Jumat, 26 Juni 2020

BERDAMAI DENGAN CORONA ALA SISIFUS DAN AYUB

Ketika merenungkan pandemi Covid-19, saya teringat akan sebuah mite yang sangat familiar karya Albert Camus; Mite Sisifus. Mitos tersebut mengisahkan tentang seorang tokoh bernama Sisifus, yang mendapat siksaan dari para dewa. Siksaan disebabkan karena ia bekerja sama dengan Jupiter untuk menculik puteri Asop bernama Ejin. Dinarasikan juga, Sisifus adalah seorang yang paling bijaksana dan waspada, tetapi cendrung menjadi perampok. Ada banyak kontradiksi mengenai kepribadian Sisifus, tetapi di sini saya tidak ingin mempersoalkan hal tersebut, fokus saya adalah pada penderitaan yang dihadapinya dan responnya atas penderitaan. Ia mendapat hukuman dilemparkan ke neraka. Sisifus disiksa oleh para dewa dengan cara yang sangat mengerikan. Ia harus menggulingkan sebuah batu besar ke atas sebuah lereng gunung. Ia mengangkat batu raksasa tersebut, menggelindingkan dan mendorongnya sampai di lereng berulang-ulang tanpa berhenti. Ketika batu sudah digulingkannya dengan susah payah ke atas lereng, batu tersebut jatuh lagi ke bawah, dan seterusnya terjadi demikian (Albert Camus. Mite Sisifus, Suatu Penalaran Absurd, 155-156). Kisah ini mengaktifkan imajinasi saya, bahwa betapa penderitaan yang dialami oleh Sisifus ini tidak akan pernah berakhir. Ia berjuang menggulingkan batu raksasa ke atas, dan dengan sendirinya batu itu kembali lagi tergguling ke lembah.

Sisfus tampaknya terbiasa dengan penderitaan, saya mereka-reka mungkin dia juga paham filsafat stoa. Dia menerima penderitaan sebagai musibah akibat kesalahannya sendiri (personalization), (bdk. Filosofi Teras, hal. 201), tetapi dia memiliki kemampuan untuk melampui opininya itu dengan menerima penderitaan secara lapang dada. Dalam filsafat stoa, respon atas penderitaan menjadi kunci untuk menentukan keadaan diri kita selanjutnya. Pandemi covid-19 bisa menjadi ladang untuk melatih diri untuk merespon penderitaan (rasanya agak berlebihan). Menerima penderitaan akan menjadikan diri semakin tangguh, membentuk rasa percaya diri, dan menjadi pribadi yang menolak kenikmatan semata (FT. 207). Latihah untuk menerima penderitaan juga menjadi bagian dari usaha untuk memikirkan skenario-skenario buruk yang mungkin akan terjadi. Kekuatan filsafat stoa ada pada kemampuan untuk menerima penderitaan seperti Sisifus dalam mitenya Albert Camus.

Dalam konteks pandemi covid-19, saya merenungkan bahwa kita mesti terus berjuang seperti Sisifus yang menggangap ‘dirinya lebih kuat daripada batunya’. Sisifus tidak pernah menyerah dengan perjuangannya untuk menggulingkan batu ke puncak. Usahanya ini memang menuai hasil yang nihil, namun dalam proses mengangkat batu ke puncak, telurlah sebuah kesadaran yang sangat hakiki dan mendalam, bahwa penderitaannya tidak akan pernah berakhir dan hal yang perlu dilakukan hanyalah berusaha untuk berdamai dengan penderitaannya, menerima semuanya dengan lapang dada, mengafirmasi pengalaman kegetirannya sebagai bagian dari hidupnya sendiri sambil terus berjuang. ‘Penderitaan dan kebahagian adalah dua putra dari satu bumi’ demikian kata Camus dalam mitos tersebut. Keduanya tak terpisahkan. Bagi saya disinilah titik temu antara mite tersebut dengan pandemi Covid-19; berdamai dengan penderitaan; berdamai dengan makhluk renik, bernama corona. Berdamai dengan corona dalam permenungan saya bukan berarti menyerahkan diri untuk diserang dan dijangkit oleh virus. Berdamai dengan corona berarti berjuang untuk mulai menerima sebuah gaya hidup normal baru (new normal life) di tengah wabah seperti Sisifus di tengah penderitaannya. Kalau manusia terbiasa untuk menerima kebaikan, lalu mengapa harus menolak penderitaan. Berada dalam kesusahan (penderitaan) bisa membuat kita kembali bersyukur atas apa yang telah kita miliki dalam sejarah perjalanan hidup kita.

Menerima penderitaan (wabah corona) sebagai bagian dari hidup, atau pun sebagai sebuah pola hidup baru adalah hal yang memang cukup sulit untuk diterima dalam keseharian hidup manusia. Rutinitas keseharian yang biasanya selalu dalam relasi sosial sebaga makhluk sosial, perlahan geser oleh kecemasan dan sikap mawas diri. Kebutuhan psikologis untuk membangun intimitas dibatasi oleh sebuah wabah. Setiap pribadi selalu merasa was-wasan berinteraksi dengan liyan. Ada ketakutan untuk berelasi secara terbuka di ruang publik, dengan motif untuk mengurangi penyebaran dan penularan makhluk renik ini.

Ketidakjelasan kapan berakhirnya wabah ini juga membuat kita mesti berjuang untuk berdamai dengan covid-19, dan resolusi pasca wabah. Membiasakan diri untuk menerima wabah menjadi hal penting saat ini. Ayub dalam kisah Kitab Suci, bisa juga digambarkan sebagai tokoh yang mampu menerima penderitaan. Seperti Sisifus yang awalnya meronta-ronta dan menolak penderitaan, Ayub juga demikian. Ayub menolak untuk mengutuk Allah, dan bahkan ia menerima semua penderitaanya dengan suatu sikap penyerahan diri yang total. Ia memiliki keyakinan bahwa tulah yang menimpanya akan segera berakhir. Adalah sebuah kebohongan jika harus memberontak, jika pemberontakan itu tidak menemukan hasil. Kisah Ayub dalam Kitab Suci dan mitos Sisisfus, bagi saya bisa mewakili bentuk pemberontakan dengan mendiamkan penderitaan itu sendiri, menerimanya dengan lapang dan mengakuinya sebagai bagian dari hidup.

Di tengah wabah saat ini, kita diajak untuk belajar dari Sisifus dan Ayub, khususnya dalam kaitannya sikap penerimaan akan penderitaan. Menyadari penderitaan sebagai hal yang tak terpisahkan dari hidup seperti Sisifus dan melapangkannya dalam doa yang khusuk dan berkanjang seperti Ayub pada saat mendapat tulah. Doa bisa menjadi sekolah harapan, tempat untuk belajar berpengharapan. Di saat tidak ada seorang pun yang bisa membantu dan menolong, dalam keadaan yang mencekam, berserah diri pada Tuhan menjadi solusi baik ketimbang menyalahkan diri sendiri (Paus Benediktus XVI, Ensiklik Spe Salvi, art. 32). Doa bisa menjadi latihan kerinduan untuk bisa berdiri teguh dan kokoh menghadapi pandemi.

Di akhir permenungan tentang covid-19 ini, saya ingin menegaskan kembali bahwa poin pentingnya ialah bagaimana berdamai dengan penderitaan dan selalu ada dalam keadaan berpengharapan. Berdamai dan berpengharapan adalah dua hal yang mesti digaungkan dalam diri di tengah merebaknya wabah ini. Corona memberikan spasi baru bagi kita untuk bermenung tentang penderitaan dan membangun kesadaran.

Kesadaran akan realitas kelemahan dalam diri membuat kita selalu mencari sosok lain. Akhirnya, gejolak yang mestinya ada saat ini ialah menjadi sandaran bagi sesama dengan peduli dan bertanggungjawab. Kepudilan diartikan dengan ketaatan pada anjuran pemerintah untuk menjaga jarak, menerapkan pola hidup bersih dan bersolider dan juga lebih care lagi dengan ibunda bumi. Menerima penderitaan ala sisifus dan Ayub berarti berdamai dengan penderitaan, diri sendiri, sesama, alam dan Tuhan.

 

Yogyakarta, 26 Juni 2020

Fransiskus Sardi



Kamis, 25 Juni 2020

Olah(raga,spiritual,intelektual) rasa

Kau selalu mengabaikan surat-suratmu, ibu ku bilang seorang yang mengirimi Anda surat, menghabiskan banyak waktu untuk memikir dan menuliskannya.

Remahers…!

Dalam rangka mengisi waktu liburan, komunitas, tempat saya belajar dan mengasah pengetahuan, menawarkan juga memberikan kami kesempatan untuk meningkatkan keterampilan dalam diri; mengasah talenta, demikian pernyataan Superior. Ada beberapa kegiatan menarik yang tentunya juga memicu nan memacu imajinasi dan kreatifitas kami. Imajinasi itulah yang memampukan kami untuk berkreasi. Kata rekan komunitas saya, hanya dalam situasi tanpa tekanan seseorang bisa berimajinasi. Imajinasi bukan sebuah khayalan mati belaka, imajinasi selalu memiliki daya, karena imajinasi, setiap orang  mampu berkreasi. Alhasil dalam keadaan yang bebas dan tanpa tekanan, dan juga dalam rangka mengisi waktu senggang dari pada bengong gara-gara batal pulang kampung, batal karena covid-19, telurlah imajinasi, mengeram karya, membuahkan action.

Kami semua mengikuti dinamika bersama dalam komunitas. Ada beberapa kegiatan yang kami lakukan, perlu diingat, bahwa semua kegiatan merupakan hasil imajinasi bersama komunitas. Sebagai sebuah komunitas formasi, tentunya semua kegiatan yang ditawarkan adalah kegiatan-kegiatan yang beraroma dan berefek formasi; pembentukan formandi yang berbau kebaikan. Harapannya, kelak aroma bisa disebarluaskan keluar dari rumah, tembok, hingga periferi.  Adapun beberapa kegiatan yang dilaksanakan antara lain; bermain bola futsal, takraw, volly, karambol, dan ada beberapa kegiatan lainya. Kegiatan-kegiatan inilah yang dinamakan olahraga, olahbadan, agar tubuh tetap sehat dan bugar di tengah pademi yang tidak kita ketahui secara pasti kapan berakhirnya. Daripada sibuk memikirkannya, lebih baik berolahraga. Berdinamika dalam sebuah angan dan harapan jauh lebih berharga ketimbang berprotes dalam senyap dan lara. Biarkan saja, mari kita lanjut berkisah.

  Selain olahraga ada juga olahspiritual, hhh. Olah spiritual ini dijalankan dengan bebarapa hal. Mulai dari doa hingga kegiatan rohani lainnya. Ada beberapa input spesial edisi liburan yang diberiakan oleh para pembina kami. Mereka, bagi saya, adalah orang-orang hebat, punya wawasan pengetahuan yang luar biasa dalam hal pengolahan spiritual. Saya pribadi melihat kelihaian mereka mengantar saya untuk memahami banyak hal, bukan karena kehebatan saya, melainkan karena saya berada di atas pundak mereka; meminjam sebuah pepatah klasik “semut di pundak raksasa”. Olahspiritual diejahwantahakan melalui kegiatan-kegiatan-kegiatan rohani dan input-input tentang sejarah perjalanan spiritual.  Kami hebat karena kami selalu bersama-sama dalam memutuskan dan melaksanakan semua kegiatan komunitas, hhh…

Pandemi Covid-19 yang mengharuskan untuk terus berada di rumah memaksa kami untuk mengadakan banyak hal. Di sela-sela olahraga dan olahspiritual, kami juga adakan olah intelektual; mengasah daya intelektual melalui berbagai kegiatan akademis.  Sebagai realisasi dari asah spiritual, kami langsung mempraktekan lomba memasak. Memasak itu bukan hal yang muda, membutuhkan kemampuan dan wawasan pengetahuan yang luas. Sebagai komunitas yang hampir semuanya berlatarbelakang budaya patriakal, adalah sebuah keganjalan untuk ‘masuk’ dapur dan bekerja mengurus semua keperluan masak. Dapur itu bagi saya, hanya wilayah kekuasaan seorang ibu. Dapur menyiratkan wajah perempuan. But, sebenarnya itu adalah konsep kuno yang masih melekat dalam pikiran saya, mungkin juga beberapa dari kalian. Dapur ternyata bukan semata tempat meracik masakan, melainkan juga ruang tempat perempuan bisa kehilangan otonomi dirinya, yaitu ketika perempuan dianggap perlu mengasah feminitasnya lewat dapur atau diukur nilainya berdasarkan kepandaian memasak.  Penggunaan istilah penguasa dapur atau ratu dapur membuat seolah dapur sebuah teritorial istimewa yang mampu mengangkat martabat siapapun yang menguasainya. Ini menyamar fungsi dapur sebagai tempat pembinaan perempuan agar menjadi sesuai keinginan masyarakat patriakal. Sejatinya dapur adalah gudang rasa yang dikemas dalam masakan, dari cinta hingga pengorbanan, dari letih hingga lusuh, lelah dan kasih berpadu. Oleh karenanya, lomba masak kami hari ini, sebenarnya wadah untuk merealisasikan cinta, mengasah intelektual, mengasa rasa dan bagaimana rasa bisa dinikmati bersama. Memasak bukan semata olah kemampuan intelektual, tetapi juga olahraga, olahspiritual dan juga paling penting adalah olah rasa.






Yogyakarta, 24 Juni 2020

Fransiskus Sardi


Senin, 22 Juni 2020

Sang Revolusioner

Hari ini; hari yang istimewa bagi orang nomor satu di negeri kita tercinta, Indonesia. Bapak Presiden Jokowi merayakan ulang tahunnya yang ke-59 tahun. Rasa-rasanya ini adalah momen yang membahagiakan dan juga menantang; merayakan ulang tahun di tengah pandemic korona; bagi seorang pemimpin negara yang harus menjadi teladan dalam berjaga jarak (gimana mau ngerayain hhh...). Dari media-media komunikasi baik online maupun cetak, saya menemukan rangkaian ucapan, harapan, dan doa yang dilantunkan warganya melalui media sosial. Beberapa pemimpin negara lain juga menyempatkan coretan doanya dalam akun medsosnya untuk sang Pemimpin, Sang Revolusioner (personally).

Barangkali Remahers mengetahui persis tanggal dan tahun kelahirannya. Saya hanya ingin memuat kembali narasi ini berdasarkan hasil pembacaan saya atas sebuah buku yang ditulis oleh Edi Elison, Bung Karno dan Jokowi Pemimpin Kembar Beda Zaman, tentunya ada beberapa perubahan dan logika Bahasa yang saya renarasikan di sini. Jokowi lahir pada tanggal 21 Juni 1961, mirip dengan tahun kelahiran ayah kandung saya (bedanya adalah seorang Jokowi menahkodai keluarganya dan jutaan warga masyarakat, sedangkan yang satunya; my father, menjadi pejuang bagi keluarga kami. Jika kita mengenal baik Presiden Soekarno, tentu kita akan tahu beberapa kesamaan antara kedua tokoh ini.  Tanggal dan bulan kematian Presiden pertama kita, Sang Proklamator kemerdekaan Ir. Soekarno merupakan tanggal kelahiran Presiden Ir. Joko Widodo.

 Saya ingin mengisahkan beberapa hal yang menarik dari mereka yang lahir pada bulan Mei dan Juni. Sebenarnya ada beberapa hal menarik bagi mereka yang lahir berkisar antara bulan ini. Tanggal kelahiran mereka biasanya jatuh pada zodiak Gemini. Berdasarkan ilmu astrologi zodiak Gemini dilambangkan oleh dua orang kembar Castor and Pollux, zodiak ini berasal dari konstelasi Gemini 21 Mei – 21 Juni yang mengandung elemen angin, kualitasnya berubah-ubah dan berdomisili di Merkurius – lambang kecerdasan. Geminian punya hobi membaca dan melakukan perjalanan ke mana saja. Kelahiran 1 – 10 Juni masuk dalam dekan kedua yang dikuasai Merkurius dan Mars, orang-orang dalam lingkup ini terindikasi lebih aktif dan dinamis daripada Gemini dekan pertama 22 – 31 Mei.  Presiden kita saat ini, Joko Widodo berzodiak Gemini, ia masuk Gemini dekan 3 yang dipengaruhi kombinasi Merkurius dan Matahari. Golongan ini termasuk pemilik kecerdasan yang tinggi, dapat beradaptasi dengan sempurna selalu ingin tahu, punya semangat seperti bintang, dan mudah bersosialisasi (Elison, 2018).

Ibu Jokowi bernama Hj. Sudjiatmi, ayahnya bernama Noto Mihardjo, awalnya Joko Widodo diberi nama Moeljono. Ketika Jokowi dilahirkan ibunya baru berusia 18 tahun dan Ayahnya belum mendapatkan pekerjaan yang tetap. Joko Widodo disekolahkan di Sekolah Dasar Negeri 112 Tirtoyoso, dan lanjut ke Sekolah Menengah Pertama Negeri di Surakarta.  Selepas dari bangku sekolah menengah pertama, ia melanjutkan studinya di Sekolah Menengah Atas Negeri 6 Surakarta. Selepas SMA, sebagaimana keinginan anak-anak zaman itu untuk melanjutkan studinya di sebuah universitas, Jokowi selanjutnya melanjutkan studinya di Fakultas Kehutanan Jurusan Perkayuan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Setelah menikah dengan Ibu Iriana Jokowi dikarunia 3 orang anak: Gibran Rakabuming Raka, Kahiyang Ayu, dan Kaesang Pangarep. (masih banyak hal yang belum dikisahkan tentang Jokowi. Seorang pemimpin Negera memiliki jutaan kisah, dan saya yakin narasi ini tidak bisa menceritakan semua tentangnya).

Sebagaimana saya narasikan sebelumya di atas bahwasanya Jokowi dan Soekarno memiliki beberapa kemiripan. Soekarno lahir di sebuah rumah di gedung Paneleh, Surabaya tanggal 6 Juni 1901. Ibunya Ida Ayu Nyoman Rai, seorang bangsawan Bali dari kasta Brahmana. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosotrodihahardjo. Soekarno lahir di bantu oleh seorang dukun kampung bernama Mbah Darmo. Dia lahir kala fajar menyingsing. Orang tuanya memberi nama bayi itu Koesno, karena sering sakit maka namanya diganti menjadi Karno. Kalimat terakhir inilah yang memiliki kemiripan peristiwa dengan Jokowi. Moeljono – Koesno = Jokowi – Soekarno. Tinggi Soekarno 172 CM dan Jokowi lebih tinggi 3 CM (175 CM) diatas Bung Karno.

Cendekiawan cerdik Ikrar Nusa Bhakti pada Kata Pengantar buku Jokowi yang ditulis Jeffry Geovanie, menulis “Jokowi memang bukan keturunan biologis Soekarno, tapi ia bisa dikatakan anak ideologis Soekarno yang mencita-citakan bangsa ini berdiri tegak sejajar dengan bangsa-bangsa Barat dan Bangsa Asia yang telah maju lebih dulu”. Ideologi dan cita-cita kedua tokoh ini terekam dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Salah satu contoh kesamaan ide mereka (ada banyak hal yang mirip) adalah pandangan mereka tentang perempuan atau ibu. Bagi mereka, ibu adalah figur paling menentukan dalam hidup. Bukan hanya karena ucapan atau nasihatnya, tetapi juga karena keteladanan sikap dan perbuatan keseharian sang ibu. Pada Peringatan hari ibu 22 Desember, Soekarno pernah mengutip pernyataan seorang pemimpin perempuan Henriete Roland Holst Van der Schalk, ‘perempuan itu seperti seekor keledai yang menarik dua kereta, bebannya ada dua bukan satu:  beban masyarakat dan beban rumah tangga.  Perempuan tidak bisa menjadi manusia masyarakat saja, perempuan adalah manusia rumah tangga, ia juga manusia ibu, dan merupakan manusia istri’ (Pidato Hari Ibu 22 Desember 1960). Artinya peran perempuan sangat berarti dalam seluruh perjalanan hidup. Keprihatinan bung Karno terhadap kaum perempuan tampak dalam ajaran trilogi, yang mana perempuan tidak hanya berfungsi sebagai kanca wingking (teman di belakang) kaum lelaki, bung Karno menurunkan ajaran trilogi yaitu nationalegeest, (semangat kebangsaan), nationale-wil (kemauan nasional) dan nationale-dad (amal perbuatan nasional).

            Akhirnya, Jokowi dan Soekarno adalah pemimpin negeri yang sangat mencintai dan mengorbankan hidupnya demi kebaikan Bersama, demi perubahan sebuah bangsa. Ada pepatah yang selalu digemakan Soekarno, Tat twam asi, aku adalah dia dan dia adalah aku. Ini berarti kita butuh bertindak seolah-olah kita sedang bertindak untuk diri kita sendiri. Kemampuan kita untuk melihat yang lain sebagai ‘aku’ akan melahirkan sebuah perubahan besar. Bung Karno menyatakan bahwa semua hal bisa diubah; itulah revolusi dalam buku Indonesia Menggugat; revolusi adalah, alle umgestaltung von grand aus, umgestaltung artinya perubahan, von grand aus, dasar-dasarnya dan akar-akar dijungkirbalikkan. Keadaan yang lapuk dijungkirbalikkan, diganti dengan keadaan yang baru, itulah revolusi, tidak hanya moord en doodslag, tidak hanya bunuh membunuh, tidak hanya bom-boman, dan dinamit-dinamitan. Dari jaman perjuangan hingga saat ini, menjadi pemimipin yang berintegras, berjuang untuk merubah adalah panggilan pemimpin sejati. Revolusi mental khas Jokowi adalah kelanjutan dari revolusi sampai akar-akarnya Bung Karno. Perubahan adalah kehendak dari setiap warga masyrakat. Filsuf Pythagoras “tidak ada sesuatu yang terlalu mudah, tetapi setiap hal akan menjadi sulit ketika Anda enggan mengerjakannya”. Alon-alon waton kelakon: slow asal tercapai. Selamat ulang tahun Sang Revolusioner, Joko Widodo.











Jogjakarta 21 Juni 2020

 Fransiskus Sardi


Minggu, 21 Juni 2020

VISA SUARA HATI

    Sejatinya sebuah peristiwa tidak usah dinarasikan (baca, dituliskan) kembali atau dikenang dalam sejarah selanjutnya, karena narasi tidak punya kuasa untuk mewakili semua rasa yang lahir pada saat terjadinya sebuah peristiwa dalam hidup atau pasca terjadinya peristiwa tersebut. Narasi (tulisan) terbatas, sedangkan kisah atau peristiwa hidup punya sensasi dan nilai-nilai yang kaya nan luas dan tidak bisa diwakilkan semuanya dalam sebuah mininarasi ataupun metanarasi. Membuat narasi atau refleksi tentang sebuah kisah kehidupan atau pun peristiwa apapun, hemat saya adalah sebuah bentuk batasan atas indahnya kisah-kisah hidup atau sebuah tindakan bodoh untuk mengingat-ingat luka dalam sejarah (jika itu peristiwa kelam).  Namun tak bisa ditolak setiap kisah itu akan menjadi sia-sia, jika dibiarkan berlalu begitu saja tanpa sebuah coretan. Disini letak kontroversi narasi; antara membatasi dan membingkai; antara mengenang dan menyakiti.

Terlepas dari kontroversinya; tulisan sesungguhnya memiliki kesakralannya. Kesakralannya tampak dari kemampuan atau otoritasnya dalam sebuah tulisan; merekam seluruh sejarah perjalanan hidup, walaupun tidak semua, tetapi dia mampu MEREKAM kisah-kisah. Sejarah perjalanan; dari kelam hingga terang, suka – duka semuanya dibingkai dalam tulisan-tulisan sejarah. Tampaklah bahwa tulisan memiliki kemampuan mengubah kehidupan. Orang yang tidak mengetahui dan mengenal tulisan bisa memahami banyak hal; bisa membaca; menulis dan banyak hal lainnya. Konon ketika Adolf Hitler membantai sekitar enam juta orang Yahudi di seluruh kawasan Eropa, tulisan menjadi (salah satu) saksi bisu yang merekam; menghidupkan, dan membuat sejarah selalu diingat. ‘Bahasa tulis bisa menjadi gambaran sederhana untuk, menjelaskan atau merenarasikan realitas yang terjadi silam.

Pada tulisan ini saya ingin menceritakan seorang tokoh yang juga sempat direkam dalam sejarah perjalanan dunia. Tokoh yang saya yakini dikenal dengan baik oleh Remahers; Aristede de souse Mendes (19 Juli 1985 – 3 april 1954), lazim dijuluki ‘malaikat dengan stempel karet’. Bagaimana kisahnya?  Kok Ia sekarang dijuluki sebagai seorang pahlawan besar pada masa Perang Dunia kedua (1939-1945)? Kisahnya bermula ketika konsulat Portugis ditempatkan di Bordeaux, Prancis, Aristede ditugaskan di sana sebagai seorang diplomatnya. Sekitar bulan Mei dan Juni 1940 ribuan pengunsi berusaha melarikan diri dari kengerian mesin perang Nazi. Ia mencetakan visa untuk teman baiknya Rabi Chaim Kruger dan seluruh keluarganya agar terhindar dari kejaran Nazi. Sayangnya pertolongannya ditolak oleh sahabatnya ini. Rabi Chaim akan menerimanya jika ribuan jemaatnya juga diperkenakan untuk meiliki visa. Terinspirasi dari penolakan Rabi, akhirnya Mendes memutuskan untuk mencetak ribuan Visa.

Ribuan orang Yahudi menemuinya dan meminta kepadanya untuk dibuatkan visa. Mereka sangat membutuhkan visa untuk bisa keluar dari Perancis, dan visa Portugis akan memungkinkan mereka melewati Spanyol ke Lisbon, ibu kota Portugal, di mana mereka dapat menemukan kebebasan untuk mengungsi dan ‘melarikan diri’ ke negara lain. Aristedes berada dalam situasi dilemma; antara membuatnya atau menolak mencampur tangan urusan Nazi. But, ia memutuskan untuk tetap menerbitkan visa.

Kita berpikir bahwa tindakan membuat visa adalah hal yang sederhana dan mudah (anak kecil saja bisa melakukannya), tetapi tindakannya ini sebenarnya dengan terang-terangan menentang keputusan pemerintah Portugal. Portugal yang secara resmi bersikap netral di bawah pemerintahan Antonio de Oliviera Salazar mengeluarkan perintah kepada seluruh diplomatnya untuk menolak para pengunsi yang ingin mencari perlindungan di wilayah kekuasaanaya. Antonio bahkan secara terang-terangan menolak orang Yahudi, Rusia dan orang-orang tanpa kewarganegaraan yang tidak bisa dengan bebas kembali ke negara asal mereka masuk atau melintasi wilayahnya. Aristedes menentang dan melawan keputusan pemerintah, ia lebih memilih hati nuraninya. Ia mengeluarkan visa ribuan lembar yang dikerjakannya dalam waktu kurang lebih satu minggu (12-23 Juni 1940) dan memberikannya pada para pengunsi. Konsekuensi dari tindakannya, ia dipecat dan dikuci dari lingkungannya dan bahkan ke-15 orang anaknya tidak diperkenankan untuk mengikuti dinamika kehidupan sebagaimana orang merdeka hidup di negaranya sendiri. Mendes harus diberhentikan dari jabtanya dan dilarang mencari kerja di negaranya untuk menafkai kehidupan keluarga. Keluarga dan dirinya jatuh miskin dan bahkan susah untuk mendapatkan makanan. Ini adalah salah satu konsekuensi dari tindakannya melawan kediktatoran Salazar, tetapi ia meiliki prinsip hidup yang sangat kokoh ‘I could not have acted otherwise, and therefore accept all that’s has befallen me with love

Paus Fransiskus, pemimpin Gereja Katolik Roma dalam audensinya pada hari Rabu 17 Juni 2020 on the hari hati nurani ‘Day of Conscience’ menegaskan bahwa Day of conscience ialah hari yang diilhami oleh Sousa Mendes. Dia lebih memilih dicopot daripada harus mengorbankan ribuan orang di bunuh ‘Aku lebih suka berdiri dengan Tuhan melawan manusia daripada dengan manusia melawan Tuhan’. Penggalan pernyataan ini menunjukan panggilan dan ketaatnya pada bisikan hati nuraninya, perasaan kemanusiaan. Tindakan hati nurani bagi Aristides de Sousa Mendes ialah menentang perintah pemerintah (jika itu tidak sesuai dengan panggilan kemanusian) dan menunjukkan keberanian, kejujuran moral, tidak mementingkan diri sendiri, dan pengorbanan diri dengan mengeluarkan visa untuk semua pengungsi terlepas dari kebangsaan, ras, agama atau pendapat politik. Dia menyadari bahwa dia akan menghadapi konsekuensi keras, Sousa Mendes memutuskan untuk bertindak sesuai perintah hati nuraninya. Sejarahwan Bauer menyebut ini sebagai aksi penyelamatan terbesar selama masa holocaust yang dilakukan seorang individu “perhaps the largest rescue action by a single individual during the Holocaust.”

Aristides de Sousa Mendes meninggal pada 3 April 1954 dalam kemiskinan di Rumah Sakit Fransiskan di Lisbon. Dia dimakamkan dalam balutan jubah Fransiskan karena tidak memiliki pakaian yang sesuai miliknya. Bahkan sampai akhir hidupnya yang pahit ini, Aristides de Sousa Mendes tahu dan menyadari bahwa ia bertindak secara manusiawi atas nama ribuan orang yang tidak bersalah dan mendukung keputusann hatinya untuk menyelamatkan hidup banyak orang.

Tindakan heroiknya baru diakui pertama pada tahun 1966 oleh Israel, yang menyatakan Aristides de Sousa Mendes sebagai Righteous among the nations. Pada tahun 1986, Kongres Amerika Serikat memproklamirkan untuk menghormati tindakan kepahlawanannya. Belakangan ia akhirnya diakui oleh pemerintahan Portugal, saat Presiden ke-17 Mario Soares (menjabat dari tahun 9 Maret 1986 – 9 Maret 1996) meminta maaf kepada keluarga Sousa Mendes dan Parlemen Portugal mempromosikannya rank of Ambasador secara anumerta (posthumous) padanya. Wajah Aristides de Sousa Mendes kini muncul di perangko atau stempel (stamps) di beberapa negara di dunia. Jauh lebih penting, wajahnya telah terukir dalam hati jutaan orang.

Remahers, bagaimana dengan tulisan dalam hati Anda? Suara hati Anda? Masih tajamkah? Atau harus diasah lagi? Remahers, remember this ‘kebebasan hati nurani akan selalu eksis dan akan selalu dihormati di mana-mana’. Tidak ada orang yang bisa merebut kemerdekaan suara hati setiap pribadi. Akhirnya, mari belajar untuk mengasah suara hati; membuatnya peka pada panggilan kemanusiaan; menjadikannya tempat pijakan kebaikan dan ruang untuk bergumul melawan kejahatan. Untuk dikenang berlaksa-laksa orang, dengarkanlah panggilan suara hati Anda.

Yogyakarta, 17 Juni 2020 

Fransiskus Sardi


Jumat, 19 Juni 2020

PERJUMPAAN VS TEMBOK

Perjumpaan

Kemampuan mencintai adalah sebuah seni yang melekat dalam diri setiap manusia. Seni untuk mencintai merupakan anugerah Tuhan dan itu termaktub dalam diri setiap orang. Cinta yang ialah sebuah seni hanya bisa ditemukan apabila ada ruang dan waktu, karena cinta bukanlah sesuatu yang abstrak. Cinta bukan semata tentang rasa dalam kata, frasa, kalimat, atau pun barisan bait-bait indah nan menawan. Cinta sejatinya adalah tentang perjumpaan. Perjumpaan adalah embrio cinta. Ketakutan terhadap perjumpaan adalah ketakutan terhadap cinta, karena cinta selalu mekar dan bersemi dalam dan melalui perjumpaan.

Perjumpaan memang membutuhkan sebuah sikap keberanian. Keberanian ialah ketakutan yang diucapkan dalam doa dan semuanya terkabulkan dalam perjumpaan. Pada umumnya manusia tidak bisa mencinta atau dicinta tanpa terlebih dahulu merajut kisah perjumpaan. Perjumpaan adalah titik start dan juga titik  finishnya cinta dan bagi penulis cinta yang dibalut dalam nuansa perjumpaan tidak pernah mengenal titik  finishnya; ia abadi.

Tembok

Ketika Donald Trump mencalonkan dirinya menjadi presiden Amerika pada tahun 2017 salah satu janji kampanyenya adalah mendirikan tembok di perbatasan Meksiko dan USA. Tujuannya adalah untuk menghindari masuknya imigran gelap ke wilayah Amerika. Kampanye Trump ini menuai pro dan kontra; ada yang mendukung ada juga yang menolak. Paus Fransiskus, pemimpin gereja katolik Roma mengecam Trump dengan sindiran yang bernuansa reflektif dan berdaya transformative. Dikutip dari Tempo.co (Edisi 26 January 2019) ia menegaskan saatnya sekarang untuk membangun jembatan bukan tembok. Di lansir dari Detiknews 29 Mei 2019 memuat pernyataan Paus yang menyatakan pihak-pihak yang membangun tembok akan berakhir menjadi tahanan dari tembok yang mereka bangun. Fenomena serupa (tembok) sebenarnya sudah pernah dan terjadi di Negara Jerman; Tembok Berlin (Berliner Mauer) yang dibangun pada 13 Agustus 1961 dibawah pimpinan Walter Ulbricht menjadi pemisah antara Berlin Barat dan Berlin Timur kala itu. Oleh otoritas Jeman Barat Tembok ini disebut sebagai tembok memalukan yang membatasi kebebasan bergerak dan berdinamika dalam hidup. Jerman Timur mengidentikan Tembok ini sebagai dinding perlindungan anti-fasis (Antifaschistischer Schutzwall). Tembok ini dirubuhkan sekitar tahun 1989. Jatuhnya Tembok Berlin menjadi reunifikasi Jerman, yang ditandatangani pada tanggal 3 Oktober 1990. Proses penyatuaan kembali ini menjadi tanda bahwasannya tembok yang berdiri sekitar kurang lebih tiga dekade ini telah menghambat dan membatasi ruang perjumpaan (terlepas dari faktor-faktor lainnya).

What Will We Do?

Menanggapi perkembangan zaman yang canggih, dan melahirkan sikap individualis ekstrem dalam diri setiap orang. Setiap orang dituntut untuk menawarkan pentingnya perjumpaan dalam hidup dan dialog antarmuka. Dialog antarmuka mutlak dibutuhkan di zaman ini. Berjumpa face to face berarti suatu usaha untuk merobohkan tembok-tembok keegoisan, meruntuhkan semua aspek negative thinking tentang orang lain dari dalam diri dan ada kesedian untuk menderita dan menanggalkan kenyamanan diri demi membangun sebuah nilai perjumpaan yang hakiki. Perjumpaan yang hakiki adalah perjumpaan yang selalu dikenang meski harus pergi dan berpisah oleh berbagai tantangan hidup.

 Perjumpaan menjadi sarana untuk menabur benih cinta dan juga sarana untuk menuai cinta. Siapa yang menabur cinta pasti akan menuai cinta, karena cinta selalu menarik cinta. Perjumpaan juga menjadi momen untuk berbagi kasih, sukacita, dukacita dan harapan hidup. Perjumpaan selalu mengandaikan robohnya sebuah tembok penghambat perjumpaan. Dengan demikian perjumpaan pada akhirnya akan selalu menang melawan tembok.


                Yogyakarta Juni 2020

                Fransikus Sardi

Selasa, 16 Juni 2020

Cerita Cinta Bro Ancis


HOLA Remahers!
Bro Cis CMF
Selamat berkisah di duatiga Bro. Saya berharap kamu menyempatkan diri membaca ‘si kecil suka mendengar’ dalam remah ini, itu cerita saya untuk rekan kecil kita; Ube. Hari ini kamu mengatakan kehadiran kamu adalah realisasi dari pengalaman dicinta dan mencintai. Saya mau berkisah tentang cinta. Cinta itu gila; lebih sering menakutkan dari pada membahagiakan; demikian sepenggal kalimat dalam novel Cantik Itu Luka, karyanya Eka Kurniawan. Atau jika kamu pernah membaca kisah Romeo dan Juliet yang ditulis oleh Shakespeare, yang diterbitkan pertama kalinya tahun 1595. Romeo dan Juliet tidak dapat bersatu hingga akhir karena kedua orangtuanya bermusuhan. Kisah berakhir tragis, kedua sejoli memilih mengakhiri hidupnya atas sebuah perkara bernama CINTA. Saya tersadar  ternyata cinta bisa membunuh. Saya tidak ingin melanjutkan cerita cinta ini. Ini ceritera lama yang mungkin sudah basi tuk dicerna dan diingat-ingat. Seperti kisah Cleopatra dan Mark Antony, atau legenda-legenda asmara lainya. Tidak etis membahas tentang cinta yang berakhir dengan membunuh atau mungkin inilah tanda cinta sampai mati. Entahlah! Tapi kamu;Bro Cis adalah cinta. Sampai di sini dulu narasi cinta. Anda sekalian memiliki interpretasi dan pengalaman yang nan kaya akan CINTA. Saya ingin berbagi ini untuk Anda semua; khususnya buat yang berulang tahun hari ini.
Mungkin! Anda sekalian pernah mendengar, menonton, membaca atau melihat sketsa komedi Monthly Phyton, "Lomba lari 100 meter untuk orang-orang yang tak punya arah". Sketsa ini dimuat dalam kompilasi sketsa komedi terbaik berjudul Parrot sketch not included. "Saat itu adalah olimpiade lucu-lucuan, stadion penuh, langit biru nan cerah, orang-orang tengah menunggu dimulainya babak lomba lari. Di titik start berkumpullah para finalis- sekelompok pelari hebat yang sama sekali tidak tahu arah. Para pelari itu tampak gelisah. Mereka gatal dan getol ingin segera mulai bertanding. Tembakan tanda awal pertandingan berbunyi dan para pelari langsung melesat. Segera mereka keluar dari garis lintasan - berlari ke depan, ke belakang, ke samping, dan melingkar. Mereka semua berlari dengan sangat kencang. Sangat bergegas. Kerja keras. Kecepatan mencengangkan. Sangat atletis. Tetapi tidak ada lintasan, tidak ada arah, tidak ada garis akhir, dan akhirnya tidak ada tujuan berlari".        
Sketsa komedi ini menawarkan metafora yang bagus untuk dunia yang serba ingin cepat, penuh dengan orang yang mengejar kesuksesan dan mencari kebahagiaan. Tidak ada keraguan bahwa kita kini hidup dalam masyarakat serba cepat kata Ka Tanto dalam sebuah narasinya; fast society. Kecepatan hidup akan kerja meningkat melampaui semua ukuran yang terdahulu. Kita dengan segera menjadi generasi "pelintas cepat" yang sedang menguji batas-batas hidup yang cepat dan bisnis yang cepat. Semakin banyak dari kita yang juga mempertanyakan kebijaksanaannya. 
Cepat itu mengasyikkan. Cepat menawarkan kemungkinan sukses lebih segera, cinta lebih segera, segalanya lebih segera. Dalam masyarakat serba cepat, kita perlu sekali mengontrol kecepatan. Robert Holden dalam Succes Intelegence mengatakan perusahaan yang serba cepat, seperti Federal Express, Kall Kwik, Prontaprint Ltd., Speedo, dan Kwik Save, mengerti kita tidak akan rela melepaskan kaki kita dari pedal gas. Kita akan terdorong untuk selalu bergegas mengapai dan mengapainya, mengejar dan kembali mengejarnya. Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus (-setelah mengangkat kemanusiaan di atas level binatang dalam hal perjuangan survival, kita kini berusaha meningkatkan manusia menjadi dewa-dewa dan mengubah homo sapiens menjadi homo Deus-) mengatakan, reaksi paling umum pikiran manusia atas prestasi adalah bukan kepuasan, melainkan mengejar lebih banyak. Manusia selalu mencari yang lebih baik lebih besar dan lebih nikmat. Lebih dan lebih. Sebuah candu baru pasca rokok, narkoba dan mungkin juga sex; mengejar kesuksesan, konsekuensinya tergesa-gesa, sibuk dan manic.
Masyarakat serba tergesa-gesa (manic society). Kata manic, berasal dari kata mania, yang merupakan istilah psikologi untuk ketiadaan kesadaran, sejenis kegilaan, kekacauan suasana hati yang ditandai oleh beragam gejala, antara lain aktivitas motorik yang ekstrem, dorongan yang tak tertahankan, keinginan yang terlalu kuat, serta pikiran dan perkataan yang cepat secara berlebihan.
Saya ingin Anda sekalian, untuk sementara waktu, menempatkan pikiran dan posisi Anda sebagai orang yang sedang berlari kencang (generasi sibuk), seorang dari finalis yang sedang berlari tanpa arah. Apa yang harus anda lakukan di saat seperti itu; memilih berlari atau diam memikirkan solusinya? Mungkin, kita butuh rehat dan melihat. Melihat bagaimana? Pierre Teilhard de Chardin, seorang Imam Jesuit dan juga filsuf (tokohnya Fr. Arcon), mengungkapkan bahwa “seluruh kehidupan ini terletak dalam kata kerja melihat. Melihat bukan hanya dengan mata melainkan juga dengan pikiran dan hati; yang juga diwarnai dengan cinta – bukan cinta yang membunuh, memisahkan dan menyakitkan seperti narasi awal di atas – tapi cinta yang menghidupkan; (sesuai kesan ULTAH kamu hari ini Pa Ketua...hhh)Generasi sibuk harus belajar bahwa menjadi sibuk saja tidaklah cukup. Henry David Thoreau, filsuf Amerika menulis “menjadi sibuk saja tidaklah cukup; semut-semut juga sibuk. Persoalannya adalah: apa yang menyibukkan kita. Akhirnya Remahers; khususnya Bro Ancis CMF; janganlah terlalu menyibukan diri dengan sesuatu yang tanpa – atau tidak tahu tujuannya. Rehat sejenak, tentukan lintasan dan berlarilah. Semoga bisa memetik cinta yang bena seperti kisah asmarah Odysseus dan Penelope, legenda Yunani klasik yang bisa jadi penanda, model lain dari cinta. Cinta tidak selamanya berakhir dengan luka; seperti harapanmu Bro Cis; ada karena dicinta  dan mencintai. Happy Birthday!

Yogyakarta, 16 Juni 2020
Fransiskus Sardi
TINGKAT SATU WSC 2019/2020