Remah-Remah
Sabtu, 02 September 2023
Review Buku Aku Lelakimu Setia Menunggumu
Kamis, 20 Juli 2023
Review Buku Sebuah Seni Bersikap Bodo Amat
Judul: Sebuah seni untuk
bersikap Bodo Amat (2018)
Penulis: Mark Manson
Judul Asli: The Subtle Art
of not giving Fuck (2016)
Alih Bahasa: F. Wicakso
Penerbit: Gramedia
Tebal: 247
photo by Sardi |
Dalam sembilan bab yang
membahas tentang kehidupan hingga kematian, Mark Manson menarasikan gagasannya
dengan gaya yang paradoks dan nyentrik. Judulnya dirangkai menggunakan term
yang menaruh curiga dan penasaran. ‘Jangan Berusaha’, ‘Kebahagian itu masalah’,
‘Anda tidak Istimewa’, ialah contoh dari kelihaian Mark menuangkan idenya. Judulnya
sangat kontroversial, ia seperti membuat konstruksi baru demi kewarasan dalam
hidup.
Tulisan yang
diterjemahkan oleh Wicakso ini, memberikan gambaran bagaimana sejatinya
melakoni kehidupan. Membuat semua orang menyukai, people pleaser ialah bahaya
laten apabila diri sendiri diabaikan. Pada titik ini, bodoh amat adalah suatu
seni untuk menjalani kehidupan.
‘Masa bodo, atau bodo amat, artinya memandang tanpa gentar tantangan yang paling menakutkan dan sulit
dalam kehidupan dan mau mengambil sautu tindakan’ (14). Namun dalam penghayatannya,
‘hal ini membutuhkan latihan dan kedisiplinan seumur hidup untuk mencapainya,
dan sepertinya akan banyak gagalnya’ karena kita terbiasa untuk membuat orang
menyukai kita, kita takut dikucilkan, padahal dikucilkan/rasa sakit adalah awal
dari suatu pribadi yang paripurna.
Ada tiga konsep bersikap
bodo amat ala Mark Manson: 1). Bodo amat bukan berarti menjadi acuh tak acuh,
tapi menjadi pribadi yang nyaman saat berbeda, tidak ikut trend, tidak FOMO. 2).
Untuk bisa mengatakan ‘bodoh amat’ pada kesulitan, pertama harus peduli terhadap
sesuatu yang jauh lebih penting dari kesulitan, kontra-argumen, hukum kebalikan.
‘Menemukan suatu yang penuh arti, perhatian membuat hidup tidak semberono, 3).Entah
disadari atau tidak, kita selalu memilih satu hal untuk diperhatikan. Manusia
lahir untuk dirisaukan oleh banyak hal, memutuskan untuk fokus pada hal penting
tertentu adalah suatu seni untuk bersikap bodo amat atas ‘perkara’ lain.
Bodo amat ialah cara
sederhana untuk mengarahkan kembali ekspektasi hidup dalam memilih apa yang
penting dan tidak. Mark menamainya sebagai ‘Pencerahan Praktis’ walau dalam
bacaan saya, hal ini meninggalkan ‘kegelapan’ bagi yang lain.
Menariknya, buku ini
menekankan bahwa ziarah manusia akan ditemani oleh kegagalan, berdandankan
penyesalan, berkawan dengan kerugian, dan keniscayaan kematian. Berhadapan dengan
fakta demikian – sama seperti beberapa buku motivasi lain – memeluk penderitaan
dan berdamai dengan ialah suatu keharusan. Pada akhirnya, kita akan
menertawakan air mata, itulah seni dari bodo amat.
Kelebihannya:
Buku ini diterjemahkan
dengan bahasa yang mudah dipahami. Narasinya asyik dan candu untuk dibaca. Judul-judul
yang paradoks juga menaikan rasa penasaran akan isinya. Bab yang ada di dalamnya
bisa dibaca secara terpisaha, sehingga sangat rekomded bagi yang tidak punya
banyak waktu luang. Untuk jadi diri sendiri, mungkin buku ini bisa jadi salah
satu resepnya. Suka atau tidak, pada satu titik kita harus bersikap bodo amat.
Terdapat quetos yang memicu adrenalin untuk berpikir lebih keras dan mandiri. Rekomded
banget.
Kelemahannya:
Saya tidak menemukannya. Karena
salah satu tujuan dari membaca buku ini adalah untuk menemukan hal-hal
pentingnya saja. Apakah artinya tidak ada kekurangan dari buku ini? Tentunya ada.
Tapi saya tetap memilih untuk melihat hal-hal penting saja. Bukan kah itu
pelajarannya. hhh
Rabu, 16 Februari 2022
PEMIKIRAN STANLEY JEDIDIAH SAMARTHA
findagrave.com |
Stanley memiliki gagasan dan pemikiran teologi yang
sangat kaya. Paradigma teologinya tidak pernah terlepas dari konteks kebudayaan
India. Ada banyak sumbangsih pemikirannya dalam gagasan teologi, dan dalam
paper ini saya akan mencoba memberikan dua poin penting dari gagasan Stanley
yaitu mengenai konsep kristologi dan gerakan ekumenikal untuk merintis dialog
antar agama. Bagi saya secara pribadi, ini adalah dua poin penting yang cukup
menarik untuk dibahas dari pemikiran Standley. Sebelum memaparkan tentang
pemikiran teologinya, ada baiknya untuk membahas biografi singkatnya.
Biografi Stanley dan karya-karyanya[1]
Stanley
Jedidiah Samartha lahir pada 7 Oktober 1920 di Karkal, India sebagai anak
seorang pendeta Basel Evangelical Mission. Ia dibesarkan di lingkungan masyarakat
multi-religius yang terdiri dari agama Hindu, Islam, Kristen, dan Jainisme. Standley belajar di Madras
University, United Theological College, Bangalore (1941-1954), Union
Theological Seminary, New York (di bawah bimbingan Paul Tillich yang menjadi dosen pendamping
tesisnya), dan Hartford Seminary Foundation, Hartford, Connecticut. Stanley pernah menjadi rektor di
Basel Evangelical Mission Theological Seminary (sekarang
Karnataka Theological
Seminary; 1952-1960), Bangalore, Karnataka. Kemudian ia menjadi rektor
Serampore College, West Bengal (1960-1965).
Stanley juga melayani sebagai
direktur program dialog dengan iman dan ideologi-ideologi yang lain selama 1968-1980. Ia
kembali ke India dan mengajar di United Theological College sampai
menjadi dosen emeritus. Ia juga adalah anggota komite program doktor South Asia
Theological Research Institute. Stanley
meninggal pada 22 Juli 2001. Karya-karya
Stanley antara lain: One Christ many Religions (1991), Between two
cultures: Ecumenical Ministry in a pluralist world (1996), Courage for
Dialogue (1987), The Future of inter-religious dialogue (1992) dan
ada banyak karya masyhur lainnya.
Pemikiran Teologi Stanley Samartha
Dalam tulisannya, The Hindu View of History
According to Representative Thinkers Samartha menitikberatkan sejarah
sebagai gagasan inti. Ia menjelaskan Hinduisme modern dalam memahami sejarah.
Perlu digarisbawahi bahwa Stanley adalah penafsir terhadap gagasan sejarah
dalam Hinduisme.[2]
Samartha juga aktif menafsir ajaran Yesus Kristus dalam konteks komparasi
teologi antara Kristen dan Hindu. Berlatarbelakang dari budaya yang plural dan
multi-religius, Samartha juga getol menawarkan dialog antar agama. Berikut saya
akan menguraikan dua gagasan Stanley:
à Kristologi Stanley
Salah satu frasa yang terkenal dalam disertasi Stanley,
adalah Christianity belongs to Christ, Christ does not belong to
Christianity.[3]
Hal ini tidak terlepas dari konsentrasi Stanley yang menegaskan nilai
universalitas dari pribadi Kristus. Dalam gagasan Kristologinya, Stanley
Samartha menerapkan konsep Advaitik Sankara dari dalam kesadaran Hindu India,
yang menekankan prinsip non-dualitas atau unsur kesatuan, (non-duality
or oneness).
Implikasi dari gagsan ini adalah tiadanya perbedaan antar manusia, - menekankan
persatuan antar sesama.
Samartha
menginginkan bahwa, perkawinan antara pemikiran India dan Kristiani, khusunya
tentang kristologi juga mirip dengan yang dilakukan Origenes yang menggunakan
kategori pemikiran Platon dan Thomas Aquinas menggunakan pemikiran Aristoteles.
Oleh karena itu, Samartha ingin para teolog India juga mengunakan pemahaman
filosofis advaita vedanta atau advatik sankara.
Menurut Samarta ada empat alasan mengapa sistem
pemikitan teolog India bisa menerapkan gagasan advaita,[4]
1) sistem advaita adalah sistem paling terkenal di India, 2) sistem
pemikiran ini juga sudah dinterpretasi dalam gaya modern, 3) di
India modern, orang terus-menerus mencari, membandingkan, dan meneliti advaita
dan kemudian menghubungkannya dengan kehidupan dan pemikiran modern. 4) banyak yang membahas masalah-masalah sosial di
India menggunakan pendekatan ini dan terutama berhubungan dengan tujuan hidup.
Samartha
menggeser posisi kristologinya dari Kristus yang hadir secara misterius di
dalam agama-agama lain, suatu kristologi yang inklusivistik, ke arah kristologi
teosentris, suatu kristologi yang pluralis.
Dalam upaya mengakui misteri Kristus dan menjelaskan makna pribadi dan karya
Yesus Kristus, ia menolak pemahaman kristologi ekslusivisme normatif.
Samartha menjelaskan “It
is relational because Christ does not remain unrelated to neighbors of other
faiths, and distinctive because without recognizing the distinctiveness of the
great religious traditions as different responses to the Mystery of God, no
mutual enrichment is possible”[5] Samartha
mengembangkan Kristologi teosentris yang berpusat pada misteri. Samarta
mengunakan pendekatan kristologi dari bawah agar bisa berdialog dengan
agama-agama lain.
Usaha Samartha ini untuk membangun suatu pola pikir
kristologi yang bisa disandingkan dengan agama-agama lain. Samartha
juga mengakui keberadaan juru selamat-juru selamat yang lain seperti Rama,
Kresna, dan Budha di dalam konteks India. Kristologi teosentris juga saling
menhubungkan antara Kristus dengan tokoh-tokoh tersebut.
à Gagasan tentang Dialog dan Plurlalisme dan hubunganya
dengan Roh Kudus
Stanley Samartha mendasari
pneumatologi religionumnya dengan menegaskan bahwa Gereja perlu memiliki
kesadaran bahwa dirinya hidup dalam sebuah dunia yang plural secara religius;
dan oleh karena itu teologi Kristen tidak boleh lagi berpusat sebatas
dinding-dinding gereja saja (eklesiosentris) namun harus bergerak menyikapi
terhadap konteks yang plural tersebut.[6]
Teologi
pluralisme agama Samartha ternyata tidak lepas dari pengaruh teologi Barat dan
dipengaruhi oleh pandangan dunia (worldview) pencerahan. Bagi Samartha pluralitas dan dialog adalah hal yang
sangat penting. Samartha mengikuti Chiang Mai[7]
mengafirmasi bahwa dialog adalah 1) sarana untuk menghidupi iman dalam Kristus
dalam pelayanan komunitas dunia. 2) dialog dan pewartaan adalah hal yang tidak
dapat dipisahkan. Dialog tidak dilihat sebagai alternatif misi, tetapi sebagai
salah satu cara untuk membuat Yesus dapat diakui di dunia saat ini.
Pada dasarnya dialog dalam pluralisme agama dan budaya
tidak pernah terlepas dari karya Roh Kudus. Ketika kristiani berusahan
menekankan dialog sebagai suatu “gaya hidup dalam hubungan dengan sesama dalam
masyrakat plural”. Perlu mengakui keragaman besar situasi di mana gereja
menemukan diri mereka saat ini.
Tetangga-tetangga Kristen menjalin hubungan dalam
dialog mungkin menjadi rekan dalam krisis dan pencarian sosial, ekonomi dan
politik yang sama; pendamping dalam karya kerasulan, atau eksplorasi
intelektual dan spiritual dengan realitas plural dalam agama. Di beberapa
tempat, orang Kristen dan gereja sebagai institusi berada dalam posisi
kekuasaan dan pengaruh, dan agama-agama atau kebudayaan lain tidak memiliki
kuasa. Tetapi juga di tempat lain ada orang-orang Kristen yang tidak berdaya
(minoritas) karena didominasi oleh agama atau kebudayaan lain. Ada juga situasi
ketegangan dan konflik di mana dialog tidak mungkin dilakukan atau peluang
sangat terbatas.
Tidak bisa dielakan bahwa orang-orang dari kepercayaan
yang lain berinteraksi tidak hanya dengan agamanya sendiri, tetapi juga dengan
orang-orang dari berbagai ideologi, meskipun kadang-kadang sulit untuk membuat
perbedaan yang jelas antara agama dan ideologi, karena ada dimensi agama dari
ideologi dan dimensi ideologis dari agama. Samartha menegaskan bahwa agama Kristen
juga masuk dalam usaha untuk menawarkan gagasan dan nilai-nilai kristianitas. Ada
kecemasan baru dengan munculnya beragam kelompok agama baru di banyak negara
dan membawa dimensi dan ketegangan baru dalam hubungan antar-agama. Dengan
mengingat semua keragaman ini, dialog dan kesadaran pluralis menjadi hal yang
penting.
Akhirnya nilai-nilai kristiani dapat diterima dengan
membangun kesadaran pluralisme dan mempercayai universalitas ajaran Kristus.
Kristologi teosentris yang menekankan misteri dan karya Roh Kudus dalam karya
pewartaan dan dialog, menjadi poin penting dari gagasan Samartha. Tidak bisa membuat
distingsi antara misi dan dialog, hal demikian seperti kebudayaan dan keragaman
agama dengan nilai-nilai universalitas kristiani.
[1] Biografi Samartha ini
dihimpun dari tulisan Stanley
Samartha, “Between Two Cities-Part I: Early Years, dalam link
http://wcc-coe.org/wcc/what/interreligious/cd38-01.html bandingkan
juga dengan tulisan Christian Sulistio, Evaluasi Terhadap Teologi Pluralisme
Agama Stanley Samartha, Veritas, Jurnal Teologi dan Pelayanan, Oktober
2009: hal. 240.
[2] Christian
Sulistio, Evaluasi Terhadap Teologi Pluralisme Agama Stanley Samartha,
Veritas, Jurnal Teologi dan Pelayanan, Oktober 2009: hal. 241.
[3] Stanley J. Samartha, The
Hindu Response to the Unbound Christ (Madras, India: The Diocesan Press, 1974), hal. 10.
[4] Gagasa ini
mengikuti alur pemikiran Christian Sulistio, Evaluasi Terhadap Teologi
Pluralisme Agama Stanley Samartha, Veritas, Jurnal Teologi dan Pelayanan,
Oktober 2009: hal. 242 bandingkan juga dengan Kosuke Koyama, “Asian Theology”
dalam The Modern Theologians (2 jilid; ed. David F. Ford; Oxford: Blackwell,
1989) hal. 2219.
[5] Stanley Samartha, One
Christ—Many Religions (Maryknoll, Orbis, 1991) hal 104.
[6] Minggus Minarto Pranoto, Pneumatologi Religionum
dalam Pemikiran Stanley J. Samartha dan Amos Yong, Jurnal Abdiel: Khazanah
Pemikiran Teologi, Pendidikan Agama Kristen dan Musik Gereja, no 1
2021: hal. 4.
[7] Stanley J
Samartha, Guiedlines on Dialogue, 1979, hal. 157.
Senin, 14 Februari 2022
POLITIK YANG ADIL MENURUT PAUL RICOEUR
Paul Ricoeur (1913 - 2005) |
Pengantar
Sejak munculnya pemikiran yang membedakan watak alam
sosial, dengan alam fisik, lebih dari 2500 tahun yang lalu, teori politik telah
menarik perhatian pemikir-pemikir dari segala zaman. Perhatian manusia terhadap
politik, sebenarnya tidak terlalu mengejutkan, karena manusia, meminjam istilah
Aristoteles (384-322) adalah makhluk yang berpolitik (zoon politicon).[1] Konsekuensi
logis dari penamaan manusia sebagai makhluk politik ialah hidup dalam tatanan
masayrakat. Untuk membangun hidup baik dalam masyarakat, sangat diperlukan
suatu etika politik yang benar demi mencapai hidup yang adil.
Hidup bersama dalam masyarakat, baik dalam skala kecil
maupun besar, selalu rentan konflik. Sejarah hidup bersama mencatat ada
berbagai persoalan dan masalah yang muncul akibat ketidakmampuan mengatur
kebebasan setiap individu. Negara kita, Indonesia menorehkan beragam persoalan
politis. Cela kritis dan krisis situasi politik Indonesia memberi sinyal kuat
bahwa politik yang santun dalam membangun masyarakat yang adil mutlak
dibutuhkan. Tema politik yang santun dalam membangun masyrakat yang adil, akan dibahas
dalam paper ini dengan bertolak dari gagasan Paul Ricoeur. Penulis akan memulai
dengan menarasikan riwayat hidup Paul Ricoeur, dilanjutkan dengan uraian
gagasan politiknya, dan relevansi untuk membangun suatu komunitas masyarakat
yang adil.
Riwayat Hidup Paul Ricoeur
Paul Ricoeur lahir di Valence, Selatan Lyons pada 27
Februari 1913. Ia menjadi yatim saat
usia 2 tahun. Ibunya meninggal saat melahirkannya, dan ayahnya gugur dalam Perang
Dunia II sehingga ia dibesarkan oleh kakek dan neneknya.[2] Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan
yang taat dan dianggap sebagai salah satu filsif cendekiawan Protestan yang
terkemuka di Prancis. Ricoeur sangat peduli dengan persoalan-persoalan sosial,
politik, edukatif, kultur, dan agama. Ia dibesarkan di Rennes. Dia memulai
karir filsafatnya ketika pemikiran filsafat Eropa didominasi oleh tokoh-tokoh
seperti Husserl, Heidegger, Jassper dan Gabriel Marcel.[3]
Mereka ini yang mewarnai pemikiran filsafatnya. Pada tahun 1933, ia memperoleh
lisensiat filsafat lalu ia mendaftar di Universitas Sorbonne Paris guna
mempersiapkan diri untuk menjadi asisten dosen.
Pada tahun 1957, Ricoeur diangkat sebagai profesor
Filsafat di Universitas Sorbone. Tahun 1960 ia mempublikasikan buku Finitiude and Guilt, (Keberhinggan dan
Keberhasilan). Buku ini adalah jilid kedua yang terbagi menjadi dua buku Fallible Man (Manusia yang Bersalah) dan
The Symbolism of Evil (simbol-simbol tentang
kejahatan). Ceramah-ceramahnya yang diberikan di Yale University, Amerika
Serikat (1961) dikembangkan menjadi karya besar Perihal Interpretasi,
Esai Tentang Freud (1965). Tahun 1969 dia menulis tentang psikoanalisis
dan strukturalisme, judul bukunya (The
Conflict of Interpretation: Essays in Hermeneutics; Konflik Interpretasi: Esai Tentang Hermeneutika). Satu karya penting
yang membahas tentang konsep politik adalah Oneself as Another (1991). Ricoeur meninggal dunia
pada 20 Mei 2005 di Chatenay-Malabry.[4]
Politik Yang Adil Menurut Ricoeur
Manusia dalam hidupnya selalu mengejar hidup yang
baik. Paul Ricoeur dalam konstruksi etika politiknyamemulai dengan gagasan
Aristoteles. Aristoteles dalam karyanya Nichomachean Etichs I mendeklarasikan
bahwa kebaikan merupakan tujuan utama dari segala pilihan hidup manusia.
Manusia dalam seluruh proyek hidupnya, selalu mengejar hidup baik.[5] Hidup
baik hanya bisa dicapai dalam relasi antarpribadi. Relasi ini mengandaikan
adanya suatu tantanan hidup yang berkadilan.
Paul Ricoeur mengadopsi pandangan teleologis
Aristoteles. Bagi Paul Ricoeur keadilan selalu berkaitan dengan keutamaan
(virtue). Menurut Ricoeur keadilan memiliki dua makna[6], yaitu sebagai
good yang menandakan keberadaan relasi antara pribadi menuju
institusi-institusi menuju ke dalam masyarakat yang tak berwajah. Hal kedua
ialah sebagai suatu aturan yang merujuk pada sistem keadilan dalam masyrakat
luas.
Tesis Ricoeur menegaskan bahwa keadilan sebagai
sebentuk keutamaan. Keutamaan adalah kemampuan manusia untuk melakukan perannya
sebagai manusia untuk mencapai tujuan yaitu adil. Seorang menjadi adil apabila
dia bertindak secara adil. Tampak Ricoeur menggarisbawahi pemahaman bahwa
keadilan selalu merupakan praksis keutamaan. Paul Ricoeur membangun etika
politiknya dengan menekankan situasi riil, yang mana semua manusia memiliki
hasrat untuk hidup dalam keadilan.
Fakta bahwa keadilan yang selalu dihasrati,
dikehendaki, merupakan alasan kuat bahwa keadilan pertama-tama adalah soal
keutamaan. Secara gamblang bisa dijelaskan bahwa politik dalam perspektif
Ricoeur adalah keadilan yang berlandaskan pada keutamaan. Keadilan sebagai
etika dalam bertumpu pada realitas hidup, bahwa semua orang menghendaki dan
mengusahakan hidup adil dan baik.
Dalam mendukung gagasannya tentang konsep keadilan,
Ricoeur menguraikan bahwa konsep keadilan selalu bersifat proporsional. Artinya
bahwa walaupun keadilan adalah suatu prinsip universal, tetapi penerapan atau
aplikasinya selalu dilihat dan dibaca dalam konteks.
Menurut Ricoeur dalam membangun suatu sistem politik
yang baik dibutuhkan tiga sikap utama[7] yaitu:
kebebasan subjek, kebebasan orang lain, dan institusi yang memediasi kebebasan
subjek dan kebebasan orang lain.[8] Semua
sikap ini menurut Ricoeur akan mengarahkan seorang pada hidup baik. Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya bahwa hidup baik adalah tujuan akhir dari kegiatan
manusia dalam tatanan hidup bersama.
Ricoeur mendefinisikan hidup baik sebagai pencapaian
impian dan ideal tertinggi dari dalam masyarakat. Hidup yang baik tidak pernah
terpisah dari pemahaman hidup yang mengandaikan adanya tiga sikap diatas. Oleh
karena itu dasar pertimbangan etika politik Paul Ricoeur adalah hidup baik yang
tidak lain adalah hasrat akan kebahagian untuk semua orang.
Konsep politik yang berimplikasi pada hidup baik
adalah hidup yang mengarahkan hidup bersama bagi semua orang melalui institusi
yang adil. Dalam pemahaman Ricoeur, individu, masyarakat luas, dan institusi
adalah tiga hal utama yang menggerakan hidup bersama dalam tatanan bersama
untuk membangun politik yang adil.
Sumbangan Pemikiran Ricoeur Untuk Masyarakat Adil
Sebagai seorang pemikir kristiani, Ricoeur memberikan
gambaran bahwa esensi dari suatu tindakan keadilan adalah memperlakukan orang
lain selaras dengan apa yang hendak kita ingin orang lain perbuat.
Teks injil Matius 7:12 “segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya
orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka” menjadi
landasan etika keadilan politik Ricoeur. Gagasan ini menjadi sumbangan besar
dari Paul Ricoeur yang mana menekankan hubungan kesalingan dan kesetaraan.
Ricoeur memang menekankan dan memprioritaskan hasrat
baik dan moralitas yang berlandaskan pada norma hukum. Peran institusi menjadi
sangat penting untuk membangun etika dan moralitas politik tersebut. Dalam
bacaan kelompok kami, peran institusi mutlak menjadi hal yang penting dalam
hidup bersama apabila dikaitkan dengan kesetaraan dan kesalingan.
Fenomena
korupsi yang ada di setiap negara, serentak menurukkan konsep keadilan bagi
semua orang dari gagasan Ricoeur. Dalam telaah yang ditulis Beni Harman,[9] ‘salah
satu celah para koruptor mencuri harta negara adalah kelonggaran hukum dan
institusi yang lemah dalam bidang pengawasan hukum’. Kelemahan institusi ini
juga tidak terlepas dari sikap kebebasan yang kebablasan. Sumbangan Paul
Ricoeur dengan etika politik yang adil sebagai keutamaan, bisa dibaca dalam hal
ini.
Prinsip keadilan dalam etika politik Paul Ricoeur
mendorong institusi-institusi untuk menekankan prinsip keadilan yang saling
terhubung dan setara. Penekanan politik yang setara dan berhubungan dengan
berlandaskan pada asas keadilan menjadi sumbangan penting Paul Ricoeur.
Ricoeur
memadatkan seluruh gagasannya tentang etika politik di atas tiga pilar penting:
1) mengarahkan pada hidup baik, 2) bersama dan untuk orang lain, 3) dalam
institusi-institusi yang adil. Hidup baik menjadi tujuan akhir semua kegiatan
manusia. Untuk menggapai hidup tersebut manusia harus ada dalam kebersamaan
dengan orang lain, maka relasi persahabatan menjadi suatu hal yang mutlak dan
tidak bisa ditolak.
Sebagaiman cita-cita para pendiri Bangsa untuk
menjadikan negara Indonesia baik dan adil, maka etika politik Paul Ricoeur bisa
menjadi sumbangan untuk membangun suatu masyrakat yang adil.
[1] Henry J
Schmandt, A History of Political Philosophy, terj. Ahmad Baidlowi dan
Imam Baehaqi, Filsafat Politik, Kajian Historis dari zaman Yunani Kuno
sampai zaman Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 4.
[2] F Budi
Hardiman, Seni
Memahami, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), 237
[3] John. B. Thompson,
"Editor's Intrroduction," dalam Paul Ricoeur Hermeneutics and
the Human Science
(Amerika: Cambridge University
Press,
1982), 2.
[4] F Budi
Hardiman, Seni
Memahami, 239
[5] Aristotle,
Nichomachean Ethics I, the Complete works of Aristotle, Vol II (Princenton:
Princenton University Press, 1991) 10941a
[6] Paul
Ricoeur, Oneself as Another, trans by. Kathleen Blamey (Chicago and
London: The University of Chicago Press, 1991), 228
[7] Paul
Ricoeur, The Problem of the foundation of Moral Philosophy, (Prancis,
2000) 11
[8] Bernard P
Dauenhauer, Paul Ricoeur, The Promise and Risk of Politics, (NewYork,
Rowlan and Littlefield Publishers, 1998), 27
[9] Beni Kabur
Harman, Negeri Mafia, Republik Koruptor, (Yogyakarta: Lamalera, 2012),
102
Rabu, 26 Januari 2022
Anak Allah Yang Tersalib dan Menderita dalam Paradigma Injil Markus
Dokpri, Fransiskus Sardi, Pantai Alamanda |
Pengantar
Habib Rizieq dan Ustad Abdul Somad, pernah
mengomentari status ke-Allah-an Yesus dalam ceramah mereka. Menurut Ustad Abdul
Somad, pada salib yang yang tergantung ada jin kafir.[1]
Pernyataan kontroversial Abdul Somad menuai beragam tangggapan dari umat
kristiani. Pernyataanya seolah menurunkan status ke-Allah-an Yesus. Status
Yesus sebagai anak Allah juga dipersoalkan oleh Habib Rizieq, menurutnya jika
Tuhan beranak, bidannya siapa?[2] Dua kasus
ini, merupakan contoh bahwa ada persoalan yang cukup pelik mengenai status
Yesus dan Allah. Masih banyak beragam kasus lain, namun dalam paper ini saya
akan menuangkan gagasan saya bertolak dari kasus mengenai status Anak Allah.
Berhadapan dengan masyarakat yang plural di Indonesia,
umat kristiani diandaikan: 1) memahami dengan baik dan benar ajaran atau
dogma-dogma kristiani [kemampuan rasio], 2) beriman dengan sungguh agar mampu
berkanjang dalam beragam kritikan dan celoteh [kemampuan iman]. Dua sikap ini
akan mengantar kedewasaan iman bagi umat kristiani. Dalam paper ini, saya akan
membangun apologetik tentang status Yesus sebagai Anak Allah yang tersalib dan
menderita dengan pendekatan biblis. Tulisan ini juga adalah usaha saya agar
bisa menguraikan status anak Allah dalam perspekti Markus, sehingga iman umat
kristiani juga berlandaskan pada nalar atau rasio yang benar.
Konsep Anak Allah, dari Perjanjian Lama (Tradisi
Yahudi), Tradisi Helenis-Romawi dan dalam Injil Markus
Konsep Anak Allah yang menderita sering ditemukan
dalam alkitab. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, identitas Anak Allah sering dikaitkan
dengan bangsa Israel. Allah yang telah memilih bangsa Israel, dan karenanya
secara umum bangsa Israel disebut anak Allah (Yes.1:2, 30:1). Bangsa Israel
juga menerima atau menyebut Allah sebagai Bapa. Hal ini terlihat jelas dalam
kisah Yesaya 63:16, “Bukankah engkau Bapa Kami?... Ya Tuhan engkau sendiri Bapa
Kami, namamu ialah penebus kami, sejak dahulu kala”. Pernyataan dan pembuktian
alkitabiah ini, serentak menunjukan bahwa hubungan antara Allah dan Bangsa
Israel, seperti hubungan antara anak dan Bapa. Jadi pembuktian pertama mengenai
identitas anak dalam Perjanjian Lama adalah bangsa Israel sendiri yang disebut
secara kolektif.
Di sisi lain, konsep Anak Allah dalam Perjanjian Lama,
sering diidentikan dengan Raja yang baru diurapi, yang menjadi tangan kanan
Allah, karena dipilih dan diurapi oleh Allah sendiri. Ada dua tekanan penting
dari pernyataan anak Allah dalam relasinya dengan sebutan raja, yaitu:
kapasitas seorang raja dalam menjalankan tugasnya, dan kedua status anak Allah
yang dimiliki oleh seorang raja adalah sebuah implikasi dari janji Allah kepada
Daud. Hal ini bisa dibaca dalam kisah
Samuel “aku akan menjadi Bapanya, dan ia akan menjadi anak-Ku” (2 Sam.7:14).
Raja yang diurapi disebut sebagai anak Allah karena ia memiliki tugas dan
kewajiban sebagai orang-orang bertanggung jawab atas keutuhan suatu bangsa.
Dalam Perjanjian Lama, belum bisa ditemukan secara
jelas sebutan mesias sebagai anak Allah. Singkatnya dalam Perjanjian Lama,
sebutan anak Allah disematkan pada diri Bangsa Israel, raja yang diurapi dan
juga (menurut Oscar Cullman)[3] para
malaikat Allah karena mendapat perutusan dari Allah. Ketika digunakan untuk
menyebutkan anak Allah sebagai bangsa Israel atau status Raja, maka itu adalah
status kepemilikan yang spesial. Penyebutan
malaikat sebagai Anak Allah merupakan sebuah penyebutan mitologis yang
menampilkan kodrat spiritual dari para malaikat.[4] Dalam uraian
yang dipaparkan oleh Banawiratma, gelar anak Allah juga disematkan pada
orang-orang yang dikasihi Allah[5]
(Kel.4:22, 2Sam 7:14 dan Yer 31:9,20). Pemahaman dalam Perjanjian Lama ini
merupakan representasi dari pola pemikiran bangsa Yahudi dalam memahami status hubungan
mereka dengan Allah.
Dalam tradisi Yunani dan Romawi, konsep anak Allah
merujuk pada sosok pahlawan, para filsuf, dan para pembuat mukjizat. Konsep ini
tidak terlepas dari peristiwa historis, yang menunjukan bahwa kekristenan
muncul di Imperium Romawi segera setelah kematian Yesus sekitar tahun 30-an M.
Bagian Timur kekaisaran Romawi ini, sepenuhnya dikuasai oleh budaya Yunani dan
menggunakan bahasa Yunani sebagai interaksi harian. Bahasa Yunani inilah yang
menjadi bahasa dalam penulisan Perjanjian Baru.[6] Latar belakang situasi dan konteks ini bisa
menjadi landasan untuk memahami konsep anak Allah dalam tradisi Yunani dan
Romawi.
Dalam konsep Yunani-Romawi ada tiga model yang
menggambarkan sosok ilahi dan relasinya dengan manusia. Pertama, Allah
menjadi manusia dalam waktu sementara, konsep ini berlandaskan pada mitologi
yang ditulis oleh Ovid (43SM-17M), yakni Methamophoses menggambarkan
bahwa perubahan itu membutuhkan interaksi antara dewa dan manusia dalam waktu
yang bersifat temporal atau sementara. Kisah yang mendukung gagasan ini adalah
kisah tentang pasangan miskin Filemon dan Baucis yang mendapat kunjungan dari
Jupiter dan Merkurius (Dewa dalam mitologi Yunani). Jupiter dan Merkurius
mendapat sambutan dari pasangan lansia ini dan dewa ini mengabulkan semua
keinginan lansia. Singkatnya, pasangan Filemon dan Baucis ini dianggap sebagai
dewa karena Dewa Jupiter dan Merkurius memberikan rahmat itu kepada mereka.
Ketika Filemon dan Baucis disembah sebagai dewa, bukan karena mereka sekuat
Jupiter dan Merkurius, tapi karena mereka dianggap sebagai manusia yang diangkat
ke alam ilahi.[7]
Hal ini menunjukan bahwa Allah atau yang Ilahi bisa menjadi manusia. Inilah
konsep deifikasio pertama dalam budaya Romawi-Yunani dan konsep ini memiliki
relasi dengan kisah Paulus dan Barnabas di Listria (Kis. 14:11) yang memanggil
Paulus sebagai Hermes dan Barnabas sebagai Zeus.
Pandangan kedua ialah sosok Ilahi lahir dari manusia
yang fana, konsep ini melekat dengan kisah Zeus yang datang kedunia dan
melakukan hubungan dengan manusia, sehingga anak yang dilahirkan sering
dinamakan sebagai anak dewa. Alexander Agung (356-323 SM) sering diidentikan
dengan seorang putra Dewa berkat perkawinan Olympias (manusia) dan Zeus
representasi Dewa), atau kisah Jupiter yang jatuh cinta dengan istri Amphytrion,
Alcmena yang melahirkan Hercules.[8] Mitos ini
mau menunjukan bahwa sosok yang ilahi dapat lahir dari sosok seorang wanita
fana. Model ketiga pemahaman manusia ilahi dalam lingkaran Yunani-Romawi
ialah manusia yang menjadi Ilahi. Hal ini bisa ditemukan dalam kisah Romulus,
Kaisar Julius, Kaisar Agustinus.[9] Dari sini
tampak bahwa pemahaman sosok Ilahi atau Allah dalam budaya Yunani-Romawi sering
dikaitkan dengan tindakan Dewa mengunjungi manusia.
Dalam Perjanjian Baru, konsep religius Yahudi, Yunani
dan Romawi dikaji dengan cara yang baru. Perjanjian Baru secara gamblang
menunjukan bahwa sosok Anak Allah adalah sosok Yesus. Injil-injil sinoptik
menampakan Yesus sebagai Anak Allah. Yesus sendiri selama hidupnya, menyebut
Allah sebagai Abba, Bapa. Yesus sering berbicara tentang dirinya sebagai Anak
(Mrk 1:32, Luk. 10:22, Mat 11:27). Identitas ini manu menunjukan hubungan Yesus
dengan Bapa. Gagasan Yesus sebagai Anak kepada Allah yang adalah Bapa adalah
usaha yang diangkat oleh pata penulis Perjanjian Baru untuk menjelaskan makna
salib Yesus. Injil Markus secara jelas menggambarkan Yesus sebagai Kristus dan
Anak Allah. Anak Allah muncul tujuh kali dalam injil dan berada pada
bagian-bagian kunci injil, misalnya pada bagian awal injil (1.1), digunakan
oleh roh jahat (3.11 dan 5.7) yang mengenal Yesus sebagai anak Allah. Di
hadapan otoritas Yahudi, imam besar (14:61), dan juga di ayat 15:39)
menggambarkan status anak Allah dalam Markus. Pernyataan Allah sendiri mengenai
identitas Yesus sebagai anak Allah juga adalah dalam peristiwa pembaptisan
(1:11). Dan juga dalam peristiwa transfigurasi pernyataan Anak Allah yang
dikasihi diulang kembali[10]
Pernyataan ini menggambarkan bahwa status Anak Allah sudah ada dalam teks
Markus dan dinyatakan oleh Allah sendiri, Roh Jahat, dan juga oleh manusia
sendiri. Ini menunjukan bahwa Yesus memiliki kuasa yang melampaui segalanya. Penginjil
Markus menggunakan gelar Anak Allah dari Yesus dalam hubungan dengan
ketaatan-Nya kepada Allah. Perumpamaan tentang anak penggarap Kebun Anggur
menggambarkan bahwa Yesus adalah putera yang diutus Allah. Walaupun diutus oleh
Allah ia tetap dibunuh,dan dalam kuasa-Nya Yesus tetapa taat. Markus mau
menampilkan Yesus yang taat bahkan hingga mati di salib.
Peran Roh Kudus Menyingkapi Identitas Anak Allah
Peran Roh Kudus meliputi seluruh karya Allah, baik
penciptaan, penyelamatan manusia dan juga tindakan membarui seluruh ciptaan.
Roh Kudus menggerakan hidup para Murid yang takut menjadi pwarta yang berani.
Kisah Roh Kudus turun atas para Rasul menjadi teks yang menunjukan bahwa Roh
Kudus berperan dalam karya Para Rasul. Dalam Perjanjian
Baru Yesus ditampilkan sebagai pribadi yang memiliki kepenuhan Roh Kudus yang
turun atas-Nya dalam peristiwa pembaptisan (Mrk 1:10). Peristiwa ini merupakan
tanda kekuasaan perutusan-Nya. Yesus di bawah oleh Roh (Mat 4:1) dan berkarya
dalam Kuasa Roh (Luk 1:14.18).[11] Dalam
Lukas Roh Kudus menuntun dan membimbing orang-orang percaya
yang mengalami krisis dan ketidakpastian hidup dengan menyatakan hadirnya
Kerajaan Allah di dunia. Roh menggerakkan Simeon untuk pergi ke Bait Allah dan berjumpa
dengan bayi Yesus (2:25-27). Secara
implisit peran Roh Kudus tidak bisa dipisahkan dengan peran Yesus. Allah Bapa,
Allah Putera dan Allah Roh Kudus adalah pribadi yang memiliki ikatan yang tak
terpisahkan dan selalu dalam kesatuan menjalankan karya perutusan di dunia. Roh
Kudus memampukan umat manusia untuk menerima Allah yang hadir dalam pribadi
Anak.
Peritiwa salib
Peristiwa salib adalah tindakan Allah yang mau berbela
rasa dengan manusia. Dalam perspektif Yunani, salib adalah kebodohan dan dalam
tradisi Yahudi salib adalah kutukan. Salib merupakan hukuman yang dipakai oleh
orang-orang Romawi untuk menghukum siapa saja yang melakukan kejahatan atau
melawan Raja.[12]
Markus memberikan dua argumen yang mau menunjukan bahwa peristiwa salib atau
penderitaan memiliki nilai-nilai yang penting. Dua alasan yang menempatkan
bahwa penderitaan melekat dengan perutusan seorang Anak Allah : 1) Yesus
sendiri mengatakan tentang penderitaan dan kematian yang akan dialami-Nya.
Kata-kata Yesus mengafirmasi peristiwa yang akan terjadi dengan diri-Nya. 2)
Penderitaan sebagai bagian inti dari ketaatan Yesus kepada Allah. Dua gambaran
ini menunjukan bahwa Yesus mau masuk dalam kehidupan manusia dan mengalami
semua peristiwa hidup manusia. Dengan mati di Salib Ia mau menggambarkan bahwa
hidupnya diwarnai dengan sikap taat.
Sosok Yesus yang mau menderita, salib dan mati serta
hidup bersama manusia menjadi gambaran dasar kristologi dari bawah. Yesus tidak
tampak dalam kejayaan, tetapi dalam salib, salib bukanlah momen untuk
mengakhiri hidup-Nya tetapi sebagai awal kehidupan bermula dari Salib.
Kebangkitan menjelaskan bahwa kematian Yesus bukanlan kegagalan dan
kesia-siaan, tetapi sebagai jalan untuk meneggarai bahwa hidup adalah sutu
perutusan yang integral dengan kematian dan kebangkitan. Markus menggambarkan
kristolgi dari bawah ini dalam karya dan pelayanan Yesus hingga peristiwa Salib
sebagai penjelasan dua kriteria di atas. Sebagaiaman markus adalah penginjil
yang mau menunjukan konsekuensi ketaatan Yesus kepada Bapa. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa peristiwa salib adalah suatu rangakian rencana keselamatan
Allah bagi manusia melalui Yesus dalam ketaatan-Nya bersama Roh Kudus.
Kesimpulan
Salib dan Anak Allah adalah dua term yang tidak bisa
dipisahkan. Karya keselamatan dari Allah bagi manusia terlaksana lewat kematian
Yesus di salib, yang bermuara pada peristiwa kebangkitan. Markus secara jelas
memggambarkan bahwa ketaatan Yesus hingga menderita di salib sebagai anak Allah
adalah konsekuensi dari ketaat-Nya pada Bapa. Yesus yang taat dan mau
melaksankan kehendak Bapa-Nya bahkan hingga wafat, dengan sendirinya mengangkat
dan menjadikannya sebagai anak Allah. Dari sini disimpulkan bahwa gelar Anak
Allah dalam perspektif Markus selalu dilihat dalam terang ketaatan Yesus.
Akhirnya, logika sederhana konsep Markus dalam pemahaman saya adalah demikian,
Yesus adalah anak Allah karena Dia taat pada Bapa-Nya dan kematian-Nya di salib
adalah suatu bentuk ketaatan seorang Anak pada Bapa. Perkara yang dipaparkan
oleh Somad dan Rizieq bisa dibaca dalam terang atau perspektif Markus ini. Salib
akhirnya bukan sebuah kebodohan, melainkan suatu konsekuensi ketaatan dan jalan
menuju keselamatan.
[1] CNN
Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190819143928-12-422696/abdul-somad-dilaporkan-ke-polisi-terkait-ceramah-soal-salib diakses
pada 05 Desember 2021
[2] BBC
Indonesia https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38435195 diakses
pada 05 Desember 2021
[3] Oscar
Cullman, The Christology of the New Testament, (Philadelphia USA: The
Westminster, 1963), 272
[4] Eko Riyadi,
Yesus Kristus Tuhan Kita, (Yogyakarta: Kanisius, 2011),130
[5] J.B.
Banawirtma, (ed) Kristologi dan Allah Tritunggal, (Yogyakarta: Kanisius, 1986),
29.
[6] Barth D
Ehrman, How Jesus Became God, the exaltation of a jewish preacher from
Galilee (USA, HarperOne) 19
[7] Barth D
Ehrman, How Jesus Became God, the exaltation of a jewish preacher from
Galilee, 21
[8] Barth D
Ehrman, How Jesus Became God, the exaltation of a jewish preacher from
Galilee, 23
[9] Barth D Ehrman,
How Jesus Became God, the exaltation of a jewish preacher from Galilee, 24-27
[10] Eko Riyadi,
Yesus Kristus Tuhan Kita, (Yogyakarta: Kanisius, 2011),137-138
[11] Herbert
Vorgrimler, Trinitas Bapa, Firman, Roh Kudus, (Yogyakarta:
Kanisius, 2005), 56
[12] Eko Riyadi,
Markus, Engkau adalah Mesias, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 232