Rabu, 26 Januari 2022

Anak Allah Yang Tersalib dan Menderita dalam Paradigma Injil Markus

Dokpri, Fransiskus Sardi, Pantai Alamanda

 

Pengantar

            Habib Rizieq dan Ustad Abdul Somad, pernah mengomentari status ke-Allah-an Yesus dalam ceramah mereka. Menurut Ustad Abdul Somad, pada salib yang yang tergantung ada jin kafir.[1] Pernyataan kontroversial Abdul Somad menuai beragam tangggapan dari umat kristiani. Pernyataanya seolah menurunkan status ke-Allah-an Yesus. Status Yesus sebagai anak Allah juga dipersoalkan oleh Habib Rizieq, menurutnya jika Tuhan beranak, bidannya siapa?[2] Dua kasus ini, merupakan contoh bahwa ada persoalan yang cukup pelik mengenai status Yesus dan Allah. Masih banyak beragam kasus lain, namun dalam paper ini saya akan menuangkan gagasan saya bertolak dari kasus mengenai status Anak Allah.

Berhadapan dengan masyarakat yang plural di Indonesia, umat kristiani diandaikan: 1) memahami dengan baik dan benar ajaran atau dogma-dogma kristiani [kemampuan rasio], 2) beriman dengan sungguh agar mampu berkanjang dalam beragam kritikan dan celoteh [kemampuan iman]. Dua sikap ini akan mengantar kedewasaan iman bagi umat kristiani. Dalam paper ini, saya akan membangun apologetik tentang status Yesus sebagai Anak Allah yang tersalib dan menderita dengan pendekatan biblis. Tulisan ini juga adalah usaha saya agar bisa menguraikan status anak Allah dalam perspekti Markus, sehingga iman umat kristiani juga berlandaskan pada nalar atau rasio yang benar.

Konsep Anak Allah, dari Perjanjian Lama (Tradisi Yahudi), Tradisi Helenis-Romawi dan dalam Injil Markus

            Konsep Anak Allah yang menderita sering ditemukan dalam alkitab. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, identitas Anak Allah sering dikaitkan dengan bangsa Israel. Allah yang telah memilih bangsa Israel, dan karenanya secara umum bangsa Israel disebut anak Allah (Yes.1:2, 30:1). Bangsa Israel juga menerima atau menyebut Allah sebagai Bapa. Hal ini terlihat jelas dalam kisah Yesaya 63:16, “Bukankah engkau Bapa Kami?... Ya Tuhan engkau sendiri Bapa Kami, namamu ialah penebus kami, sejak dahulu kala”. Pernyataan dan pembuktian alkitabiah ini, serentak menunjukan bahwa hubungan antara Allah dan Bangsa Israel, seperti hubungan antara anak dan Bapa. Jadi pembuktian pertama mengenai identitas anak dalam Perjanjian Lama adalah bangsa Israel sendiri yang disebut secara kolektif.

Di sisi lain, konsep Anak Allah dalam Perjanjian Lama, sering diidentikan dengan Raja yang baru diurapi, yang menjadi tangan kanan Allah, karena dipilih dan diurapi oleh Allah sendiri. Ada dua tekanan penting dari pernyataan anak Allah dalam relasinya dengan sebutan raja, yaitu: kapasitas seorang raja dalam menjalankan tugasnya, dan kedua status anak Allah yang dimiliki oleh seorang raja adalah sebuah implikasi dari janji Allah kepada Daud.  Hal ini bisa dibaca dalam kisah Samuel “aku akan menjadi Bapanya, dan ia akan menjadi anak-Ku” (2 Sam.7:14). Raja yang diurapi disebut sebagai anak Allah karena ia memiliki tugas dan kewajiban sebagai orang-orang bertanggung jawab atas keutuhan suatu bangsa.

Dalam Perjanjian Lama, belum bisa ditemukan secara jelas sebutan mesias sebagai anak Allah. Singkatnya dalam Perjanjian Lama, sebutan anak Allah disematkan pada diri Bangsa Israel, raja yang diurapi dan juga (menurut Oscar Cullman)[3] para malaikat Allah karena mendapat perutusan dari Allah. Ketika digunakan untuk menyebutkan anak Allah sebagai bangsa Israel atau status Raja, maka itu adalah status kepemilikan yang spesial.  Penyebutan malaikat sebagai Anak Allah merupakan sebuah penyebutan mitologis yang menampilkan kodrat spiritual dari para malaikat.[4] Dalam uraian yang dipaparkan oleh Banawiratma, gelar anak Allah juga disematkan pada orang-orang yang dikasihi Allah[5] (Kel.4:22, 2Sam 7:14 dan Yer 31:9,20). Pemahaman dalam Perjanjian Lama ini merupakan representasi dari pola pemikiran bangsa Yahudi dalam memahami status hubungan mereka dengan Allah.

Dalam tradisi Yunani dan Romawi, konsep anak Allah merujuk pada sosok pahlawan, para filsuf, dan para pembuat mukjizat. Konsep ini tidak terlepas dari peristiwa historis, yang menunjukan bahwa kekristenan muncul di Imperium Romawi segera setelah kematian Yesus sekitar tahun 30-an M. Bagian Timur kekaisaran Romawi ini, sepenuhnya dikuasai oleh budaya Yunani dan menggunakan bahasa Yunani sebagai interaksi harian. Bahasa Yunani inilah yang menjadi bahasa dalam penulisan Perjanjian Baru.[6]  Latar belakang situasi dan konteks ini bisa menjadi landasan untuk memahami konsep anak Allah dalam tradisi Yunani dan Romawi.

Dalam konsep Yunani-Romawi ada tiga model yang menggambarkan sosok ilahi dan relasinya dengan manusia. Pertama, Allah menjadi manusia dalam waktu sementara, konsep ini berlandaskan pada mitologi yang ditulis oleh Ovid (43SM-17M), yakni Methamophoses menggambarkan bahwa perubahan itu membutuhkan interaksi antara dewa dan manusia dalam waktu yang bersifat temporal atau sementara. Kisah yang mendukung gagasan ini adalah kisah tentang pasangan miskin Filemon dan Baucis yang mendapat kunjungan dari Jupiter dan Merkurius (Dewa dalam mitologi Yunani). Jupiter dan Merkurius mendapat sambutan dari pasangan lansia ini dan dewa ini mengabulkan semua keinginan lansia. Singkatnya, pasangan Filemon dan Baucis ini dianggap sebagai dewa karena Dewa Jupiter dan Merkurius memberikan rahmat itu kepada mereka. Ketika Filemon dan Baucis disembah sebagai dewa, bukan karena mereka sekuat Jupiter dan Merkurius, tapi karena mereka dianggap sebagai manusia yang diangkat ke alam ilahi.[7] Hal ini menunjukan bahwa Allah atau yang Ilahi bisa menjadi manusia. Inilah konsep deifikasio pertama dalam budaya Romawi-Yunani dan konsep ini memiliki relasi dengan kisah Paulus dan Barnabas di Listria (Kis. 14:11) yang memanggil Paulus sebagai Hermes dan Barnabas sebagai Zeus.

Pandangan kedua ialah sosok Ilahi lahir dari manusia yang fana, konsep ini melekat dengan kisah Zeus yang datang kedunia dan melakukan hubungan dengan manusia, sehingga anak yang dilahirkan sering dinamakan sebagai anak dewa. Alexander Agung (356-323 SM) sering diidentikan dengan seorang putra Dewa berkat perkawinan Olympias (manusia) dan Zeus representasi Dewa), atau kisah Jupiter yang jatuh cinta dengan istri Amphytrion, Alcmena yang melahirkan Hercules.[8] Mitos ini mau menunjukan bahwa sosok yang ilahi dapat lahir dari sosok seorang wanita fana. Model ketiga pemahaman manusia ilahi dalam lingkaran Yunani-Romawi ialah manusia yang menjadi Ilahi. Hal ini bisa ditemukan dalam kisah Romulus, Kaisar Julius, Kaisar Agustinus.[9] Dari sini tampak bahwa pemahaman sosok Ilahi atau Allah dalam budaya Yunani-Romawi sering dikaitkan dengan tindakan Dewa mengunjungi manusia.

Dalam Perjanjian Baru, konsep religius Yahudi, Yunani dan Romawi dikaji dengan cara yang baru. Perjanjian Baru secara gamblang menunjukan bahwa sosok Anak Allah adalah sosok Yesus. Injil-injil sinoptik menampakan Yesus sebagai Anak Allah. Yesus sendiri selama hidupnya, menyebut Allah sebagai Abba, Bapa. Yesus sering berbicara tentang dirinya sebagai Anak (Mrk 1:32, Luk. 10:22, Mat 11:27). Identitas ini manu menunjukan hubungan Yesus dengan Bapa. Gagasan Yesus sebagai Anak kepada Allah yang adalah Bapa adalah usaha yang diangkat oleh pata penulis Perjanjian Baru untuk menjelaskan makna salib Yesus. Injil Markus secara jelas menggambarkan Yesus sebagai Kristus dan Anak Allah. Anak Allah muncul tujuh kali dalam injil dan berada pada bagian-bagian kunci injil, misalnya pada bagian awal injil (1.1), digunakan oleh roh jahat (3.11 dan 5.7) yang mengenal Yesus sebagai anak Allah. Di hadapan otoritas Yahudi, imam besar (14:61), dan juga di ayat 15:39) menggambarkan status anak Allah dalam Markus. Pernyataan Allah sendiri mengenai identitas Yesus sebagai anak Allah juga adalah dalam peristiwa pembaptisan (1:11). Dan juga dalam peristiwa transfigurasi pernyataan Anak Allah yang dikasihi diulang kembali[10] Pernyataan ini menggambarkan bahwa status Anak Allah sudah ada dalam teks Markus dan dinyatakan oleh Allah sendiri, Roh Jahat, dan juga oleh manusia sendiri. Ini menunjukan bahwa Yesus memiliki kuasa yang melampaui segalanya. Penginjil Markus menggunakan gelar Anak Allah dari Yesus dalam hubungan dengan ketaatan-Nya kepada Allah. Perumpamaan tentang anak penggarap Kebun Anggur menggambarkan bahwa Yesus adalah putera yang diutus Allah. Walaupun diutus oleh Allah ia tetap dibunuh,dan dalam kuasa-Nya Yesus tetapa taat. Markus mau menampilkan Yesus yang taat bahkan hingga mati di salib.

Peran Roh Kudus Menyingkapi Identitas Anak Allah

            Peran Roh Kudus meliputi seluruh karya Allah, baik penciptaan, penyelamatan manusia dan juga tindakan membarui seluruh ciptaan. Roh Kudus menggerakan hidup para Murid yang takut menjadi pwarta yang berani. Kisah Roh Kudus turun atas para Rasul menjadi teks yang menunjukan bahwa Roh Kudus berperan dalam karya Para Rasul. Dalam Perjanjian Baru Yesus ditampilkan sebagai pribadi yang memiliki kepenuhan Roh Kudus yang turun atas-Nya dalam peristiwa pembaptisan (Mrk 1:10). Peristiwa ini merupakan tanda kekuasaan perutusan-Nya. Yesus di bawah oleh Roh (Mat 4:1) dan berkarya dalam Kuasa Roh (Luk 1:14.18).[11] Dalam Lukas Roh Kudus menuntun dan membimbing orang-orang percaya yang mengalami krisis dan ketidakpastian hidup dengan menyatakan hadirnya Kerajaan Allah di dunia. Roh menggerakkan Simeon untuk pergi ke Bait Allah dan berjumpa dengan bayi Yesus (2:25-27). Secara implisit peran Roh Kudus tidak bisa dipisahkan dengan peran Yesus. Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus adalah pribadi yang memiliki ikatan yang tak terpisahkan dan selalu dalam kesatuan menjalankan karya perutusan di dunia. Roh Kudus memampukan umat manusia untuk menerima Allah yang hadir dalam pribadi Anak.

Peritiwa salib

Peristiwa salib adalah tindakan Allah yang mau berbela rasa dengan manusia. Dalam perspektif Yunani, salib adalah kebodohan dan dalam tradisi Yahudi salib adalah kutukan. Salib merupakan hukuman yang dipakai oleh orang-orang Romawi untuk menghukum siapa saja yang melakukan kejahatan atau melawan Raja.[12] Markus memberikan dua argumen yang mau menunjukan bahwa peristiwa salib atau penderitaan memiliki nilai-nilai yang penting. Dua alasan yang menempatkan bahwa penderitaan melekat dengan perutusan seorang Anak Allah : 1) Yesus sendiri mengatakan tentang penderitaan dan kematian yang akan dialami-Nya. Kata-kata Yesus mengafirmasi peristiwa yang akan terjadi dengan diri-Nya. 2) Penderitaan sebagai bagian inti dari ketaatan Yesus kepada Allah. Dua gambaran ini menunjukan bahwa Yesus mau masuk dalam kehidupan manusia dan mengalami semua peristiwa hidup manusia. Dengan mati di Salib Ia mau menggambarkan bahwa hidupnya diwarnai dengan sikap taat.

Sosok Yesus yang mau menderita, salib dan mati serta hidup bersama manusia menjadi gambaran dasar kristologi dari bawah. Yesus tidak tampak dalam kejayaan, tetapi dalam salib, salib bukanlah momen untuk mengakhiri hidup-Nya tetapi sebagai awal kehidupan bermula dari Salib. Kebangkitan menjelaskan bahwa kematian Yesus bukanlan kegagalan dan kesia-siaan, tetapi sebagai jalan untuk meneggarai bahwa hidup adalah sutu perutusan yang integral dengan kematian dan kebangkitan. Markus menggambarkan kristolgi dari bawah ini dalam karya dan pelayanan Yesus hingga peristiwa Salib sebagai penjelasan dua kriteria di atas. Sebagaiaman markus adalah penginjil yang mau menunjukan konsekuensi ketaatan Yesus kepada Bapa. Dari sini dapat disimpulkan bahwa peristiwa salib adalah suatu rangakian rencana keselamatan Allah bagi manusia melalui Yesus dalam ketaatan-Nya bersama Roh Kudus.

Kesimpulan

            Salib dan Anak Allah adalah dua term yang tidak bisa dipisahkan. Karya keselamatan dari Allah bagi manusia terlaksana lewat kematian Yesus di salib, yang bermuara pada peristiwa kebangkitan. Markus secara jelas memggambarkan bahwa ketaatan Yesus hingga menderita di salib sebagai anak Allah adalah konsekuensi dari ketaat-Nya pada Bapa. Yesus yang taat dan mau melaksankan kehendak Bapa-Nya bahkan hingga wafat, dengan sendirinya mengangkat dan menjadikannya sebagai anak Allah. Dari sini disimpulkan bahwa gelar Anak Allah dalam perspektif Markus selalu dilihat dalam terang ketaatan Yesus. Akhirnya, logika sederhana konsep Markus dalam pemahaman saya adalah demikian, Yesus adalah anak Allah karena Dia taat pada Bapa-Nya dan kematian-Nya di salib adalah suatu bentuk ketaatan seorang Anak pada Bapa. Perkara yang dipaparkan oleh Somad dan Rizieq bisa dibaca dalam terang atau perspektif Markus ini. Salib akhirnya bukan sebuah kebodohan, melainkan suatu konsekuensi ketaatan dan jalan menuju keselamatan.



[2] BBC Indonesia https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38435195 diakses pada 05 Desember 2021

[3] Oscar Cullman, The Christology of the New Testament, (Philadelphia USA: The Westminster, 1963), 272

[4] Eko Riyadi, Yesus Kristus Tuhan Kita, (Yogyakarta: Kanisius, 2011),130

[5] J.B. Banawirtma, (ed) Kristologi dan Allah Tritunggal, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), 29.

[6] Barth D Ehrman, How Jesus Became God, the exaltation of a jewish preacher from Galilee (USA, HarperOne) 19

[7] Barth D Ehrman, How Jesus Became God, the exaltation of a jewish preacher from Galilee, 21

[8] Barth D Ehrman, How Jesus Became God, the exaltation of a jewish preacher from Galilee, 23

[9] Barth D Ehrman, How Jesus Became God, the exaltation of a jewish preacher from Galilee, 24-27

[10] Eko Riyadi, Yesus Kristus Tuhan Kita, (Yogyakarta: Kanisius, 2011),137-138

[11] Herbert Vorgrimler, Trinitas Bapa, Firman, Roh Kudus, (Yogyakarta: Kanisius,  2005), 56

[12] Eko Riyadi, Markus, Engkau adalah Mesias, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 232

Selasa, 25 Januari 2022

Kristologi = Solidaritas

 
DOKPRI,  Fransiskus Sardi


Satu hal yang muncul dalam pikiran saya ketika merenungkan tentang kristologi adalah pribadi Kristus. Kristus adalah representasi dari kebaikan. Kristus, tidak pernah terpisah dari kosa kata kebaikan. Dari sini, ketika membahas tentang kristologi, dengan sendirinya hal-hal yang menjadi representatif dari Pribadi Kristus secara otomatis muncul dalam permenungan saya.
Sebagai orang Kristiani, yang sejak kecil dididik dalam ajaran Kristiani saya juga mengenal Pribadi Kristus yang erat dengan kata penyelamat, penebus, pembebas, dan beragam term yang menunjukkan sisi kebaikan Kristus. Hemat saya, kristologi adalah pemahaman akan hal-hal tersebut, terlepas dari pemahaman ilmiah tentang konsep kristologi yang menunjukan refleksi sistematis tentang pengalaman keselamatan dalam Kristus.
Konsep atau paradigma lain yang muncul dalam pikiran saya, ketika membahas kristologi adalah, kelekatan hubungannya dengan konsep soterologis, dan pneumatolgis. Kita meyakin ajaran yang menekankan bahwa Yesus adalah inkarnasi diri Allah yang menyelamatkan umat manusia dalam kuasa Roh Kudus. Hubungan Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus, dalam kasih, adalah panggilan bagi umat kristiani untuk menghidupi kasih.
Membahas hubungan Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus (atau konsep trinitas dalam paham ilmiah), dalam praksis hidup harian adalah membahas relasi kasih dan solidaritas dalam hidup harian. Bagi saya, adalah terlalu abstrak membahas teori kristologi tanpa menkankan relasi interpersonal antar sesama manusia, tanpa melihat sejarah penyelamatan yang dilaksanakan beribu tahun lalu dalam terang dunia zaman sekarang. Kristologi perlu dipahami dalam kekinian zaman, dan diinterpretasi dengan melihat dan memeperhatikan situasi dan konteks yang sedang melanda dunia.
Dalam salah satu tulisan, Romo Bagus (Majalah Basis No 9-10 tahun 69, 2020, Berhenti Menikmati Hidup, Pendidikan di Masa Krisis) menulis satu frasa yang menarik perhatian saya. Dalam tulisan itu ada satu term yang menegaskan bahwa no connection without attention, tidak ada perhatian tanpa relasi atau koneksi. Bagi saya ini adalah core of the core dari konsep kristologi, soterologi dan pneumatolgi. Konsep kristologis, hemat saya dalam pandangan masyrakat grassroot seharusnya dijelaskan dengan pernyataan demikian. Membuat abstraksi konsep kristologi mudah dipahami menjadi tugas yang mesti dijalankan.
Dalam kuliah tentang pandemic covid-19 di awal semester 2 tahun lalu, Romo Hasto memberikan satu buku (The Rise of Chritianity) yang berkisah tentang berkembangnya jemaat perdana di masa wabah dan bagaimana mereka bersolider di saat itu. Menariknya saat itu mereka tidak berbicara tentang konsep kristologi, dan menjelaskan ajaran kristologi, mereka bersolider dengan orang-orang yang mengalami serangan wabah saat itu. Dalam buku yang ditulis oleh Rodney Stark tersebut, salah satu tesisnya membahas tentang sikap jemat kristiani saat itu. Dikatakan, bahwa sejak awal nilai-nilai cinta dan kasih amal kristian telah dinyatakan dalam norma-norma pelayanan sosial dan solidaritas.
Diuraikan juga dalam buku itu bahwa, ketika bencana terjadi, orang-orang Kristen tentunya mengalami juga yang namanya kematian, tetapi di saat yang sama jumlah orang kristiani semakin bertambah. Hal lain juga yang perlu diperhatikan bahwa dalam solidaritas kasih tersebut, tingkat kelangsungan hidup jauh lebih tinggi. Ini berarti bahwa setelah epidemi, orang Kristen membentuk presentase yang lebih besar dari sebelumnya, bahkan tanpa orang baru bertobat. Selain itu, dijelaskan pula bahwa tingkat kelangsungan hidup mereka menjadi lebih baik, yang akhirnya juga mempengaruhi pertobatan.
Bertolak dari peristiwa epidemi, dan Sekaran di masa pandemi ini, saya menilai relasi solidaritas menjadi suatu hal yang penting. Sebagaimana organisasi kesehatan dunia (WHO) menekan bahwa keselamatan dunia tidak bisa diraih tanpa suatu sikap konektivitas antar individu. Tidak ada satu orangpun yang bisa selamat, tanpa keselamatan dari orang-orang lain.
Pada akhirnya, sebagai mahasiswa awam, saya memhami bahwa solidaritas itu bukan tentang uraian gagasan yang menarik. Kristologi itu bukan tentang perdebatan akademis dalam ruang kuliah, jauh melampaui itu semua, kristologi itu solidaritas. Kristologi itu adalah kemampuan saya melihat wajah liyan, dan menempatkan mereka sebagai aku yang lain. Saya selama masa-masa pandemi, secara pribadi mengenal apa arti solidaritas itu. Saya, jujur bahwa pengalaman akan Kristus justru saya rasakan ketika perjumpaan dengan orang-orang yang bersolider. Saya sebut saja misalnya pembagian Sembako oleh Sekretariat Paroki Kota Baru, SVD -SSPS berbagi kasih, nasi estafet, dan ada banyak aksi solidaritas lain di masa pandemi ini adalah wajah nyata dari solidaritas. Pembagian sembako ini memang kesannya simple, dan tidak menghilangkan persoalan bumi manusia ini, tapi ini adalah praktek kristologis yang nyata, dan sudah pernah dipraktekan oleh jemaat perdana. Itulah alasannya mengapa saya menulis judul refleksi saya ini kristologi itu sama dengan solidaritas.
Berangkat dari sini, saya juga merasa seperti ditampar oleh refleksi saya sendiri. Saya menekankan nilai solidaritas dalam kehidupan bersama di masa krisis untuk menghidupkan kristologi. Namun pertanyaanya, bagaiaman hal itu bisa terjadi jika saya tidak memiliki konsep yang mendalam tentang kristologi? Apakah saya mampu bersolider dan membagi sukacita kristus di saat saya mengalami situasi krisis? Hingga akhirnya bagaimana membuat kristologi itu berakar dalam hidup di saat Kristus tidak menjadi pegangan saya? Masih mungkinkah Kristus berkarya, bersolider dalam diri pribadi yang menyangkal karya Kristus?
 

Rabu, 13 Oktober 2021

Tragedi 30s (0 3 dan 3 0) : Jangan Diulang Lagi

 

Satu jam 30 menit, sebelum pertandingan Benfica Vs Barcelona, saya menulis ucapan ulang tahun untuk teman angkatan saya yang merayakan ulang tahun. Keduanya adalah penggemar Real Madrid. Dalam tulisan itu saya mengaitkan sepak bola dengan momen ulang tahun. Sepak bola yang kesannya hanya tontonan hiburan sebenarnya menyimpan banyak peristiwa kehidupan dan persoalan bumi manusia.

Dalam pertandingan sepak bola, ada kemenangan, kekalahan, kekecewaan, dan beragam peristiwa yang bisa ditilik, demi memperkaya makna kehidupan. Inti dari tulisan itu sangat sederhana, sepak bola itu representasi kehidupan. Bersamaan dengan ulang tahun kedua pendukung Madrid itu, saya menegaskan bahwa ulang tahun itu sama seperti peristiwa dalam sepak bola, yakni momen untuk bersyukur jika kalah atau menang, evaluasi semua aspek dalam pertandingan dan memulai dengan taktik baru. Jika berkeinginan melihat foto dua orang ganteng yang merayakan ulang tahun, klik di sini. 

Tepat pukul 02 dini hari Waktu Indonesia Barat, (30/09/2021) kick off pertandingan Benfica vs Barca dimulai. Saya harus akui, Barcelona adalah tim favorite saya. 3 menit setelah kick off, tim tuan rumah berhasil mencetak gol pembukanya lewat Darwin Nunez. Hingga babak pertama selesai, kedudukan 1 0 belum berubah. Pada jeda babak pertama ini, dalam hati saya berharap Barca bisa bangkit. Sayangnya, di menit 69 giliran Rafa Silva yang berhasil menempatkan namanya di papan skor. Sepuluh menit sebelum babak kedua berakhir, penalti diberikan kepada tim tuan rumah, Nunez kembali mencetak gol keduanya. Barcelona tidak berhasil mencetak satu gol pun di stadion Da Luz. Pilu.

Kekalahan ini menambah rekor buruk Barcelona di babak penyisihan Grup Liga Champions 2021/2022. Sebelumnya, pada laga pertama di Camp Nou, Barca dipermalukan oleh raksasa Jerman, Bayer Munich. Kekalahan 0 3 di kandang menghantui mereka, hingga akhirnya harus menerima kenyataan 0 3 di markas Benfica, 0 3 3 0. Pilu sekali angka 3 dan 0. 30 menit setelah pertandingan berakhir, baru saya bisa pejamkan mata, dan saya teringat ternyata 30 September itu pilu.

30 itu pilu. Bukan hanya untuk tim dan fans Barca yang mengalaminya saat pertandingan. Konon di sebuah negeri pada tahun 1965, ada kisah tentang 7 anak manusia yang di bunuh. Sejujurnya, saya tidak melihat peristiwa itu secara langsung, seperti pertandingan Barca yang dibantai Benfica hari ini, walaupun hanya dalam siaran lewat kamera, live streaming. Tapi saya sempat mendengar dan membaca tentang kisah-kisah jendral itu. Itulah alasan mengapa 30 September itu menjadi kisah pilu, bukan karena 0 3 tapi karena ada yang mati untuk Negeri. Jauh melampau 0 3 di Da Luz.

Ketika Sekolah Dasar, guru-guru saya sering menceritakan tentang peristiwa G30SPKI. Saya sedih dan takut mendengar kisah ini. Sebagai anak SD, dengan kepolosan, kala itu saya berpikir ini adalah satu contoh kejahatan paling kejam yang ada di dunia. Ternyata dugaan saya salah, saat saya sudah bisa membaca tulisan, mendengar berita dengan baik, melihat dengan benar, ada beribu kisah pilu di dunia ini yang luput dari liputan mata dan kepala saya.

Dari kisah rezim fasisme Benito Musolini di Italia selama periode 1924-1943, Nazi di Jerman (1933-1945) yang menyebabkan peristiwa holokaus, melenyapkan enam juta orang Yahudi, Perang sipil Bosnia selama periode 1992-1995, kasus apartheid di Afrika selatan sektar tahun 1960 dan mungkin yang paling segar tentang kisah kekerasan atas etnis Rohingya Myanmar. Itu potretan umum saja. Ada banyak kisah-kisah lain yang lebih mengerikan, tapi luput dari sejarah. Dari sini saya paham, ternyata sebelum saya ada, dunia sudah bergejolak dalam kisah pilu. Tragedi demi tragedi terjadi, yang mati akhirnya tinggal dalam sejarah.

Potret peristiwa tunaetika ini, akhirnya menyadarkan saya, bahwasannya kekalahan Barca, bukanlah apa-apa, dan tidak ada apa-apanya. Sebagai penggemar sepak bola, Kekalahan dalam bermain bola atau kalahnya tim favorite, tidak ada arti apa-apanya dengan peristiwa-peristiwa keji yang menghilankan nyawa manusia. Bola hanya mengajarkan kita bagaimana belajar untuk hidup, belajar untuk menang, belajar untuk bertahan, belajar untuk berjuag, bukan untuk membunuh seperti kisah G30SPKI.

Ketujuh sosok yang dikenangkan setiap tanggal 30 September di Indonesia, adalah sosok-sosok panutan bangsa. Mereka ialah Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi), Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi), Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan), Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen), Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik), Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat), dan Perwira Pierre Andreas Tendean.

Saya tidak ingin berkisah banyak tentang peristiwa keji di bulan September. Saat peristiwa itu terjadi, saya masih ada dalam wujud lain. Belum mengenal bumi mausia dan segala macam antah berantahnya. Saya hanya menganjurkan pembaca, untuk membaca kisah para pahlawan dari mereka yang sungguh mengenal, ada bersama, dan menyaksikan peristiwa itu terjadi. Jangan dengarkan mereka yang mencari popularitas dan ambisi politik. Kisah dari mereka kadang menghancurkan negeri. Ada banyak sejarahwan yang menulis tentang kisah G30SPKI dengan benar dan membangkitkan semngat nasionalis.

Akhirnya, Saya hanya ingin menegaskan, pernah ada suatu peristiwa pilu di suatu hari pada tanggal 30 September. Entah dulu dan sekarang. Peristiwa itu menyakitkan. Semoga tidak diulang lagi, dan tidak tejadi lagi. Visca Barca, Jayalah Indonesiaku.

NB. tulisan ini ada di blog kompasiana saya



Senin, 27 September 2021

Pemikiran Teologi Gregorius dari Nyssa

 


Riwayat Hidup

Gregorius dari Nyssa lahir pada tahun 335 di Kapadokia.[1] Gregorius dari Nisa adalah seorang uskup, mistikus, teolog, dan santo.[2] Ayahnya bernama Basil dari Caeserea, yang terkenal sebagai seorang ahli pidato di Kapadokia (sekarang Turki).[3] Pada awalnya Gregorius menekuni ilmu retorika akan tetapi akhirnya ia memutuskan menjadi seorang pertapa dengan menjauhkan diri dari kehidupan duniawi. Gregorius menujukan dirinya sebagai orang yang tertarik dengan meditasi, refleksi, serta keterbukaan bagi kebudayaan pada zamannya. Ia menaruh perhatian pada teologi mistik dan kontemplasi.

Pada tahun 372 Gregorius ditahbiskan menjadi uskup di Kapodokia yaitu di wilayah Nyssa. Itulah alasan mengapa ia dipanggil Gregorius dari Nyssa. Ia mengikuti konsili Antiokhia dan konsili Konstantinopel, tempat mempertahankan credo (syahdat para rasul) melawan arianisme. Arianisme ialah ajaran dari Arius, seorang imam Alexandria (Mesir) yang menyangkal keallahan Yesus. Allah Putera dianggap bukan Allah yang sejati, melainkan semacam makhluk pengantara di antara Allah-Bapa dan seluruh alam ciptaan. Ajaran ini ditolak oleh konsili Nicea (tahun 325) dengan alasan tidak sesuai dengan Wahyu yang dibawa oleh Yesus Kristus. Gregorius wafat pada tahun 395.[4] Gregorius adalah murid Origenes.[5]

Pendidikannya sebagai orang kristiani diperhatikan secara khusus oleh Basilius Agung kakaknya, yang pernah disebutnya ‘bapa dan guru’ dan juga oleh saudarinya Macrina. Gregorius dari Nyssa juga dikenal sebagai pemikir dalam hal teologi spekulatif dan mistik. Ia berbeda dengan kedua orang Kapadokia Gregorius dari Nazianze yang termasyhur dalam hal berpidato dan Basiulius Agung yang condong sebagai administrator.[6]

Sumbangsih Teologinya

            Pemikiran teologis Gregorius dari Nyssa tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Gregorius dari Nazianze dan Basilius Agung. Mereka mengembangkan terminologi yang tepat untuk membedakan antara hakikat Allah pada umumnya dan pribadi individual. Ketiganya menggunakan konsep ousia untuk menunjukan haikat (esensi atau kodrat) ilahi yang dimiliki bersama oleh ketiga Diri, sedangkan konsep hypostatis untuk eksistensi pribadi yang dimiliki oleh masing-masing Diri ilahi. Ousia mengacu kepada hakikat Allah yang umum, dan hypostatis menunjuk kepada bentuk-bentuk khusus yang diterima oleh hakikat ilahi ini dalam diri pribadi Bapa, Putra, dan Roh Kudus.[7]

Bidaah yang dihadapi oleh Gregorius pada zamannya adalah apolinarisme yaitu bidaah dalam bidang Kristologi. Bidaah ini dipelopori oleh uskup Apollinarius dari Laodikhea (310-390) yang membela keilahian Kristus yang berdaya guna, terutama demi keselamatan semua manusia dengan mengurbankan kemanusiaan Yesus Kristus dengan penegasan bahwa Kristus tidak mempunyai roh atau jiwa rasional.[8] Apolinarius mengunggulkan unsur keilahiaan dengan mutlak sehingga kurang memperhatikan unsur kemanusiaan Yesus Kristus. Dalam bidang Kristologi Gregorius dari Nyssa membahas Teologi gambar (teologi-eikon) dan Ketuhanan Yesus Kristus dan Keilahiaan Roh Kudus. Pemikiran teologis dari Gregorius yang dipengaruhi oleh filsafat adalah penjelasan tentang substansi yang sama antara Bapa dan Putra.[9]

Pemikrannya yang lain dalam teologi ialah tentang keselamatan di akhir zaman. Menurutnya orang yang tidak dibaptis dan juga yang telah dibaptis tetapi kemudian berdosa dan tanpa menebusnya dengan “doa atau filsafat” sesudah kematiannya harus dimurnikan oleh api.[10] Gagasan tentang neraka sebagai hukum abadi tidak ada pada Gregorius. Gregorius memandang pemulihan dunia itu sebagai akhir zaman secara mutlak, satu kali untuk selamanya. Dengan kecerdasaan yang tajam dan pengetahuaan tentang filsafat dan teologi, dia membela iman kristiani melawan para bidaah yang menyangkal keallahan Putra dan Roh Kudus (seperti Enomius dan orang-orang Makedonia), atau menyangsikan kesempurnaan kemanusiaan Kristus (seperti Apollinaris).

Gregorius merenungkan secara khusus penciptaan manusia. Dalam penciptaan dilihatnya pantulan Sang Pencipta dan disini ditemukan jalan menuju Allah. Gregorius juga menulis karya penting tentang riwayat hidup Musa, yang ditampilkan sebagai manusia dalam perjalanan kepada Allah: pendakian gunung sinai baginya menjadi suatu gambaran pendakian kehidupan manusiawi menuju kehidupan sejati, menuju pertemuan dengan Allah. Gregorius menjelaskan Allah adalah “seniman yang terbaik, Ia membentuk kodrat kita sedemikia rupa, sehingga sesuai untuk mendapatkan kedudukan sebagai raja. Melalui kelebihan yang diberikan kepada jiwa dan bentuk yang diberikan kepada tubuh, Allah sudah mengatur supaya manusia sungguh sesuai untuk mendapat kekuasaan”.[11]

Gregorius dari Nyssa menunjukkan diri sebagai orang yang berpandangan amat luhur tentang martabat manusia. Tujuan manusia adalah menjadikan diri serupa dengan Allah, dan tujuan itu tercapai melalui kasih, pengetahuaan dan pelaksanaan keutamaan-keutamaan yang merupakan “sinar-sinar cahaya yang turun dari kodarat ilahi”, dalam gerakan terus-menerus mendekat pada yang baik. Panggilan manusia seluruhnya adalah hidup dalam kasih dan pengetahuan-pengetahuan akan keutamaan hidup.


[1] Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa Gereja, diterjemahkan dari The Fathers oleh Waskito SJ, (Malang: Dioma, 2010), 123.

[2] Morwenna Ludlow, Gregory of Nyssa, ancient and [post] modern, (New York Oxford University Press: 2007), 1.

[3] Agustinus Riyadi, Bapa-Bapa Gereja Berfilsafat, (Surabaya: Pustakamas, 2011), 91.

[4] F.D Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 121-122.

[5] Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 530.

[6] Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 1 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 151.

[7] Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 1, 151.

[8] Agustinus Riyadi, Bapa-Bapa Gereja Berfilsafat, 93.

[9] Agustinus Riyadi, Bapa-Bapa Gereja Berfilsafat, 94-97.

[10] Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 2, 529.

[11] Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa Gereja, 124-126.

Minggu, 26 September 2021

Filosofi Jendela Kamar

            

Dok. devianart.com

Malam bertabur bintang, ditemani angin sepoi dan gerimis yang menjilat, membasahi rerumputan. Pandi, seorang penikmat kopi dan pecandu rokok berdiri sambil pangku tangan menatap keluar rumah. Ia berkhayal di sudut kamarnya, sambil menatap awan kelam lewat jendela yang sengaja ia buka.

Walaupun malam berisik dan risau, ia tetap membiarkan jendelanya terbuka. Dan itu akan dibiarkan terbuka sampai selamanya. Menurutnya, orang yang selalu membuka jendela kamar adalah orang yang baik dan terbuka.

Analoginya sederhana, kamar itu sama seperti hati seseorang, dan orang yang membiarkan hatinya dipandangi oleh orang lain adalah orang yang benar-benar memiliki hati, orang yang baik, dan orang yang pemurah, orang yang ramah. Pandi memang kadang suka aneh-aneh dalam berpikir! Kok bisa-bisanya kamarnya disamakan dengan hati.

Ketika suatu hari saya masuk ke kamarnya dan menanyai alasan perihal jendela kamarnya tersebut. Ia berceloteh panjang, “saya seorang penikmat malam, penikmat siang, penikmat bulan-bintang, penikmat matahari, penikmat angin, penikmat gerimis, penikmat terik, penikmat senja, penikmat hujan, penikmat dingin dan penikmat segalanya.

Bahkan kakakmu yang ganteng ini lebih dari seorang penikmat, kakak adalah seorang pencinta yang sejati. Pecandu yang tak mau sembuh. Kakak tidak akan pernah menutup jendela kamar, kakak membiarkan semua hal, entah baik buruk yang kakak sebut sebagai candu atau nikmat itu masuk ke dalam kamar kakak, masuk ke dalam hati kakak, masuk ke dalam kehidupan kakak”.

Sebagai seorang adik bungsu, tentu saya iba dengan kakak yang memiliki kebiasaan buruk ini – yeah – walaupun buruknya hanya dari paradigma berpikir saya, bagi si kutu buku dan penggemar sastra ini ‘untuk memahami arti penderitaan, seseorang harus menderita, jika ingin memahami cinta, dia juga harus mencintai’.

Dia memahami bahwa segala sesuatu yang ingin kita peroleh, harus kita perjuangkan. Dan perjuangan itu harus diwarnai dengan rasa, sense katanya. Menurutnya lagi, semua orang bisa membeli harta, tapi tidak seorangpun bisa membeli rasa. Rasa hanya bisa diperoleh dari perjuangan menghargai semua hal dalam hidup. Orang yang memiliki rasa akan mencintai semua hal, entah jahat atau pun yang baik.

Selama saya masih menjadi anak SMP, saya akan susah memahami setiap percakapan dengan kakak pencinta filsafat dan ilmu retorika ini. Dia satu-satunya orang dalam rumah kami yang berkesempatan belajar filsafat di sebuah sekolah tinggi filsafat. Ia sangat mencintai filosofi sebab-akibat. 

Filosofi sebab-akibat sangat menyatu denganya, bahkan mengalir dalam urat nadi Pandi. Ia percaya setiap hal punya penyebabnya, dan selalu menimbulkan akibat, dan setiap akibat punya penyebabnya. Dia selalu membuka jendela karena ia memiliki alasannya, dan ia tahu apa akibatnya.

Ia juga paham setiap hal yang dilakukan akan punya akibatnya. Ia percaya jika ia melakukan hal baik pada orang lain, maka ia juga pasti akan mendapat perlakuan yang baik. Hal ini yang menjadi tesis dasar mengapa ia selalu membuka jendela. Ia mencintai alam semesta, dan ia ingin berbuat baik pada mereka dengan membiarkan mereka masuk dalam kamarnya. Aneh memang sih... tapi itulah yang terjadi!

“Ka, kenapa sih kak nggak pernah tutup jendela setiap tidur malam hari”? tanyaku  lagi di kamar makan saat sarapan pagi bersama. Beruntungnya pagi ini kami makan bersama Papa dan Mama. Biasanya Papa dan Mama selalu sibuk, dan sejak subuh sudah meninggalkan rumah menuju kantor masing-masing. Sebagai putera bungsu dari tiga bersaudara, saya merasa sedikit beruntung dengan adanya pandemi covid-19, akhirnya saya lebih banyak waktu bersama malaikat tanpa sayap dan kedua kakak saya yang punya karakter ‘gila-gilaan’ – bukan gila benaran yeah –  dan aneh-aneh ini.

“Kamu kepo banget yeah Ancis! Bukannya semalam kakak sudah berikan alasannya kan? Nanti dulu baru kita cerita lagi ya, sekarang sarapan dulu, kasihan tuh mama sudah siapkan mie dan telur untuk kita, udah lama juga nunggu kita di sini. Ayo makan!” Bukannya menjawab pertanyaan saya, Pandi malah sibuk makan.

“Yeah ayo makan semuanya! Mama udah siapin sarapan kesukan kalian ni! Limabelas menit lagi mama ada meeting via zoom di kamar tamu. Kalian jangan berisik ya” tambah mama.

“Iya mama” jawab kami bertiga kompak.

“Nanti papa juga ada rapat ya, rapatnya juga dari rumah kok. Kalian siapkan diri untuk belajar di kamar kalian masing-masing” ujar papa sambil menatap kami semua yang duduk melingkar di meja makan.

“Kamu Pandi gimana skripsinya, udah sampai bab terakhir ya?” tanya Papa pada Pandi.

“Sudah fix semua Pa, sudah ujian dua minggu lalu kok! Maaf ya Pandi tidak memberitahukan Papa dan Mama. Saya ujianya di kamar via zoom juga kok. Mario sama Ancis juga nggak saya beritahu! Nggak mau ngerepotin kalian” jelas kak Pandi.

“Sejak kecil dulu kakak bermimpi bertemu tentang diri kakak yang berdiri dekat jendela tanpa busana. Saat itu sedang hujan, anehnya juga pada saat yang sama sedang terjadi angin besar. Hujan membasahi diri kakak yang berdiri dekat jendela. Setelah hujan matahari langsung menyengati tubuh kakak. Kakak basah keringatan. Setelah semuanya reda, kakak bermimpi dalam mimpi, seorang pria berambut panjang dan gimbal memberikan sebuah kalimat yang sangat menarik dan itulah yang mengubah kehidupan kakak sejak hari itu. Kalimatnya demikian, jika engkau mencintai hujan, lalu mengapa ketika hujan datang engkau mengenakan payung untuk melindungi dirimu? Jika engkau mencintai matahari, lalu mengapa engakau memilih berteduh di bawah naungan pohon ketika matahari menyinari bumi? Jika engkau mencintai angin, mengapa juga engkau mengenakan sweater atau kain selimut di saat istirahat malam? Kau lahir dalam keadaan telanjang, dan kau akan menghakiri hidupmu dalam keadaan telanjang pula, sebaiknya engkau tidak perlu menutup jendela mu ini, saya ingin engkau merasakan setiap tetesan air hujan, setiap embusan angin, setiap keringat dibawah terik matahari. Setiap rasa yang kau rasakan tidak bisa dibayar oleh apapun juga. Kau hanya bisa membayar tenaga setiap orang, bisa membayar waktu setiap orang, tapi kau tidak bisa merasakan perasaan yang setiap orang rasakan, itulah filosofi hidup yang dipelajari dari jendela versi saya”.