Rabu, 01 Juli 2020

Mawar (Tak) Berduri

Semakin situasi itu sulit, menakutkan, menegangkan dan tragis, semakin kita didesak untuk MEMILIH. Memilih tuk berbuat sesuatu! Dalam situasi ambang batas, dunia menjadi CERMIN KEBEBASAN. Dia memberi kita berjuta kesempatan untuk memilih secara bebas. Ekspresikanlah who you are freely?

Beberapa bulan terakhir, saya membantu seorang gadis cantik nan jelita untuk membaca ulang dan mengoreksi tesis akhirnya. Dia seorang gadis baik, imut, dan bertalenta. Saat ini gadis berambut panjang dan mempesona itu sedang berjuang menghabiskan masa-masa akhir kuliahnya di sebuah kampus swasta. Untuk tidak membuat kalian penasaran, kita sepakati saja namanya Nona Mawar. Mengapa harus Mawar? Karena memang dia seperti bunga Mawar. Hanya saja ada perbedaan yang khas antara kedua mawar ini; bunga berduri sedangkan Nona tidak berduri, walaupun sama-sama mawar. Indah sekali rasanya menjadi bunga yang indah, tidak berduri, mempesona, dan rentetan barisan kebaikan lainnya. But, kadang yang tidak berduri, mudah sekali untuk dipetik dan dipotong-potong, mudah untuk dilemparkan ke bara api. Mengapa? Because dia tidak punya kemampuan defense? Lebih baik menjadi bunga mawar yang berduri, agar dikau bisa menjaga dan mengurus diri. Durinya – pelindungnya. Demikian juga mungkin dalam hidup, kita semua membutuhkan duri untuk menjadikan kita kokoh dan kuat, tahan banting, pantang menyerah, punya kemampuan untuk menghadapi persoalan dan peliknya perkara dalam sejarah kehidupan.

Lalu, kalian mungkin berpikir Nona Mawar tidak tahu menjaga diri, tapi sebenarnya ia lebih dari itu. Ia tidak tahu nakal dan tidak tahu menyembunyikan kenakalannya. Bukan hipokrits. Sudahlah! Dia terlalu suci untuk diekspresikan dalam narasi. Sebenarnya dia tahu menjaga diri, dia mau menjadi dirinya yang sesungguhnya, otentik – menurut pengakuannya sendiri. Sayangnya dalam kepolosan dan keluguannya dia sering tidak bisa menjaga diri, dia terjebak dalam keasaliannya itu. Saya rasa cukup sudah kita berkisah tentang Mawar. Saya tidak ingin melanjutkannya, karena di awal tulisan ini saya bercerita tentang mengedit skripsinya. Terlalu banyak berkisah tentang mawar akan membuat kita susah move on. Bodoh amat. Move on hanyalah rasa dari mereka yang sedang berjuang melupakan pacar. Saya tidak punya pacar, saya punya saudara walau beda darah. Stop. Di sini saja!

Kita lanjut tentang tulis dan menulis. Saya baru menyadari, ternyata Anda dan saya adalah rangkaian kata yang membentuk kalimat, membentuk paragraph, membentuk sebuah skripsi, tesis, disertasi; membentuk tulisan. Setiap kata punya kekuatan dan kelemahan. Setiap kata bekerja sama membentuk sebuah tulisan baku yang diinginkan penulisnya. Setiap kata dan kalimat yang tidak benar dan baik, akan dihapus oleh editor yang mengoreksi tulisan tersebut. Saya berrpegalaman dalam hal ini. Heheh…sombong! Saya pernah menghapus beberapa kata, frasa dan juga kalimat dalam tesis nona Mawar. Setelah saya selesai mengedit dan mengirim kembali kepadanya. Percaya diri. Lega dan bangga rasanya mengoreksi tulisan orang lain. But lama-lama saya menyadari ternyata saya tidak menghargai perjuangan nona Mawar. Dia sudah berjuang merangkai kalimat indah, ilmiah dan paling penting, menulis sesuai dengan ide dan gagasannya sendiri. Nona Mawar sudah menulis apa adanya tentang dirinya sendiri, bukan kaleng-kaleng kata rekan Emil K, asli, otentik. Terimakasih Mawar! Nona harus paham, jika tulisan ini sedang merindu dan rindu itu sunyi, tak perlu bunyi. Karennya kita perlu tempat suci untuk bersembunyi. Sembunyi dari aslinya kita – walau durinya harus dan kadang ditampakan. Seperti Thurkle ‘A sacred place is not a place to hide out, it’s a place where we recognize ourselves and our comitments’. Selamat berekspresi Nona Mawar.

Yogyakarta, 30 Juni 2020

Fransiskus Sardi



2 komentar: