Pengantar: Dilema Realita
Sejatinya
setiap pengaruh dan perubahan yang terjadi tidak pernah terlepas dari
perkembangan teknologi yang menelurkan globalisai dan digitalisasi. “seandainya
dulu tidak ada televisi, mungkin sekarang tradisi lokal tidak dilupakan oleh
anak-anak, anak-anak sekarang lebih suka nonton goyang-goyang di televisi
ketimbang melestarikan kebudayaan lokal dan hampir 9 dari 10 anak sudah tidak
mengenal kebudayaan lokalnya lagi, khususnya yang sekarang berusia SD-SMP”, demikian
pengakuan Bapak Tomas Ola, seorang tokoh adat di Manggarai Timur. Pengakuan ini
hemat saya adalah bentuk kecemasan akan lunturnya kebudayaan masyarakat
dipengaruhi oleh kebudayaan-kebudayaan asing. Namun tidak bisa ditolak lagi
bahwa kebudayaan selalu berkembang seiring perkembangan zaman.
Perasaan
cemas di atas melahirkan keambiguaan dalam bersikap untuk menghadapi setiap
perkembangan tersebut. Di satu sisi kebudayan Barat memperkaya masyarakat dan
di sisi lain tentunya menghambat perkembangan kebudayaan local apabila tidak
ada keberanian untuk mempromosikannya. Masyarakat seperti berada dalam posisi
dilematis. Pada tulisan ini, saya membatasi bahwa yang akan dibahas adalah
pengaruh dari tradisi lonto leok masyarakat Manggarai terhadap
nilai-nilai persatuan dan persaudaraan dalam masyarakat lokal dan sumbangsihnya
bagi masyarakat luas. Terlepas dari kecemasaan generasi tua terhadap generasi
muda yang menurut pengakuan mereka sudah melupakan budaya. Concern kita adalah bagaimana tradisi lonto leok menjadi kekayaan dan nutrisi dalam menggemukan
kebudayaan dan menjadi warisan yang tetap dijaga.
Tentang Lonto Leok
Term lonto leok berasal dari kata lonto yang berarti duduk dan leok yang berarti melingkar. Secara
literer lonto leok berarti duduk melingkar. Tradisi duduk melingkar
merupakan suatu khazanah budaya yang sebenarnya sesuai dengan model atau bentuk
rumah adat orang Manggarai, juga sepadan dengan letak lahan pertanian di lingko.[1]
Masyarakat Manggarai, memahami istilah ‘lonto
leok, atau lonto cama’ juga sebagai tradisi kumpul bersama
atau musyawarah yang dilakukan oleh beberapa orang.[2]
Lonto leok merupakan warisan budaya yang mana para tokoh
masyarakat berkumpul bersama dan membangun ruang perjumpaan untuk membahas
hal-hal mengenai cita-cita dan mengevaluasi kehidupan. Lonto leok menjadi
media untuk saling bertukar pikir, bercerita, bersenda gurau, bertukar
pengalaman dan pengetahuan tentang fenomena kehidupan. Lonto
leok menekankan nilai
kebersamaan dan pentingnya perjumpaan langsung dalam hidup sebagai medium untuk
bersolider. Lonto leok merupakan
contoh perjumpaan empat mata antarmuka, atau perjumpaan face to face.
Tempat pelaksanaan lonto
leok adalah mbaru gendang (rumah
adat). Mbaru gendang merupakan rumah
adat atau rumah induk untuk rumah-rumah yang ada di sebuah kampung. Eksisitensi
rumah gendang bukan terletak pada ukurannya, melainkan pada fungsi sebagai
tempat tinggal pemimpin adat (tu’a adat)
dan tempat berlangsungnya kegiatan adat yang menyangkut hidup bersama dalam sebuah
kampung. Mbaru Gendang merupakan
tempat neki weki ranga manga kudut
bantang pa’ang olo ngaung musi (tempat berkumpul semua warga kampung untuk
bermusyawarah mufakat).
Pius Pandor
dalam tulisannya ‘Menyibak Praksis Lonto
Leok dalam Demokrasi Lokal Manggarai’ mendefenisikan tradisi lonto leok
sebagai model demokrasi lokal yang mengatur semua tata kehidupan orang
Manggarai seperti pemeliharaan perdamaian dan keamanan, penegakan hukum adat,
kesatuan dan persatuan, pemeliharaan kesusilaan dan sopan santun, pembagian
tanah (lingko), pemeliharaan
lingkungan hidup, partisipasi dalam upacara adat.[3]
Setiap masyarkat memiliki tugas dan tanggung jawab mengambil bagian dalam semua
urusan masyarakat. Nilai-nilai yang ditekankan dalam tradisi lonto leok ini ialah nilai kesatuan dan persatuan. Setiap pribadi dalam
sebuah masyarakat merupakan pribadi bebas sekaligus terikat kewajiaban untuk
melindungi dan menghormati kemerdekaan sesama warganya. Adapun sumbangan dari
tradisi lonto leok antara lain:
§ Untuk Menyatukan Kata atau Pendapat
Sebagai suatu forum, lonto leok merupakan kesempatan untuk merundingkan sesuatu secara bersama sama. Lonto leok yang ideal dikatakan berhasil jika mampu menyamakan persepsi dan menyatukan aspirasi para peserta berbeda-beda. Semua partisipan lonto leok diharapkan dapat nai ca anggit (sehati sejiwa), dan berusah menghindari kemungkinan woleng curup (perbedaan pendapat). Dengan demikian visi kelompok untuk kekompakan seperti muku ca pu’u (pisang serumpun) terjamin atau terwujud.
§ Untuk Menyatukan Langkah atau Praksis Hidup Masyrakat
Sebagai
forum strategis, lonto leok menjadi medan untuk menyatukan langkah dan
menyelaraskan derap atau irama gerak bersama. Pada tataran ini setiap peserta lonto
leok diharapkan untuk tuka ca leleng (tidak berbeda arah) dan
sasaran perjuangan dengan berusaha menghindari kemungkinan untuk woleng lako,
(berjalan sendiri-sendiri – terpisah dari forum).
Kesimpulan: Sebuah Sumbangsih
Sebuah adagium yang sangat familiar dalam kalangan akademis menyatakan bahwa waktu berubah, manusia juga berubah. Hal senada juga pernah diungkapkan oleh Herakleitos bahwasanya tidak ada yang statis di dunia ini, semuanya mengalir seperti air. Seiring berjalanya waktu, tradisi lonto leok tidak hanya dipakai sebagai konsolodasi adat dalam menyelesaikan masalah sosisl, tetapi juga sebagai media konsolodasi politik di era demokrasi modern. Saya meyakini bahwa kebiasaan bermusyawarah untuk mufakat adalah tradisi yang lazim dijalankan oleh setiap masyarakat di setiap kebudayaan. Konsentrasi kita pada saat ini adalah bagaimana tradisi lonto leok dalam tradisi Manggarai tersebut mempengaruh konsep kehidupan masyrakat umum. Dengan dijalannya tradisi ini, masyarakat mulai menyadari akan nilai persaudaraan dan kesatuan dalam masyrakat. Esensi dasar dari tradisi ini adalah membentuk sikap hidup yang mencintai nilai-nilai kesatuan dalam hidup bersama. Setiap persoalan selalu memiliki solusi dan orang Manggarai selalu meyakini bahwa perkara jika diurus dengan menekankan nilai persatuan akan bisa diselesaikkan dengan cepat. Nilai-nilai seperti inilah yang menjadi sumbangan bagi masyarakat umum.
[1] Lingko
adalah tanah milik umum yang jika dibagi akan membentuk seperti jaring laba-laba.
Proses pembagiaanya diukur dari titik pusat yang berada persis ditengah-tengah lingko tersebut yang sering disebut lodok. Batas-batas dari tanah tersebut
disebut dengan istilah cicing atau langang: batas.
[2] Pius Pandor, Menyambut dan Memuliakan Sesama Dalam Ritus
Inisiasi Sosial Tiba Meka Orang Manggarai, dalam ‘Kearifan Lokal Pancasila,
Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan’, Jogjakarta; Kanisius, 2015, 218.
[3] Pius
Pandor, ‘Menyibak Praksis Lonto Leok dalam Demokrasi Lokal
Manggarai’ 443.