Rabu, 22 September 2021

Manusia dan Kerumitannya, Dari Hoax sampai Identitas Palsu


Seorang filsuf Amerika kelahiran Polandia Abraham J. Heschel dalam bukunya Who is Man menuliskan demikian, ‘salah satu tragedi yang menguncang manusia modern adalah maraknya fakta kegagalan manusia dalam menemukan identitas asalinya atau tersesat pada identitas palsu. Kegagalan ini bukan karena kurangnya pengetahuan tetapi justru karena pengetahuan yang salah dan kebanjiran pengetahuan’.[i] Penelitian Heschel menunjukan terjadinya penyusutan atas posibilitas manusia. Hal ini disebabkan oleh berkembangnya teknologi dan banyaknya pengetahuan yang tidak diimbangi dengan kemampuan filterisasi. Hoax dan merebaknya berbagai kedangkalan penafsiran atas kabar bohong tersebut adalah ciri atau fenomena tuna-filtersasi – pribadi manusia tidak mampu menyaring –  dengan baik setiap kabar yang masuk ke dalam kehidupan.

Ben Agger, sepakat dengan Heschel menunjukan pengaruh besar dari kemajuan teknologi informasi dan hiburan dan pengetahuan terhadap pemahaman identitas masyarakat modern.[ii] Agger melihat ada dua sisi pengaruh dari teknologi bagi manusia, ‘dia menjebak sekalipun membebaskan manusia’ (to entrap or to emancipate people). Hal ini senada dengan pernyataan Heschel yang menunjukan manusia di era abad 21 terjebak pada identitas palsu. Saya mereka-reka bagaimana menjadi manusia yang utuh ditengah polemik dan situasi keterserakan yang tergesa demikian. Padahal sejatinya kemajuan dan perkembangan teknologi dan pengetahuan seharusnya berdampak pada hal-hal baik. Teknologi yang menjadi buah dari perkembangan zaman modern, dengan pengaggungan atas rasio kini telah mencedrai rasio itu sendiri. Cogito ergo sum bermatmorfosis menjadi cogito blesse.

Kita sepakat bahwa manusia adalah makhluk yang senantiasa menginginkan adanya kecepatan dalam hidup. Hal ini menjadi lumrah di era saat ini. Munculnya perusahan serba cepat seperti federal express, kall kwik, speedo hingga layanan makanan  serba cepat seperi cepat saji, fast food telah membentuk pola pikir manusia. Pola pikir ini kemudian membentuk pola kebisaan dan menjadi tradisi yang melekat dalam hidup manusia. Padahal, kalau mau jujur, kecepatan atau ketergesaan adalah suatu bahaya. Bahayanya dari serba cepat adalah ketidakmendalaman dalam memaknai kehidupan. Bahaya dari kecepatan yang tidak terkontrol adalah kecelakaan. Fenomena serba cepat, tidak pernah terlepas dari perkembangan teknologi, - buah modernitas.

Robert Holden seorang pakar psikolog menulis bahwa dalam masyrakat serba tergesa atau serba cepat, manusia melaju dengan cepat dan sangat kencang yang berakibat meninggalkan diri sendiri di belakang. Meninggalkan segala sesuatu yang berharga dan bahkan meninggalkan kebenaran itu sendiri. Kecepatan memberikan depresi dan gangguan pada kesehatan mental dalam kehidupan manusia. Kesehatan mental dipicu pada bermunculan hal yang buruk dalam pola kehidupan manusia. Hal ini ada dalam dua indikasi yakni pada gejala anomie dan gejala alienasi.

Pada gejala anomie kita menemukan pribadi yang terpecah-pecah, pribadi yang hidup tanpa makna, tanpa tujuan dan jatuh dalam rutinitas belaka yang tidak bermakna. Sedangkan dalam diri orang yang mengalami alienasi, ia merasa kesepian, tersingkirkan, dan tidak berguna.[iii] Kedua gejala ini muncul dalam kehidupan manusia dewasa ini dan menjadi ujian bagi bertumbuhnya manusia-manusia atau pribadi yang utuh. Ada disorietasi dan ambiguitas dalam menemukan diri.

Melihati situasi ini saya memahami bahwa manusia adalah makhluk yang selalu berkembang dan bertumbuh seiring perkembangan dirinya dan lingkungannya. Pertumbuhan ini terjadi baik dalam dimensi fisik, dimensi psikis dan juga intelektual dan spiritual. Perkembangan bisa terjadi secara baik, apabila ada kesediaan untuk memberikan ruang untuk berkembang dan belajar untuk mengalami suatu proses pendewasaan dalam hidup. Pendewasaan akan terjadi, jika dalam proses ini ada kemampuan elaboratif dan adaptif atas setiap perkembangan zaman.

Dalam kacamata Abraham Maslow, manusia bukan hanya sepotong materi yang berkembang cukup tinggi dan juga bukan roh yang ditugaskan untuk membebaskan diri dari penjara tubuh.[iv] Gagasan ini merupakan sebuah kritik atas pemikiran Plato yang menyebut tubuh sebagai penjara jiwa. Abraham Maslow melihat manusia dari sisi kebutuhan. Manusia senantiasa membutuhkan makan untuk bisa bertahan hidup, membutuhkan sesama manusia untuk bisa berdinamika dan berinteraksi dalam hidup sosial, dan juga membutuhkan sumbangan dan nutrisi intelektual agar bisa mencapai kesadaran kemanusian yang utuh. Namun sayangnya, seperti saya uraikan di awal kebutuhan-kebutuhan ini kadang membentuk budaya lapar akan pengetahuan dan menginginkan yang serba cepat. Setiap orang butuh yang cepat, –  mau makanan cepat saji, berita yang cepat, mengerjakan tugas dengan cepat –  yang sebenarnya juga terjebak pada ketidakutuhan dan ketidakbenaran.

Memang tidak bisa dielakan lagi bahwa kini dengan adanya perkembangan IPTEK, masyrakat masuk dalam suatu budaya baru, yakni budaya serba cepat (fast society). James Gleick seorang psikolog menulis bahwa manusia saat ini sedang berada dalam pola bisnis, teknologi, transportasi dan gaya hidup serba cepat.[v] Sayangnya kecepatan tidak memberikan jaminan bagi kesejahteraan kehidupan manusia itu sendiri. Kecepatan atau ketergesaan malah memberikan ruang bagi manusia untuk tidak bisa mendalami esensi kehidupan itu sendiri. Dalam masyrakat serba cepat, pahlawan kita adalah orang-rang yang membuat segala sesuatu berlangsung lebih cepat. Dan persis disinilah makna diri yang utuh kehilangan esensialnya.

Untuk mendamaikan situasi di atas atau membentuk manusia utuh – tujuan kita belajar filsafat manusia – maka dibutuhkan suatu kemampuan untuk memahami kehidupan dengan baik dan bebas bertanggung jawab. Orang yang bebas adalah orang yang tidak terikat dan menyadari pola relasi dan juga pola hidupnya. CB Mulyatno mengafirmasi hal ini dengan menekankan bahwa kualitas diri dan kemandirian sesorang sejajar dengan kualitas relasinya dengan yang lain.[vi] Apabila seorang hanya membeo atau dalam bahasanya Robert Holden terjebak dalam dunia serba cepat, integritas dan keutuhan dirinya akan semakin berkurang.

Filsafat manusia disini mutlak dibutuhkan untuk bisa menegosisai keadaan demikian – keadaan masyrakat yang dikejar oleh kecepatan dan banjirnya tawaran pengetahuan – agar bisa membentuk pribadi filosfis. Filsafat manusia memberikan wawasan dan orientasi agar memampukan setiap pribadi bergerak maju dan mendalam di dunia yang terus berubah. Kedalaman dan kematangan dalam menangani persoalan kehilangan identitas di tengah maraknya masyrakat serba cepat dapat membentuk pribadi manusia yang integral. Seperti kata Pierre Teilhard de Chardin, seluruh kehidupan manusia terletak dalam kata kerja ‘melihat’ bukan hanya dengan mata tetapi juga dengan pikiran dan hati. Kecakapan dalam melihat melahirkan pribadi adaptif yang utuh dan matang serta bebas dan bertanggung jawab.



[i] Abraham J heschel, Who is Man,(California, Standford University Press: 1965), hal 5-6. 

[ii] Ben Agger, The Virtual self, a contemporary sociologi, (USA, Blackwell Publishing: 2004), hal 156.

[iii] Hendro Setiiawan, Manusia Utuh, (Yogyakarta, Kanisius: 2014), hal 16.

[iv] Hendro Setiiawan, Manusia Utuh, hal 8.

[v] Robert Holden Ph.D.  Success intelligence terjeh. Yuliani Liputo (Bandung, Mizan: 2007), hal 28.

[vi] CB Mulyatno, Menguak Misteri Manusia (Yogyakarta, Kanisius: 2009), hal 16.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar