Doa
sering diartikan sebagai hubungan yang intim dengan Tuhan. Doa memampukan
seseorang untuk melakukaan dan mendapatkan apa yang dipandang tidak masuk akal
manusia; melampaui kodrat manusia. Doa mengubah hidup manusia, menjadi kekuatan
bagi manusia yang lemah dan rapuh, menjadi sarana yang menjadikan pribadi
manusia mampu mencapai sesuatu yang adikodrati. Dengan berdoa kita merasa dikuatkan dan bisa
menerima semua tantangan, cobaan, dan penderitaan dalam hidup. Doa juga sering
diartikan menyerahkan seluruh hidup pada rencana Tuhan. Membiarkan Tuhan
membentuk dan menjadikan hidup sebagaimana mestinya, berdasarkan kehendak dan
rencanaNya. Salah satu tokoh Kitab Suci yang menampilkan kesalehan dalam berdoa
ini adalah Ayub. Kesalehannya dalam berdoa membuatnya bertahan walaupun “diuji” dalam berbagai
bentuk penderitaan. (Baca; Kisah Ayub)
Alkisah Ayub adalah
tokoh yang sangat saleh dan jujur. Ia takut akan Allah dan menjauhi darinya
segala kejahatan. (Cf. Ayb. 1:1).
Dalam buku, Degup Jantung Tuhan Curhat Wanita Pendaharaan, Gusti Supur, CMF.
menjelaskan hakikat kata takut. Takut (yare)
tidak menunjukan pada keadaan horor, tetapi pada sikap Veneror: menghormati dan bersembah sujud dihadapan Allah sang Nama (hashem).
Iman Ayub adalah iman
yang takut akan Allah, takut akan Allah selalu berarti Shama: mendengarkan Dia
dengan taat. Iman Ayub bukanlah iman yang cerewet, banyak bicara, melainkan
iman yang selalu ditandai dengan sikap mendengarkan dengan taat dalam
keheningan batin.
Tokoh
Ayub menyerahkan seluruh hidupnya
secara
total pada kehendak Allah. Walaupun kemalangan dan penderitaan menimpa dirinya ia tetap mentaati Allah
dan tidak pernah sekali-kali mengutuk Allah. Para saudara, sahabat dan bahkan
isterinya sendiri mempertanyakan kehadiran Allah di saat-saat Ayub mengalami
penderitan itu (cf.Ayb. 2:9). Dalam derita itu Ayub merasakan
ketidakadilan yang diperlakukan Tuhan atas dirinya. Tetapi ia tetap setia dan
taat pada Allah. setia dan taat ini karena ketakutannya akan KeMahaKuasaan
Tuhan. Dalam kacamata kebajikan kerendahan hati, takut akan Tuhan adalah
tindakan auto-submission di mana
seseorang secara suka rela dan tulus
ikhlas menenggelamkan dirinya dalam samudera Kemahakuasaan Tuhan. Saat mana
hidupnya dibiarkan dimonopoli secara total oleh Allah.
Perjalanan hidup Ayub
sebagai seorang hamba Allah yang saleh namun ditimpa kemalangan, merupakan sebuah
gambaran perjalanan hidup umat Kristiani dari jemaat perdana hingga zaman
sekarang. Kisah Ayub, menggambarkan bahwa doa dan pengharapan yang besar pada Allah
memampukan manusia untuk menerima semua rencana Allah. Lalu bagaimanakah
pengaruh doa di tengah perkembangan teknologi dan kemajuan dunia saat ini?
Apakah doa masih sungguh sebuah sarana transformasi atau hanyalah sebuah rutinitas
belaka yang tak memberi pengaruh sama sekali?
Hemat penulis,
berdasarkan realitas yang diamati dalam rumah formasi kita khususnya di Pra Novisiat
Claret, kita sepertinya sedang mengalami sebuah kemandekan spiritual; pudarnya
nilai spiritual dalam diri dan kurangnya sikap mistis injil. Hal ini dapat
diamati dalam tindakan doa-doa harian kita yang kadang hanya menjalankannya
sebagai aktivitas belaka, tanpa kerinduan akan perjumpaan dengan Dia. Memang
tidak semua kita mengalami sikap ini, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa kita
sedang mengalami kejenuhan. Hal ini di satu sisi menujukan bahwa doa kadang hanyalah
sebuah ajang sensasi, ‘roh’ dari doa itu sendiri tidak lagi diperhatikan.
Kongregasi Claretian
dalam dokumen kapitel XX, Claretian In
Process of Renewal; menyadari bahwa banyak anggota
Claretian yang mengalami sejenis kemandekan spiritual dan kurang memiliki sikap
mistik injil dan semangat tinggi yang dibutuhkan dalam melaksanakan karya misi (cf. CPR. no. 46). Keprihatinan ini secara
tidak langsung menunjukan bahwa kemandekan itu sudah ada seiring berkembangnya
kongregasi. Mengatasi problema kongregasi menekankan kepada para Claretian
untuk kembali menghayati secara mendalam komitmen pribadi, pengalaman khas dari
rahmat panggilan dan menghidupkan kembali secara sungguh makna hidup
berkomunitas. Solusi ini setidaknya mengantar kita untuk mengatasi rasa jenuh
dalam diri.
Mengatasi penyakit
pikiran atau kejenuhan, penulis mencoba menawarkan gagasan cemerlang Albert
Camus dan Paulo Coelo. Albert Camus pada bagian pengantar esay Mite Sisifus mengatakan
bahwa dalam kehidupan harian tentunya manusia akan selalu sampai pada sebuah
sikap atau titik kejenuhan. Camus menyebutkan ini sebagai sebuah penyakit
pikiran (mal de l’esprit). Senada
dengan Camus, Paulo Coelo seorang novelis kelahiran Brasil, Agustus 1947 dalam
novelnya The Zahir mengafirmasi
pernyataan Camus, di mana setiap manusia akan sampai pada sebuah sikap
kejenuhan yang berkepanjangan dan atau hanya sementara. Coelo membahaskannya
dengan istilah accomodador. Camus dan
Coelo menegaskan bahwa kejenuhan itu sebenarnya
muncul karena pikiran manusia, oleh karena itu mereka mengatakan hal
yang perlu diperhatikan adalah membangun sebuah sikap kesadaran. Kesadaran
dapat tercapai melalui dua cara yakni dengan menciptakan suasana dan ruang kontemplasi
kolektif (contemplative collective)
dan keheningan batin yang personal dan comunal. Seorang akan menjadi pribadi
yang baik apabila dia mampu menembus dan menerobos titik kejenuhan itu sendiri.
Kejenuhan yang membuat kita mengalami kemandekan dan kurang memiliki sikap
mistik injil. Kejenuhan juga membuat kita menjadikan doa sebagai ajang sensasi.
Penulis meyakini
kejenuhan akan berlalu jika kita belajar dari tokoh Ayub dan juga solusi yang
ditawarkan oleh Albert Camus dan Paulo Coelo. Sebagai Claretian dan Juga Calon
Claretian kita juga mendapat pencerahan yang disuguhkan oleh dokumen kapitel
ke-20 untuk kembali bersemangat dalam doa dan memperbarui diri kita (Renew our self). Dengan
demikian “roh” dari doa mampu menjadi sarana transformasi diri.
Yogyakarta, 2020
Fransiskus Sardi
ini adalah refleksi aspiran
BalasHapus