Minggu, 21 Juni 2020

VISA SUARA HATI

    Sejatinya sebuah peristiwa tidak usah dinarasikan (baca, dituliskan) kembali atau dikenang dalam sejarah selanjutnya, karena narasi tidak punya kuasa untuk mewakili semua rasa yang lahir pada saat terjadinya sebuah peristiwa dalam hidup atau pasca terjadinya peristiwa tersebut. Narasi (tulisan) terbatas, sedangkan kisah atau peristiwa hidup punya sensasi dan nilai-nilai yang kaya nan luas dan tidak bisa diwakilkan semuanya dalam sebuah mininarasi ataupun metanarasi. Membuat narasi atau refleksi tentang sebuah kisah kehidupan atau pun peristiwa apapun, hemat saya adalah sebuah bentuk batasan atas indahnya kisah-kisah hidup atau sebuah tindakan bodoh untuk mengingat-ingat luka dalam sejarah (jika itu peristiwa kelam).  Namun tak bisa ditolak setiap kisah itu akan menjadi sia-sia, jika dibiarkan berlalu begitu saja tanpa sebuah coretan. Disini letak kontroversi narasi; antara membatasi dan membingkai; antara mengenang dan menyakiti.

Terlepas dari kontroversinya; tulisan sesungguhnya memiliki kesakralannya. Kesakralannya tampak dari kemampuan atau otoritasnya dalam sebuah tulisan; merekam seluruh sejarah perjalanan hidup, walaupun tidak semua, tetapi dia mampu MEREKAM kisah-kisah. Sejarah perjalanan; dari kelam hingga terang, suka – duka semuanya dibingkai dalam tulisan-tulisan sejarah. Tampaklah bahwa tulisan memiliki kemampuan mengubah kehidupan. Orang yang tidak mengetahui dan mengenal tulisan bisa memahami banyak hal; bisa membaca; menulis dan banyak hal lainnya. Konon ketika Adolf Hitler membantai sekitar enam juta orang Yahudi di seluruh kawasan Eropa, tulisan menjadi (salah satu) saksi bisu yang merekam; menghidupkan, dan membuat sejarah selalu diingat. ‘Bahasa tulis bisa menjadi gambaran sederhana untuk, menjelaskan atau merenarasikan realitas yang terjadi silam.

Pada tulisan ini saya ingin menceritakan seorang tokoh yang juga sempat direkam dalam sejarah perjalanan dunia. Tokoh yang saya yakini dikenal dengan baik oleh Remahers; Aristede de souse Mendes (19 Juli 1985 – 3 april 1954), lazim dijuluki ‘malaikat dengan stempel karet’. Bagaimana kisahnya?  Kok Ia sekarang dijuluki sebagai seorang pahlawan besar pada masa Perang Dunia kedua (1939-1945)? Kisahnya bermula ketika konsulat Portugis ditempatkan di Bordeaux, Prancis, Aristede ditugaskan di sana sebagai seorang diplomatnya. Sekitar bulan Mei dan Juni 1940 ribuan pengunsi berusaha melarikan diri dari kengerian mesin perang Nazi. Ia mencetakan visa untuk teman baiknya Rabi Chaim Kruger dan seluruh keluarganya agar terhindar dari kejaran Nazi. Sayangnya pertolongannya ditolak oleh sahabatnya ini. Rabi Chaim akan menerimanya jika ribuan jemaatnya juga diperkenakan untuk meiliki visa. Terinspirasi dari penolakan Rabi, akhirnya Mendes memutuskan untuk mencetak ribuan Visa.

Ribuan orang Yahudi menemuinya dan meminta kepadanya untuk dibuatkan visa. Mereka sangat membutuhkan visa untuk bisa keluar dari Perancis, dan visa Portugis akan memungkinkan mereka melewati Spanyol ke Lisbon, ibu kota Portugal, di mana mereka dapat menemukan kebebasan untuk mengungsi dan ‘melarikan diri’ ke negara lain. Aristedes berada dalam situasi dilemma; antara membuatnya atau menolak mencampur tangan urusan Nazi. But, ia memutuskan untuk tetap menerbitkan visa.

Kita berpikir bahwa tindakan membuat visa adalah hal yang sederhana dan mudah (anak kecil saja bisa melakukannya), tetapi tindakannya ini sebenarnya dengan terang-terangan menentang keputusan pemerintah Portugal. Portugal yang secara resmi bersikap netral di bawah pemerintahan Antonio de Oliviera Salazar mengeluarkan perintah kepada seluruh diplomatnya untuk menolak para pengunsi yang ingin mencari perlindungan di wilayah kekuasaanaya. Antonio bahkan secara terang-terangan menolak orang Yahudi, Rusia dan orang-orang tanpa kewarganegaraan yang tidak bisa dengan bebas kembali ke negara asal mereka masuk atau melintasi wilayahnya. Aristedes menentang dan melawan keputusan pemerintah, ia lebih memilih hati nuraninya. Ia mengeluarkan visa ribuan lembar yang dikerjakannya dalam waktu kurang lebih satu minggu (12-23 Juni 1940) dan memberikannya pada para pengunsi. Konsekuensi dari tindakannya, ia dipecat dan dikuci dari lingkungannya dan bahkan ke-15 orang anaknya tidak diperkenankan untuk mengikuti dinamika kehidupan sebagaimana orang merdeka hidup di negaranya sendiri. Mendes harus diberhentikan dari jabtanya dan dilarang mencari kerja di negaranya untuk menafkai kehidupan keluarga. Keluarga dan dirinya jatuh miskin dan bahkan susah untuk mendapatkan makanan. Ini adalah salah satu konsekuensi dari tindakannya melawan kediktatoran Salazar, tetapi ia meiliki prinsip hidup yang sangat kokoh ‘I could not have acted otherwise, and therefore accept all that’s has befallen me with love

Paus Fransiskus, pemimpin Gereja Katolik Roma dalam audensinya pada hari Rabu 17 Juni 2020 on the hari hati nurani ‘Day of Conscience’ menegaskan bahwa Day of conscience ialah hari yang diilhami oleh Sousa Mendes. Dia lebih memilih dicopot daripada harus mengorbankan ribuan orang di bunuh ‘Aku lebih suka berdiri dengan Tuhan melawan manusia daripada dengan manusia melawan Tuhan’. Penggalan pernyataan ini menunjukan panggilan dan ketaatnya pada bisikan hati nuraninya, perasaan kemanusiaan. Tindakan hati nurani bagi Aristides de Sousa Mendes ialah menentang perintah pemerintah (jika itu tidak sesuai dengan panggilan kemanusian) dan menunjukkan keberanian, kejujuran moral, tidak mementingkan diri sendiri, dan pengorbanan diri dengan mengeluarkan visa untuk semua pengungsi terlepas dari kebangsaan, ras, agama atau pendapat politik. Dia menyadari bahwa dia akan menghadapi konsekuensi keras, Sousa Mendes memutuskan untuk bertindak sesuai perintah hati nuraninya. Sejarahwan Bauer menyebut ini sebagai aksi penyelamatan terbesar selama masa holocaust yang dilakukan seorang individu “perhaps the largest rescue action by a single individual during the Holocaust.”

Aristides de Sousa Mendes meninggal pada 3 April 1954 dalam kemiskinan di Rumah Sakit Fransiskan di Lisbon. Dia dimakamkan dalam balutan jubah Fransiskan karena tidak memiliki pakaian yang sesuai miliknya. Bahkan sampai akhir hidupnya yang pahit ini, Aristides de Sousa Mendes tahu dan menyadari bahwa ia bertindak secara manusiawi atas nama ribuan orang yang tidak bersalah dan mendukung keputusann hatinya untuk menyelamatkan hidup banyak orang.

Tindakan heroiknya baru diakui pertama pada tahun 1966 oleh Israel, yang menyatakan Aristides de Sousa Mendes sebagai Righteous among the nations. Pada tahun 1986, Kongres Amerika Serikat memproklamirkan untuk menghormati tindakan kepahlawanannya. Belakangan ia akhirnya diakui oleh pemerintahan Portugal, saat Presiden ke-17 Mario Soares (menjabat dari tahun 9 Maret 1986 – 9 Maret 1996) meminta maaf kepada keluarga Sousa Mendes dan Parlemen Portugal mempromosikannya rank of Ambasador secara anumerta (posthumous) padanya. Wajah Aristides de Sousa Mendes kini muncul di perangko atau stempel (stamps) di beberapa negara di dunia. Jauh lebih penting, wajahnya telah terukir dalam hati jutaan orang.

Remahers, bagaimana dengan tulisan dalam hati Anda? Suara hati Anda? Masih tajamkah? Atau harus diasah lagi? Remahers, remember this ‘kebebasan hati nurani akan selalu eksis dan akan selalu dihormati di mana-mana’. Tidak ada orang yang bisa merebut kemerdekaan suara hati setiap pribadi. Akhirnya, mari belajar untuk mengasah suara hati; membuatnya peka pada panggilan kemanusiaan; menjadikannya tempat pijakan kebaikan dan ruang untuk bergumul melawan kejahatan. Untuk dikenang berlaksa-laksa orang, dengarkanlah panggilan suara hati Anda.

Yogyakarta, 17 Juni 2020 

Fransiskus Sardi


Jumat, 19 Juni 2020

PERJUMPAAN VS TEMBOK

Perjumpaan

Kemampuan mencintai adalah sebuah seni yang melekat dalam diri setiap manusia. Seni untuk mencintai merupakan anugerah Tuhan dan itu termaktub dalam diri setiap orang. Cinta yang ialah sebuah seni hanya bisa ditemukan apabila ada ruang dan waktu, karena cinta bukanlah sesuatu yang abstrak. Cinta bukan semata tentang rasa dalam kata, frasa, kalimat, atau pun barisan bait-bait indah nan menawan. Cinta sejatinya adalah tentang perjumpaan. Perjumpaan adalah embrio cinta. Ketakutan terhadap perjumpaan adalah ketakutan terhadap cinta, karena cinta selalu mekar dan bersemi dalam dan melalui perjumpaan.

Perjumpaan memang membutuhkan sebuah sikap keberanian. Keberanian ialah ketakutan yang diucapkan dalam doa dan semuanya terkabulkan dalam perjumpaan. Pada umumnya manusia tidak bisa mencinta atau dicinta tanpa terlebih dahulu merajut kisah perjumpaan. Perjumpaan adalah titik start dan juga titik  finishnya cinta dan bagi penulis cinta yang dibalut dalam nuansa perjumpaan tidak pernah mengenal titik  finishnya; ia abadi.

Tembok

Ketika Donald Trump mencalonkan dirinya menjadi presiden Amerika pada tahun 2017 salah satu janji kampanyenya adalah mendirikan tembok di perbatasan Meksiko dan USA. Tujuannya adalah untuk menghindari masuknya imigran gelap ke wilayah Amerika. Kampanye Trump ini menuai pro dan kontra; ada yang mendukung ada juga yang menolak. Paus Fransiskus, pemimpin gereja katolik Roma mengecam Trump dengan sindiran yang bernuansa reflektif dan berdaya transformative. Dikutip dari Tempo.co (Edisi 26 January 2019) ia menegaskan saatnya sekarang untuk membangun jembatan bukan tembok. Di lansir dari Detiknews 29 Mei 2019 memuat pernyataan Paus yang menyatakan pihak-pihak yang membangun tembok akan berakhir menjadi tahanan dari tembok yang mereka bangun. Fenomena serupa (tembok) sebenarnya sudah pernah dan terjadi di Negara Jerman; Tembok Berlin (Berliner Mauer) yang dibangun pada 13 Agustus 1961 dibawah pimpinan Walter Ulbricht menjadi pemisah antara Berlin Barat dan Berlin Timur kala itu. Oleh otoritas Jeman Barat Tembok ini disebut sebagai tembok memalukan yang membatasi kebebasan bergerak dan berdinamika dalam hidup. Jerman Timur mengidentikan Tembok ini sebagai dinding perlindungan anti-fasis (Antifaschistischer Schutzwall). Tembok ini dirubuhkan sekitar tahun 1989. Jatuhnya Tembok Berlin menjadi reunifikasi Jerman, yang ditandatangani pada tanggal 3 Oktober 1990. Proses penyatuaan kembali ini menjadi tanda bahwasannya tembok yang berdiri sekitar kurang lebih tiga dekade ini telah menghambat dan membatasi ruang perjumpaan (terlepas dari faktor-faktor lainnya).

What Will We Do?

Menanggapi perkembangan zaman yang canggih, dan melahirkan sikap individualis ekstrem dalam diri setiap orang. Setiap orang dituntut untuk menawarkan pentingnya perjumpaan dalam hidup dan dialog antarmuka. Dialog antarmuka mutlak dibutuhkan di zaman ini. Berjumpa face to face berarti suatu usaha untuk merobohkan tembok-tembok keegoisan, meruntuhkan semua aspek negative thinking tentang orang lain dari dalam diri dan ada kesedian untuk menderita dan menanggalkan kenyamanan diri demi membangun sebuah nilai perjumpaan yang hakiki. Perjumpaan yang hakiki adalah perjumpaan yang selalu dikenang meski harus pergi dan berpisah oleh berbagai tantangan hidup.

 Perjumpaan menjadi sarana untuk menabur benih cinta dan juga sarana untuk menuai cinta. Siapa yang menabur cinta pasti akan menuai cinta, karena cinta selalu menarik cinta. Perjumpaan juga menjadi momen untuk berbagi kasih, sukacita, dukacita dan harapan hidup. Perjumpaan selalu mengandaikan robohnya sebuah tembok penghambat perjumpaan. Dengan demikian perjumpaan pada akhirnya akan selalu menang melawan tembok.


                Yogyakarta Juni 2020

                Fransikus Sardi

Selasa, 16 Juni 2020

Cerita Cinta Bro Ancis


HOLA Remahers!
Bro Cis CMF
Selamat berkisah di duatiga Bro. Saya berharap kamu menyempatkan diri membaca ‘si kecil suka mendengar’ dalam remah ini, itu cerita saya untuk rekan kecil kita; Ube. Hari ini kamu mengatakan kehadiran kamu adalah realisasi dari pengalaman dicinta dan mencintai. Saya mau berkisah tentang cinta. Cinta itu gila; lebih sering menakutkan dari pada membahagiakan; demikian sepenggal kalimat dalam novel Cantik Itu Luka, karyanya Eka Kurniawan. Atau jika kamu pernah membaca kisah Romeo dan Juliet yang ditulis oleh Shakespeare, yang diterbitkan pertama kalinya tahun 1595. Romeo dan Juliet tidak dapat bersatu hingga akhir karena kedua orangtuanya bermusuhan. Kisah berakhir tragis, kedua sejoli memilih mengakhiri hidupnya atas sebuah perkara bernama CINTA. Saya tersadar  ternyata cinta bisa membunuh. Saya tidak ingin melanjutkan cerita cinta ini. Ini ceritera lama yang mungkin sudah basi tuk dicerna dan diingat-ingat. Seperti kisah Cleopatra dan Mark Antony, atau legenda-legenda asmara lainya. Tidak etis membahas tentang cinta yang berakhir dengan membunuh atau mungkin inilah tanda cinta sampai mati. Entahlah! Tapi kamu;Bro Cis adalah cinta. Sampai di sini dulu narasi cinta. Anda sekalian memiliki interpretasi dan pengalaman yang nan kaya akan CINTA. Saya ingin berbagi ini untuk Anda semua; khususnya buat yang berulang tahun hari ini.
Mungkin! Anda sekalian pernah mendengar, menonton, membaca atau melihat sketsa komedi Monthly Phyton, "Lomba lari 100 meter untuk orang-orang yang tak punya arah". Sketsa ini dimuat dalam kompilasi sketsa komedi terbaik berjudul Parrot sketch not included. "Saat itu adalah olimpiade lucu-lucuan, stadion penuh, langit biru nan cerah, orang-orang tengah menunggu dimulainya babak lomba lari. Di titik start berkumpullah para finalis- sekelompok pelari hebat yang sama sekali tidak tahu arah. Para pelari itu tampak gelisah. Mereka gatal dan getol ingin segera mulai bertanding. Tembakan tanda awal pertandingan berbunyi dan para pelari langsung melesat. Segera mereka keluar dari garis lintasan - berlari ke depan, ke belakang, ke samping, dan melingkar. Mereka semua berlari dengan sangat kencang. Sangat bergegas. Kerja keras. Kecepatan mencengangkan. Sangat atletis. Tetapi tidak ada lintasan, tidak ada arah, tidak ada garis akhir, dan akhirnya tidak ada tujuan berlari".        
Sketsa komedi ini menawarkan metafora yang bagus untuk dunia yang serba ingin cepat, penuh dengan orang yang mengejar kesuksesan dan mencari kebahagiaan. Tidak ada keraguan bahwa kita kini hidup dalam masyarakat serba cepat kata Ka Tanto dalam sebuah narasinya; fast society. Kecepatan hidup akan kerja meningkat melampaui semua ukuran yang terdahulu. Kita dengan segera menjadi generasi "pelintas cepat" yang sedang menguji batas-batas hidup yang cepat dan bisnis yang cepat. Semakin banyak dari kita yang juga mempertanyakan kebijaksanaannya. 
Cepat itu mengasyikkan. Cepat menawarkan kemungkinan sukses lebih segera, cinta lebih segera, segalanya lebih segera. Dalam masyarakat serba cepat, kita perlu sekali mengontrol kecepatan. Robert Holden dalam Succes Intelegence mengatakan perusahaan yang serba cepat, seperti Federal Express, Kall Kwik, Prontaprint Ltd., Speedo, dan Kwik Save, mengerti kita tidak akan rela melepaskan kaki kita dari pedal gas. Kita akan terdorong untuk selalu bergegas mengapai dan mengapainya, mengejar dan kembali mengejarnya. Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus (-setelah mengangkat kemanusiaan di atas level binatang dalam hal perjuangan survival, kita kini berusaha meningkatkan manusia menjadi dewa-dewa dan mengubah homo sapiens menjadi homo Deus-) mengatakan, reaksi paling umum pikiran manusia atas prestasi adalah bukan kepuasan, melainkan mengejar lebih banyak. Manusia selalu mencari yang lebih baik lebih besar dan lebih nikmat. Lebih dan lebih. Sebuah candu baru pasca rokok, narkoba dan mungkin juga sex; mengejar kesuksesan, konsekuensinya tergesa-gesa, sibuk dan manic.
Masyarakat serba tergesa-gesa (manic society). Kata manic, berasal dari kata mania, yang merupakan istilah psikologi untuk ketiadaan kesadaran, sejenis kegilaan, kekacauan suasana hati yang ditandai oleh beragam gejala, antara lain aktivitas motorik yang ekstrem, dorongan yang tak tertahankan, keinginan yang terlalu kuat, serta pikiran dan perkataan yang cepat secara berlebihan.
Saya ingin Anda sekalian, untuk sementara waktu, menempatkan pikiran dan posisi Anda sebagai orang yang sedang berlari kencang (generasi sibuk), seorang dari finalis yang sedang berlari tanpa arah. Apa yang harus anda lakukan di saat seperti itu; memilih berlari atau diam memikirkan solusinya? Mungkin, kita butuh rehat dan melihat. Melihat bagaimana? Pierre Teilhard de Chardin, seorang Imam Jesuit dan juga filsuf (tokohnya Fr. Arcon), mengungkapkan bahwa “seluruh kehidupan ini terletak dalam kata kerja melihat. Melihat bukan hanya dengan mata melainkan juga dengan pikiran dan hati; yang juga diwarnai dengan cinta – bukan cinta yang membunuh, memisahkan dan menyakitkan seperti narasi awal di atas – tapi cinta yang menghidupkan; (sesuai kesan ULTAH kamu hari ini Pa Ketua...hhh)Generasi sibuk harus belajar bahwa menjadi sibuk saja tidaklah cukup. Henry David Thoreau, filsuf Amerika menulis “menjadi sibuk saja tidaklah cukup; semut-semut juga sibuk. Persoalannya adalah: apa yang menyibukkan kita. Akhirnya Remahers; khususnya Bro Ancis CMF; janganlah terlalu menyibukan diri dengan sesuatu yang tanpa – atau tidak tahu tujuannya. Rehat sejenak, tentukan lintasan dan berlarilah. Semoga bisa memetik cinta yang bena seperti kisah asmarah Odysseus dan Penelope, legenda Yunani klasik yang bisa jadi penanda, model lain dari cinta. Cinta tidak selamanya berakhir dengan luka; seperti harapanmu Bro Cis; ada karena dicinta  dan mencintai. Happy Birthday!

Yogyakarta, 16 Juni 2020
Fransiskus Sardi
TINGKAT SATU WSC 2019/2020


Senin, 15 Juni 2020

Renda Leke


      Di kampung ada tradisi yang dipercaya hingga saat ini sebagai tradisi untuk menghormati alam khususnya hutan. Kami biasa menyebut tradisi ini dalam Bahasa Rongga; renda leke. Secara literer kata renda diartikan dengan kata kerja tarik, melakukan aktivitas menarik sesuatu, dan leke adalah nama tumbuhan liar jenis tali-temali yang tumbuh di hutan lebat. Sebagai masyarakat yang mayoritas bekerja sebagai petani di ladang, tradisi ini dianggap sebuah kewajiban untuk dilakukan sebelum tanam padi, jagung dan tanaman lainnya di ladang. Warisan gemilang leluhur ini masih hidup hingga saat ini, dan akan selalu mengalir dalam darah penduduk. Menurut pengakuan tua-tua adat, alasan dilakukan renda leke, karena diyakini bahwa tradisi ini adalah ritual untuk memanggil hujan (jika hujan tidak turun sesuai predeksi orang-orang kampung), dan juga tradisi untuk menghormati leluhur dan moyang orang-orang Komba yang tinggal di sekitar Wolonggedo.
       Setiap kali berkunjung ke hutan tersebut, perempuan tidak diperkenakan untuk ikut bersama dalam acara sesajian di hutan lebat tersebut. Di hutan, para tua adat akan memberi sesajian pada alam di hadapan dua buah batu besar yang letaknya berjauhan. Batu leluhur laki-laki pertama ada di bagian atas dan leluhur pertama perempuan letaknya bagian bawah. Dua batu besar tersebut diyakini sebagai kuburan moyang pertama yang meninggal di hutan tersebut. Alkisah, di hutan Nggedo ini leluhur pertaama kali bersua dan saling jatuh cinta, hingga menetap dan membangun tempat tinggal.
Tradisi ini biasanya dilakukan sebelum musim tanam setiap tahun. Konon katanya, nenek moyang orang-orang komba tinggal di hutan lebat tersebut (sekarang dijadikan sebagai hutan lindung). Seperti Adam dan Hawa dalam tradisi Abrahamik yang dilarang untuk memakan buah dari pohon yang ada di tengah-tengah taman tersebut, leluhur kami juga memiliki keyakinan, bahwa ada satu jenis tumbuhan ‘leke’ tali hutan yang tumbuh di tengah hutan tersebut, yang tidak boleh dipotong dan dilukai. Tradisi ini terus terjadi hingga sekarang dan bahkan diyakini sebagai warisan yang tidak akan pernah dilupakan.
Ketika menulis ini, saya teringat Greta Thunberg, bocah Swedia yang mempengaruhi anak-anak remaja seusianya berunjuk rasa demi bumi; semesta; alam. Stop ekploitasi dan perusakan hutan! Thunberg, aktivis lingkungan hidup, turun ke jalan melakukan protes dengan membawa poster yang berisi kecaman lambatnya aksi untuk mengatasi perubahan iklim. Rasa-rasanya cinta pada semesta mulai pudar dan bahkan hilang. Mungkin baiknya kita kembali pada kepercayaan leluhur. Amazon yang dihuni oleh orang-orang Indian juga menghidupi semangat cinta pada semesta.
Budaya masyarakat Indian Amazonia menghormati Ibu bumi sebagai sumber kehidupan, seluruh refleksi mereka atas kehidupan diungkapkan dalam bentuk kesucian, kerakyatan, seni, musik, lagu, dan ritus-ritus asli. Kecintaan pada alam adalah tanggung jawab bersama saat ini. Pertobatan ekologis diharapkan berbuah pada respek terhadap keutuhan ciptaan serta pengembangan manusia yang merupakan persekutuan yang menyadari panggilan untuk menjadi penjaga dan pelindung kehidupan. Gema yang harus ada dalam konsep mesti bergeser dari antroposentrisme menuju ekosentrismeAntroposentris cendrung semena-mena jatuh pada dosa ekologi. Dosa ekologi sebagai tindakan atau kelalaian melawan Allah, sesama, komunitas, dan lingkungan hidup, melawan generasi masa depan, serta kebajikan keadilan. Dibutuhkan suatu pertobatan yang integral; hidup benar dan melakukan yang benar. Saya cinta budaya saya. Cinta semesta.

Yogyakarta, Juni 2020

Fransiskus Sardi







Minggu, 14 Juni 2020

El Hoyo; The Platform


‘Malam minggu, malam menyenangkan’ demikian ungkapan rekan komunitas saat bersua di ruang makan hari ini. Biasanya setiap akhir pekan, satu film pasti akan ditonton bersama. Ada beberapa rekan komunitas saya yang  hobinya mengoleksi film-film baru. Pada saat jamuan bersama, akan ada cerita singkat dari ‘pemilik’ film tentang kisah dalam film tersebut, dan saya yakin seratus persen, kalau Anda (pembaca tulisan ini) mendengar rangakaian kata-katanya, Anda pasti ingin cepat-cepat menontonnya. Bagaimana tidak? Semua pemilik filmnya adalah pengkotbah yang memiliki kemampuan retoris yang memukat dan memikat. Ini sekadar celoteh awal, edisi ini saya ingin berbagi cerita ide saya atas film berjudul El Hoyo.
El Hoyo merupakan film berbahasa Spanyol dengan genre horor-thriller disutradarai oleh Galder Gaztelu-Urrutia. El Hoyo atau The Platform ditulis oleh David Desola dan Pedro Rivero. Film ini merupakan pemenang People’s Choice Award di Toronto International Festival Film tahun 2019 (TIFF), Festival Film Internasional Toronto. Dibintangi oleh Iván Massagué, Antonia San Juan, Zorion Eguileor, Emilio Buale, serta Alexandra Masangkay. Film berdurasi  sembilan puluh empat menit ini mengisahkan tentang sistem kehidupan manusia dan betapa peliknya persoalan kehidupan tersebut. Malam ini kami menonton The Platform dengan subtitle Indonesia karena sebagaian dari kami masih sementara berjuang belajar Bahasa Spanyol dan lebih tertarik ke Bahasa Inggris .
Film The Platform mengisahkan tokoh call Goreng (Iván Massagué) yang berjuang mempertahankan kehidupan selama enam bulan dalam sebuah penjara vetikal, di mana sel-sel tahanan bertumpuk hingga 333 sel. Goreng masuk ke dalam penjara secara sukarela demi iming-iming mendapat gelar diploma. Biasanaya para tahananan diperkenankan untuk membawa satu barang pilihan yang disediakan oleh pengelola. Sebelum masuk ke dalam sel tersenut ada interview pribadi. Goreng memilih membawa sebuah novel karya Miguel de Cervantes berjudul Don Quijote (Quixote). Novel dengan jumlah 863 halaman ini diterbitkan dalam dua volume pada tahun 1605 dan 1615 dengan judul lengkapnya ‘Don Quixote de la Mancha’. Kita lanjut filmnya, ketika Goreng terbangun di sel beton yang ditandai dengan angka 48 teman satu selnya, Trimagasi, menjelaskan bahwa mereka berada di penjara bergaya menara tempat makanan dikirim melalui platform yang bergerak dari atas ke bawah melalui lubang besar di lantai dan langit-langit.
 Film ini tidak menggambarkan seseorang sebagai yang pribadi bermoral baik atau buruk, kisah dalam film menanyakan apa yang akan Anda lakukan jika menemukan diri Anda berada di lantai 250 atau di lantai 48, atau dilantai 333, atau dilantai 6. Sementara asyik menonton beberapa teman saya mengatakan, film ini mengajarkan tentang solidaritas. Saking menantangnya, walaupun ada yang fobia darah, alur film memaksa kami bertahan menonton sampai akhir.  Solidaritas! Bagaimana menghidupkam solidaritas di ambang maut. ‘Makan atau dimakan’ kata Trimagasi. Para tahanan yang berada di lantai atas akan memiliki peluang untuk menikmati banyak jenis makanan. Semakin kebawah semakin sedikit sisa makanannya,bahkan kosong untuk sampai pada tingkat terendah. Maka makan dan memakan menjadi persoalan baru untuk lantai paling rendah.
Gambaran, dari atas ke bawah, mungkin bisa di tempatkan dalam kacamata sistem kapitalisme,(tentang kapitalisme: my community members, bisa bersemadi dalam skripsi Diakon Jenar CMF…hhh)  yang mana yang di atas menguasai yang di bawah. Yang bermodal menguasai yang miskin dan papa. Menurut rekan saya inilah fenomena kehidupan yang sebenarnya ingin disiratkan el hoy0. Kesenjangan tidak semata ada antara yang miskin dan kaya, tetapi yang memiliki akses dekat dengan sumber daya. Distribusi sumber daya (dalam film digambarkan dengan makanan) seharusnya dilaksankan dengan baik, tetapi cendrung kebablas.
Praktek sistem politik juga merupakan sisi lain yang disoroti film ini, sebagaimana pemimpin yang berjiwa sosialis terjatuh atau cendrung tirani. Goreng dan Baharat (representasi sosialis) berjuang untuk membagi makanan secara adil agar bisa sampai pada sel 250. Dalam proses pendistribusian tersebut kekerasan terjadi. Bagi teman saya ini adalah gambaran kehidupan saat ini. Penguasa atau kaum sosialis cendrung terjerumus dalam praktek kekerasan, ‘solidaritas kotor’ kadang terjadi dalam praksis hidup manusia.
Pembaca REMAH-REMAH, El Hoyo adalah gambaran menarik nan menantang realita kehidupan. Perpindahan dari ruang tahanan yang satu ke tahanan yang lain adalah gambaran dinamika perjalanan hidup manusia: roda berputar, kadang di atas, kadang di bawah, tertindas dan menindas, makan dan dimakanm dst. Bagaimana Anda menempatkan diri Anda ketika berada ‘di atas’:  kapitalis, sosialis dan penguasa, dan ketika berada ‘di bawah’: marginal, kaum papa dan miskin. Akhirnya, saya biarkan imajinasi dan interpretasi kalian berperang dengan open ended The Platform, tidak mengubah dunia, tapi bisa mengubah penonton. Mungkin Anda!

Yogyakarta, 14 Juni 2020

Fransiskus Sardi

Jumat, 12 Juni 2020

SI KECIL SUKA MENDENGAR

"Janganlah kita bunuh dia! Janganlah tumpahkan darah, lemparkanlah dia ke dalam sumur yang ada di padang gurun ini, tetapi janganlah apa-apakan dia" (Kej. 37: 21-22)
            Ribuan tahun silam dalam sejarah perjalanan agama Abrahamik, kisah tentang Yakub menjadi kisah yang menarik perhatian banyak orang. Bahkan kisah itu masih hidup hingga saat ini. Bagaimana tidak? Ini adalah ceritera generative yang khas dalam tradisi Abarahmik. Yakub;  cucu Abraham dan Sara, anak dari Ishak dan Ribka seorang putra ajaib hasil penantian yang begitu panjang, dan cukup memakan waktu yang lama. Ia memiliki saudara kembar bernama Esau.
            Konon, menurut kisah Alkitabiah, Yakub dan Esau mempersoalkan hak kesulungan. Esau menjual hak kesulungan dengan semangkuk kacang merah dan roti. Konsekuensi dari tindakannya ini ialah Yakublah yang mendapat berkat dan hak kesulungan. Hidup Yakub selanjutnya selalu mendapatkan berkat. Ia memiliki 12 orang anak yang punya karakter dan kekhasanya masing-masing. Saya tidak terlalu menguasai kisah tentang keduabelas anaknya itu. Saya hanya ingin mengisahkan tentang seorang ‘puteranya’ yang masih ada bersama-sama dengan saya saat ini.
            Hari ini tanggal 12 Juni menjadi hari bahagianya. Dalam doa yang dia goreskan dalam story WAnya dia menyampaikan syukur atas perlindungan Tuhan pada ibunya yang telah melahirkannya. “Terimakasih Tuhan, telah menjaga mama selama 9 bulan. Hari ini engkau memberikan kelegaan baginya. Makasi Mama”. Ini adalah penggalan doa yang ia lantunkan pukul 00:07. WIB. Paginya, pukul 08:30 dia kembali berceloteh dalam storynya, “syukur kepadaMu untuk penyertaanMu hingga usia yang ke 22 ini. Terimakasih mama, bapa, dan adik-adikku, terimakasih komunitas untuk apresiasi dan masukan-masukannya, terimakasih untuk semua yang selalu mendukung, terimaksih untuk semuanya, juga buat kk Ghe yang membuat kue ulang tahunnya” (tulisan ini di buat hanya untuk membuatnya tetap mengenag ulang tahun di tengah pandemic c-19).
Dalam kelompok Yang Tak Terpadamkan, si kecil ini ialah pribadi yang paling suka mendengarkan. Mendengarkan, telinga, dua kata yang berkaitan. Sebagai Putera CMF, saya igin meneruskan 4 tingkatan mendengarkan versi Pater General (goresan ini saya peroleh dari Master P.D.K. ceo Di Ketepian Babilonia).
 Level-1: Echoing. Pada tingkat ini, mendengarkan tidak terjadi, karena orang tersebut berada dalam lingkaran mentalnya yang tertutup dan hanya mendengar apa yang sudah ia ketahui dan apa yang menegaskan kembali ide, pendapat, dan prasangkanya sendiri. Apa pun di luar ini disingkirkan atau ditolak. Oleh karena itu, ini lebih merupakan monolog daripada dialog.
Level 2: Berdebat. Pada level ini, seseorang terpaku pada persepsinya sendiri meskipun ada paparan informasi baru. Oleh karena itu, seseorang berjuang untuk melindungi persepsi-persepsi yang ada dengan mengabaikan informasi baru apapun. Argumentasi defensif menghalanginya untuk mendengarkan dengan tulus.
Tingkat 3: Mendengarkan dengan empati. Pada tingkat ini, seorang bersedia mengurung perspektifnya sendiri dan bergerak keluar untuk memahami yang lain. Ini adalah pergeseran ke tingkat yang lebih dalam karena orang tersebut dapat menempatkan dirinya pada posisi orang lain dan terhubung dengan pengalaman orang tersebut. Ini memungkinkan pandangan-pandangan akan lebih jauh lebih kaya. Empati mengubah permusuhan menjadi keramahan dalam kaitannya dengan perspektif berbeda yang ditawarkan. Dalam perjalanan Emaus, Yesus membiarkan para murid mengungkapkan apa yang sedang terjadi dalam diri mereka dan mendengarkan frustrasi mereka.
Level 4: Mendengarkan secara generatif. Ketika mendengarkan semakin mendalam, seseorang terhubung dengan masa depan yang muncul yang tersembunyi pada masa kini. Pada level ini seseorang berhubungan dengan tujuan hidup dan kemungkinan masa depan yang menunggu untuk dilahirkan. Yesus membuka pikiran para murid untuk memahami bagaimana segala sesuatu berlangsung sesuai dengan rencana Allah dan untuk memahami seluruh arti penyaliban, kematian, dan kebangkitan Kristus. Mendengarkan Yesus mengobarkan api di dalam hati mereka. Mereka melihat kemenangan hidup dan cinta melampaui kisah sengsara, yang sudah ada dalam situasi mereka saat ini.
            Senada dengan Pater Jendral, saya ingin menyampaikan pesan ini untuk adik Ube CMF, tetaplah jadi pendengar yang baik. Pendengar yang baik ialah pendengar yang sampai pada level 4. Pendengar baik punya imajinasi jika kedua telinganya akan membentuk potongan-potongan hati; dengarkanlah dengan hati. Akhirnya, jadilah Ruben yang berani mengatakan ‘janganlah kita membunuh dia’ dan si kecil yang mau mendengarkan, sebagimana kau lontarkan ‘saya si kecil pendengar yang baik (rendah hati  katanya)’. Iya, kau memang kecil dari kami bersembilan (fisik), but not about your spirit. You more than me. Selamat bekisah di 22.
Ube CMF

         

Rabu, 10 Juni 2020

DOA: KEJENUHAN DAN SENSASI



Doa sering diartikan sebagai hubungan yang intim dengan Tuhan. Doa memampukan seseorang untuk melakukaan dan mendapatkan apa yang dipandang tidak masuk akal manusia; melampaui kodrat manusia. Doa mengubah hidup manusia, menjadi kekuatan bagi manusia yang lemah dan rapuh, menjadi sarana yang menjadikan pribadi manusia mampu mencapai sesuatu yang adikodrati. Dengan berdoa kita merasa dikuatkan dan bisa menerima semua tantangan, cobaan, dan penderitaan dalam hidup. Doa juga sering diartikan menyerahkan seluruh hidup pada rencana Tuhan. Membiarkan Tuhan membentuk dan menjadikan hidup sebagaimana mestinya, berdasarkan kehendak dan rencanaNya. Salah satu tokoh Kitab Suci yang menampilkan kesalehan dalam berdoa ini adalah Ayub. Kesalehannya dalam berdoa membuatnya bertahan walaupun diuji dalam berbagai bentuk penderitaan. (Baca; Kisah Ayub)
Alkisah Ayub adalah tokoh yang sangat saleh dan jujur. Ia takut akan Allah dan menjauhi darinya segala kejahatan. (Cf. Ayb. 1:1). Dalam buku, Degup Jantung Tuhan Curhat Wanita Pendaharaan, Gusti Supur, CMF. menjelaskan hakikat kata takut. Takut (yare) tidak menunjukan pada keadaan horor, tetapi pada sikap Veneror: menghormati dan bersembah sujud dihadapan  Allah sang Nama (hashem). Iman Ayub adalah iman yang takut akan Allah, takut akan Allah selalu berarti Shama: mendengarkan Dia dengan taat. Iman Ayub bukanlah iman yang cerewet, banyak bicara, melainkan iman yang selalu ditandai dengan sikap mendengarkan dengan taat dalam keheningan batin.
Tokoh Ayub menyerahkan seluruh hidupnya secara total pada kehendak Allah. Walaupun kemalangan dan penderitaan menimpa dirinya ia tetap mentaati Allah dan tidak pernah sekali-kali mengutuk Allah. Para saudara, sahabat dan bahkan isterinya sendiri mempertanyakan kehadiran Allah di saat-saat Ayub mengalami penderitan itu (cf.Ayb. 2:9). Dalam derita itu Ayub merasakan ketidakadilan yang diperlakukan Tuhan atas dirinya. Tetapi ia tetap setia dan taat pada Allah. setia dan taat ini karena ketakutannya akan KeMahaKuasaan Tuhan. Dalam kacamata kebajikan kerendahan hati, takut akan Tuhan adalah tindakan auto-submission di mana seseorang secara suka rela  dan tulus ikhlas menenggelamkan dirinya dalam samudera Kemahakuasaan Tuhan. Saat mana hidupnya dibiarkan dimonopoli secara total oleh Allah.
Perjalanan hidup Ayub sebagai seorang hamba Allah yang saleh namun ditimpa kemalangan, merupakan sebuah gambaran perjalanan hidup umat Kristiani dari jemaat perdana hingga zaman sekarang. Kisah Ayub, menggambarkan bahwa doa dan pengharapan yang besar pada Allah memampukan manusia untuk menerima semua rencana Allah. Lalu bagaimanakah pengaruh doa di tengah perkembangan teknologi dan kemajuan dunia saat ini? Apakah doa masih sungguh sebuah sarana transformasi atau hanyalah sebuah rutinitas belaka yang tak memberi pengaruh sama sekali?
Hemat penulis, berdasarkan realitas yang diamati dalam rumah formasi kita khususnya di Pra Novisiat Claret, kita sepertinya sedang mengalami sebuah kemandekan spiritual; pudarnya nilai spiritual dalam diri dan kurangnya sikap mistis injil. Hal ini dapat diamati dalam tindakan doa-doa harian kita yang kadang hanya menjalankannya sebagai aktivitas belaka, tanpa kerinduan akan perjumpaan dengan Dia. Memang tidak semua kita mengalami sikap ini, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa kita sedang mengalami kejenuhan. Hal ini di satu sisi menujukan bahwa doa kadang hanyalah sebuah ajang sensasi, ‘roh’ dari doa itu sendiri tidak lagi diperhatikan.
Kongregasi Claretian dalam dokumen kapitel XX, Claretian In Process of Renewal; menyadari bahwa banyak anggota Claretian yang mengalami sejenis kemandekan spiritual dan kurang memiliki sikap mistik injil dan semangat tinggi yang dibutuhkan dalam melaksanakan karya misi (cf. CPR. no. 46). Keprihatinan ini secara tidak langsung menunjukan bahwa kemandekan itu sudah ada seiring berkembangnya kongregasi. Mengatasi problema kongregasi menekankan kepada para Claretian untuk kembali menghayati secara mendalam komitmen pribadi, pengalaman khas dari rahmat panggilan dan menghidupkan kembali secara sungguh makna hidup berkomunitas. Solusi ini setidaknya mengantar kita untuk mengatasi rasa jenuh dalam diri.
Mengatasi penyakit pikiran atau kejenuhan, penulis mencoba menawarkan gagasan cemerlang Albert Camus dan Paulo Coelo. Albert Camus pada bagian pengantar esay Mite Sisifus mengatakan bahwa dalam kehidupan harian tentunya manusia akan selalu sampai pada sebuah sikap atau titik kejenuhan. Camus menyebutkan ini sebagai sebuah penyakit pikiran (mal de l’esprit). Senada dengan Camus, Paulo Coelo seorang novelis kelahiran Brasil, Agustus 1947 dalam novelnya The Zahir  mengafirmasi pernyataan Camus, di mana setiap manusia akan sampai pada sebuah sikap kejenuhan yang berkepanjangan dan atau hanya sementara. Coelo membahaskannya dengan istilah accomodador. Camus dan Coelo menegaskan bahwa kejenuhan itu sebenarnya  muncul karena pikiran manusia, oleh karena itu mereka mengatakan hal yang perlu diperhatikan adalah membangun sebuah sikap kesadaran. Kesadaran dapat tercapai melalui dua cara yakni dengan menciptakan suasana dan ruang kontemplasi kolektif (contemplative collective) dan keheningan batin yang personal dan comunal. Seorang akan menjadi pribadi yang baik apabila dia mampu menembus dan menerobos titik kejenuhan itu sendiri. Kejenuhan yang membuat kita mengalami kemandekan dan kurang memiliki sikap mistik injil. Kejenuhan juga membuat kita menjadikan doa sebagai ajang sensasi.
Penulis meyakini kejenuhan akan berlalu jika kita belajar dari tokoh Ayub dan juga solusi yang ditawarkan oleh Albert Camus dan Paulo Coelo. Sebagai Claretian dan Juga Calon Claretian kita juga mendapat pencerahan yang disuguhkan oleh dokumen kapitel ke-20 untuk kembali bersemangat dalam doa dan memperbarui diri kita (Renew our self). Dengan demikian “roh” dari doa mampu menjadi sarana transformasi diri.
Yogyakarta, 2020
Fransiskus Sardi