepemilikan yang spesial.  Penyebutan malaikat sebagai Anak Allah merupakan sebuah penyebutan mitologis yang menampilkan kodrat spiritual dari para malaikat.[4] Dalam uraian yang dipaparkan oleh Banawiratma, gelar anak Allah juga disematkan pada orang-orang yang dikasihi Allah[5] (Kel.4:22, 2Sam 7:14 dan Yer 31:9,20). Pemahaman dalam Perjanjian Lama ini merupakan representasi dari pola pemikiran bangsa Yahudi dalam memahami status hubungan mereka dengan Allah.

Dalam tradisi Yunani dan Romawi, konsep anak Allah merujuk pada sosok pahlawan, para filsuf, dan para pembuat mukjizat. Konsep ini tidak terlepas dari peristiwa historis, yang menunjukan bahwa kekristenan muncul di Imperium Romawi segera setelah kematian Yesus sekitar tahun 30-an M. Bagian Timur kekaisaran Romawi ini, sepenuhnya dikuasai oleh budaya Yunani dan menggunakan bahasa Yunani sebagai interaksi harian. Bahasa Yunani inilah yang menjadi bahasa dalam penulisan Perjanjian Baru.[6]  Latar belakang situasi dan konteks ini bisa menjadi landasan untuk memahami konsep anak Allah dalam tradisi Yunani dan Romawi.

Dalam konsep Yunani-Romawi ada tiga model yang menggambarkan sosok ilahi dan relasinya dengan manusia. Pertama, Allah menjadi manusia dalam waktu sementara, konsep ini berlandaskan pada mitologi yang ditulis oleh Ovid (43SM-17M), yakni Methamophoses menggambarkan bahwa perubahan itu membutuhkan interaksi antara dewa dan manusia dalam waktu yang bersifat temporal atau sementara. Kisah yang mendukung gagasan ini adalah kisah tentang pasangan miskin Filemon dan Baucis yang mendapat kunjungan dari Jupiter dan Merkurius (Dewa dalam mitologi Yunani). Jupiter dan Merkurius mendapat sambutan dari pasangan lansia ini dan dewa ini mengabulkan semua keinginan lansia. Singkatnya, pasangan Filemon dan Baucis ini dianggap sebagai dewa karena Dewa Jupiter dan Merkurius memberikan rahmat itu kepada mereka. Ketika Filemon dan Baucis disembah sebagai dewa, bukan karena mereka sekuat Jupiter dan Merkurius, tapi karena mereka dianggap sebagai manusia yang diangkat ke alam ilahi.[7] Hal ini menunjukan bahwa Allah atau yang Ilahi bisa menjadi manusia. Inilah konsep deifikasio pertama dalam budaya Romawi-Yunani dan konsep ini memiliki relasi dengan kisah Paulus dan Barnabas di Listria (Kis. 14:11) yang memanggil Paulus sebagai Hermes dan Barnabas sebagai Zeus.

Pandangan kedua ialah sosok Ilahi lahir dari manusia yang fana, konsep ini melekat dengan kisah Zeus yang datang kedunia dan melakukan hubungan dengan manusia, sehingga anak yang dilahirkan sering dinamakan sebagai anak dewa. Alexander Agung (356-323 SM) sering diidentikan dengan seorang putra Dewa berkat perkawinan Olympias (manusia) dan Zeus representasi Dewa), atau kisah Jupiter yang jatuh cinta dengan istri Amphytrion, Alcmena yang melahirkan Hercules.[8] Mitos ini mau menunjukan bahwa sosok yang ilahi dapat lahir dari sosok seorang wanita fana. Model ketiga pemahaman manusia ilahi dalam lingkaran Yunani-Romawi ialah manusia yang menjadi Ilahi. Hal ini bisa ditemukan dalam kisah Romulus, Kaisar Julius, Kaisar Agustinus.[9] Dari sini tampak bahwa pemahaman sosok Ilahi atau Allah dalam budaya Yunani-Romawi sering dikaitkan dengan tindakan Dewa mengunjungi manusia.

Dalam Perjanjian Baru, konsep religius Yahudi, Yunani dan Romawi dikaji dengan cara yang baru. Perjanjian Baru secara gamblang menunjukan bahwa sosok Anak Allah adalah sosok Yesus. Injil-injil sinoptik menampakan Yesus sebagai Anak Allah. Yesus sendiri selama hidupnya, menyebut Allah sebagai Abba, Bapa. Yesus sering berbicara tentang dirinya sebagai Anak (Mrk 1:32, Luk. 10:22, Mat 11:27). Identitas ini manu menunjukan hubungan Yesus dengan Bapa. Gagasan Yesus sebagai Anak kepada Allah yang adalah Bapa adalah usaha yang diangkat oleh pata penulis Perjanjian Baru untuk menjelaskan makna salib Yesus. Injil Markus secara jelas menggambarkan Yesus sebagai Kristus dan Anak Allah. Anak Allah muncul tujuh kali dalam injil dan berada pada bagian-bagian kunci injil, misalnya pada bagian awal injil (1.1), digunakan oleh roh jahat (3.11 dan 5.7) yang mengenal Yesus sebagai anak Allah. Di hadapan otoritas Yahudi, imam besar (14:61), dan juga di ayat 15:39) menggambarkan status anak Allah dalam Markus. Pernyataan Allah sendiri mengenai identitas Yesus sebagai anak Allah juga adalah dalam peristiwa pembaptisan (1:11). Dan juga dalam peristiwa transfigurasi pernyataan Anak Allah yang dikasihi diulang kembali[10] Pernyataan ini menggambarkan bahwa status Anak Allah sudah ada dalam teks Markus dan dinyatakan oleh Allah sendiri, Roh Jahat, dan juga oleh manusia sendiri. Ini menunjukan bahwa Yesus memiliki kuasa yang melampaui segalanya. Penginjil Markus menggunakan gelar Anak Allah dari Yesus dalam hubungan dengan ketaatan-Nya kepada Allah. Perumpamaan tentang anak penggarap Kebun Anggur menggambarkan bahwa Yesus adalah putera yang diutus Allah. Walaupun diutus oleh Allah ia tetap dibunuh,dan dalam kuasa-Nya Yesus tetapa taat. Markus mau menampilkan Yesus yang taat bahkan hingga mati di salib.

Peran Roh Kudus Menyingkapi Identitas Anak Allah

            Peran Roh Kudus meliputi seluruh karya Allah, baik penciptaan, penyelamatan manusia dan juga tindakan membarui seluruh ciptaan. Roh Kudus menggerakan hidup para Murid yang takut menjadi pwarta yang berani. Kisah Roh Kudus turun atas para Rasul menjadi teks yang menunjukan bahwa Roh Kudus berperan dalam karya Para Rasul. Dalam Perjanjian Baru Yesus ditampilkan sebagai pribadi yang memiliki kepenuhan Roh Kudus yang turun atas-Nya dalam peristiwa pembaptisan (Mrk 1:10). Peristiwa ini merupakan tanda kekuasaan perutusan-Nya. Yesus di bawah oleh Roh (Mat 4:1) dan berkarya dalam Kuasa Roh (Luk 1:14.18).[11] Dalam Lukas Roh Kudus menuntun dan membimbing orang-orang percaya yang mengalami krisis dan ketidakpastian hidup dengan menyatakan hadirnya Kerajaan Allah di dunia. Roh menggerakkan Simeon untuk pergi ke Bait Allah dan berjumpa dengan bayi Yesus (2:25-27). Secara implisit peran Roh Kudus tidak bisa dipisahkan dengan peran Yesus. Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus adalah pribadi yang memiliki ikatan yang tak terpisahkan dan selalu dalam kesatuan menjalankan karya perutusan di dunia. Roh Kudus memampukan umat manusia untuk menerima Allah yang hadir dalam pribadi Anak.

Peritiwa salib

Peristiwa salib adalah tindakan Allah yang mau berbela rasa dengan manusia. Dalam perspektif Yunani, salib adalah kebodohan dan dalam tradisi Yahudi salib adalah kutukan. Salib merupakan hukuman yang dipakai oleh orang-orang Romawi untuk menghukum siapa saja yang melakukan kejahatan atau melawan Raja.[12] Markus memberikan dua argumen yang mau menunjukan bahwa peristiwa salib atau penderitaan memiliki nilai-nilai yang penting. Dua alasan yang menempatkan bahwa penderitaan melekat dengan perutusan seorang Anak Allah : 1) Yesus sendiri mengatakan tentang penderitaan dan kematian yang akan dialami-Nya. Kata-kata Yesus mengafirmasi peristiwa yang akan terjadi dengan diri-Nya. 2) Penderitaan sebagai bagian inti dari ketaatan Yesus kepada Allah. Dua gambaran ini menunjukan bahwa Yesus mau masuk dalam kehidupan manusia dan mengalami semua peristiwa hidup manusia. Dengan mati di Salib Ia mau menggambarkan bahwa hidupnya diwarnai dengan sikap taat.

Sosok Yesus yang mau menderita, salib dan mati serta hidup bersama manusia menjadi gambaran dasar kristologi dari bawah. Yesus tidak tampak dalam kejayaan, tetapi dalam salib, salib bukanlah momen untuk mengakhiri hidup-Nya tetapi sebagai awal kehidupan bermula dari Salib. Kebangkitan menjelaskan bahwa kematian Yesus bukanlan kegagalan dan kesia-siaan, tetapi sebagai jalan untuk meneggarai bahwa hidup adalah sutu perutusan yang integral dengan kematian dan kebangkitan. Markus menggambarkan kristolgi dari bawah ini dalam karya dan pelayanan Yesus hingga peristiwa Salib sebagai penjelasan dua kriteria di atas. Sebagaiaman markus adalah penginjil yang mau menunjukan konsekuensi ketaatan Yesus kepada Bapa. Dari sini dapat disimpulkan bahwa peristiwa salib adalah suatu rangakian rencana keselamatan Allah bagi manusia melalui Yesus dalam ketaatan-Nya bersama Roh Kudus.

Kesimpulan

            Salib dan Anak Allah adalah dua term yang tidak bisa dipisahkan. Karya keselamatan dari Allah bagi manusia terlaksana lewat kematian Yesus di salib, yang bermuara pada peristiwa kebangkitan. Markus secara jelas memggambarkan bahwa ketaatan Yesus hingga menderita di salib sebagai anak Allah adalah konsekuensi dari ketaat-Nya pada Bapa. Yesus yang taat dan mau melaksankan kehendak Bapa-Nya bahkan hingga wafat, dengan sendirinya mengangkat dan menjadikannya sebagai anak Allah. Dari sini disimpulkan bahwa gelar Anak Allah dalam perspektif Markus selalu dilihat dalam terang ketaatan Yesus. Akhirnya, logika sederhana konsep Markus dalam pemahaman saya adalah demikian, Yesus adalah anak Allah karena Dia taat pada Bapa-Nya dan kematian-Nya di salib adalah suatu bentuk ketaatan seorang Anak pada Bapa. Perkara yang dipaparkan oleh Somad dan Rizieq bisa dibaca dalam terang atau perspektif Markus ini. Salib akhirnya bukan sebuah kebodohan, melainkan suatu konsekuensi ketaatan dan jalan menuju keselamatan.



[2] BBC Indonesia https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38435195 diakses pada 05 Desember 2021

[3] Oscar Cullman, The Christology of the New Testament, (Philadelphia USA: The Westminster, 1963), 272

[4] Eko Riyadi, Yesus Kristus Tuhan Kita, (Yogyakarta: Kanisius, 2011),130

[5] J.B. Banawirtma, (ed) Kristologi dan Allah Tritunggal, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), 29.

[6] Barth D Ehrman, How Jesus Became God, the exaltation of a jewish preacher from Galilee (USA, HarperOne) 19

[7] Barth D Ehrman, How Jesus Became God, the exaltation of a jewish preacher from Galilee, 21

[8] Barth D Ehrman, How Jesus Became God, the exaltation of a jewish preacher from Galilee, 23

[9] Barth D Ehrman, How Jesus Became God, the exaltation of a jewish preacher from Galilee, 24-27

[10] Eko Riyadi, Yesus Kristus Tuhan Kita, (Yogyakarta: Kanisius, 2011),137-138

[11] Herbert Vorgrimler, Trinitas Bapa, Firman, Roh Kudus, (Yogyakarta: Kanisius,  2005), 56

[12] Eko Riyadi, Markus, Engkau adalah Mesias, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 232