Senin, 27 September 2021

Pemikiran Teologi Gregorius dari Nyssa

 


Riwayat Hidup

Gregorius dari Nyssa lahir pada tahun 335 di Kapadokia.[1] Gregorius dari Nisa adalah seorang uskup, mistikus, teolog, dan santo.[2] Ayahnya bernama Basil dari Caeserea, yang terkenal sebagai seorang ahli pidato di Kapadokia (sekarang Turki).[3] Pada awalnya Gregorius menekuni ilmu retorika akan tetapi akhirnya ia memutuskan menjadi seorang pertapa dengan menjauhkan diri dari kehidupan duniawi. Gregorius menujukan dirinya sebagai orang yang tertarik dengan meditasi, refleksi, serta keterbukaan bagi kebudayaan pada zamannya. Ia menaruh perhatian pada teologi mistik dan kontemplasi.

Pada tahun 372 Gregorius ditahbiskan menjadi uskup di Kapodokia yaitu di wilayah Nyssa. Itulah alasan mengapa ia dipanggil Gregorius dari Nyssa. Ia mengikuti konsili Antiokhia dan konsili Konstantinopel, tempat mempertahankan credo (syahdat para rasul) melawan arianisme. Arianisme ialah ajaran dari Arius, seorang imam Alexandria (Mesir) yang menyangkal keallahan Yesus. Allah Putera dianggap bukan Allah yang sejati, melainkan semacam makhluk pengantara di antara Allah-Bapa dan seluruh alam ciptaan. Ajaran ini ditolak oleh konsili Nicea (tahun 325) dengan alasan tidak sesuai dengan Wahyu yang dibawa oleh Yesus Kristus. Gregorius wafat pada tahun 395.[4] Gregorius adalah murid Origenes.[5]

Pendidikannya sebagai orang kristiani diperhatikan secara khusus oleh Basilius Agung kakaknya, yang pernah disebutnya ‘bapa dan guru’ dan juga oleh saudarinya Macrina. Gregorius dari Nyssa juga dikenal sebagai pemikir dalam hal teologi spekulatif dan mistik. Ia berbeda dengan kedua orang Kapadokia Gregorius dari Nazianze yang termasyhur dalam hal berpidato dan Basiulius Agung yang condong sebagai administrator.[6]

Sumbangsih Teologinya

            Pemikiran teologis Gregorius dari Nyssa tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Gregorius dari Nazianze dan Basilius Agung. Mereka mengembangkan terminologi yang tepat untuk membedakan antara hakikat Allah pada umumnya dan pribadi individual. Ketiganya menggunakan konsep ousia untuk menunjukan haikat (esensi atau kodrat) ilahi yang dimiliki bersama oleh ketiga Diri, sedangkan konsep hypostatis untuk eksistensi pribadi yang dimiliki oleh masing-masing Diri ilahi. Ousia mengacu kepada hakikat Allah yang umum, dan hypostatis menunjuk kepada bentuk-bentuk khusus yang diterima oleh hakikat ilahi ini dalam diri pribadi Bapa, Putra, dan Roh Kudus.[7]

Bidaah yang dihadapi oleh Gregorius pada zamannya adalah apolinarisme yaitu bidaah dalam bidang Kristologi. Bidaah ini dipelopori oleh uskup Apollinarius dari Laodikhea (310-390) yang membela keilahian Kristus yang berdaya guna, terutama demi keselamatan semua manusia dengan mengurbankan kemanusiaan Yesus Kristus dengan penegasan bahwa Kristus tidak mempunyai roh atau jiwa rasional.[8] Apolinarius mengunggulkan unsur keilahiaan dengan mutlak sehingga kurang memperhatikan unsur kemanusiaan Yesus Kristus. Dalam bidang Kristologi Gregorius dari Nyssa membahas Teologi gambar (teologi-eikon) dan Ketuhanan Yesus Kristus dan Keilahiaan Roh Kudus. Pemikiran teologis dari Gregorius yang dipengaruhi oleh filsafat adalah penjelasan tentang substansi yang sama antara Bapa dan Putra.[9]

Pemikrannya yang lain dalam teologi ialah tentang keselamatan di akhir zaman. Menurutnya orang yang tidak dibaptis dan juga yang telah dibaptis tetapi kemudian berdosa dan tanpa menebusnya dengan “doa atau filsafat” sesudah kematiannya harus dimurnikan oleh api.[10] Gagasan tentang neraka sebagai hukum abadi tidak ada pada Gregorius. Gregorius memandang pemulihan dunia itu sebagai akhir zaman secara mutlak, satu kali untuk selamanya. Dengan kecerdasaan yang tajam dan pengetahuaan tentang filsafat dan teologi, dia membela iman kristiani melawan para bidaah yang menyangkal keallahan Putra dan Roh Kudus (seperti Enomius dan orang-orang Makedonia), atau menyangsikan kesempurnaan kemanusiaan Kristus (seperti Apollinaris).

Gregorius merenungkan secara khusus penciptaan manusia. Dalam penciptaan dilihatnya pantulan Sang Pencipta dan disini ditemukan jalan menuju Allah. Gregorius juga menulis karya penting tentang riwayat hidup Musa, yang ditampilkan sebagai manusia dalam perjalanan kepada Allah: pendakian gunung sinai baginya menjadi suatu gambaran pendakian kehidupan manusiawi menuju kehidupan sejati, menuju pertemuan dengan Allah. Gregorius menjelaskan Allah adalah “seniman yang terbaik, Ia membentuk kodrat kita sedemikia rupa, sehingga sesuai untuk mendapatkan kedudukan sebagai raja. Melalui kelebihan yang diberikan kepada jiwa dan bentuk yang diberikan kepada tubuh, Allah sudah mengatur supaya manusia sungguh sesuai untuk mendapat kekuasaan”.[11]

Gregorius dari Nyssa menunjukkan diri sebagai orang yang berpandangan amat luhur tentang martabat manusia. Tujuan manusia adalah menjadikan diri serupa dengan Allah, dan tujuan itu tercapai melalui kasih, pengetahuaan dan pelaksanaan keutamaan-keutamaan yang merupakan “sinar-sinar cahaya yang turun dari kodarat ilahi”, dalam gerakan terus-menerus mendekat pada yang baik. Panggilan manusia seluruhnya adalah hidup dalam kasih dan pengetahuan-pengetahuan akan keutamaan hidup.


[1] Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa Gereja, diterjemahkan dari The Fathers oleh Waskito SJ, (Malang: Dioma, 2010), 123.

[2] Morwenna Ludlow, Gregory of Nyssa, ancient and [post] modern, (New York Oxford University Press: 2007), 1.

[3] Agustinus Riyadi, Bapa-Bapa Gereja Berfilsafat, (Surabaya: Pustakamas, 2011), 91.

[4] F.D Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 121-122.

[5] Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 530.

[6] Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 1 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 151.

[7] Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 1, 151.

[8] Agustinus Riyadi, Bapa-Bapa Gereja Berfilsafat, 93.

[9] Agustinus Riyadi, Bapa-Bapa Gereja Berfilsafat, 94-97.

[10] Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 2, 529.

[11] Paus Benediktus XVI, Bapa-Bapa Gereja, 124-126.

Minggu, 26 September 2021

Filosofi Jendela Kamar

            

Dok. devianart.com

Malam bertabur bintang, ditemani angin sepoi dan gerimis yang menjilat, membasahi rerumputan. Pandi, seorang penikmat kopi dan pecandu rokok berdiri sambil pangku tangan menatap keluar rumah. Ia berkhayal di sudut kamarnya, sambil menatap awan kelam lewat jendela yang sengaja ia buka.

Walaupun malam berisik dan risau, ia tetap membiarkan jendelanya terbuka. Dan itu akan dibiarkan terbuka sampai selamanya. Menurutnya, orang yang selalu membuka jendela kamar adalah orang yang baik dan terbuka.

Analoginya sederhana, kamar itu sama seperti hati seseorang, dan orang yang membiarkan hatinya dipandangi oleh orang lain adalah orang yang benar-benar memiliki hati, orang yang baik, dan orang yang pemurah, orang yang ramah. Pandi memang kadang suka aneh-aneh dalam berpikir! Kok bisa-bisanya kamarnya disamakan dengan hati.

Ketika suatu hari saya masuk ke kamarnya dan menanyai alasan perihal jendela kamarnya tersebut. Ia berceloteh panjang, “saya seorang penikmat malam, penikmat siang, penikmat bulan-bintang, penikmat matahari, penikmat angin, penikmat gerimis, penikmat terik, penikmat senja, penikmat hujan, penikmat dingin dan penikmat segalanya.

Bahkan kakakmu yang ganteng ini lebih dari seorang penikmat, kakak adalah seorang pencinta yang sejati. Pecandu yang tak mau sembuh. Kakak tidak akan pernah menutup jendela kamar, kakak membiarkan semua hal, entah baik buruk yang kakak sebut sebagai candu atau nikmat itu masuk ke dalam kamar kakak, masuk ke dalam hati kakak, masuk ke dalam kehidupan kakak”.

Sebagai seorang adik bungsu, tentu saya iba dengan kakak yang memiliki kebiasaan buruk ini – yeah – walaupun buruknya hanya dari paradigma berpikir saya, bagi si kutu buku dan penggemar sastra ini ‘untuk memahami arti penderitaan, seseorang harus menderita, jika ingin memahami cinta, dia juga harus mencintai’.

Dia memahami bahwa segala sesuatu yang ingin kita peroleh, harus kita perjuangkan. Dan perjuangan itu harus diwarnai dengan rasa, sense katanya. Menurutnya lagi, semua orang bisa membeli harta, tapi tidak seorangpun bisa membeli rasa. Rasa hanya bisa diperoleh dari perjuangan menghargai semua hal dalam hidup. Orang yang memiliki rasa akan mencintai semua hal, entah jahat atau pun yang baik.

Selama saya masih menjadi anak SMP, saya akan susah memahami setiap percakapan dengan kakak pencinta filsafat dan ilmu retorika ini. Dia satu-satunya orang dalam rumah kami yang berkesempatan belajar filsafat di sebuah sekolah tinggi filsafat. Ia sangat mencintai filosofi sebab-akibat. 

Filosofi sebab-akibat sangat menyatu denganya, bahkan mengalir dalam urat nadi Pandi. Ia percaya setiap hal punya penyebabnya, dan selalu menimbulkan akibat, dan setiap akibat punya penyebabnya. Dia selalu membuka jendela karena ia memiliki alasannya, dan ia tahu apa akibatnya.

Ia juga paham setiap hal yang dilakukan akan punya akibatnya. Ia percaya jika ia melakukan hal baik pada orang lain, maka ia juga pasti akan mendapat perlakuan yang baik. Hal ini yang menjadi tesis dasar mengapa ia selalu membuka jendela. Ia mencintai alam semesta, dan ia ingin berbuat baik pada mereka dengan membiarkan mereka masuk dalam kamarnya. Aneh memang sih... tapi itulah yang terjadi!

“Ka, kenapa sih kak nggak pernah tutup jendela setiap tidur malam hari”? tanyaku  lagi di kamar makan saat sarapan pagi bersama. Beruntungnya pagi ini kami makan bersama Papa dan Mama. Biasanya Papa dan Mama selalu sibuk, dan sejak subuh sudah meninggalkan rumah menuju kantor masing-masing. Sebagai putera bungsu dari tiga bersaudara, saya merasa sedikit beruntung dengan adanya pandemi covid-19, akhirnya saya lebih banyak waktu bersama malaikat tanpa sayap dan kedua kakak saya yang punya karakter ‘gila-gilaan’ – bukan gila benaran yeah –  dan aneh-aneh ini.

“Kamu kepo banget yeah Ancis! Bukannya semalam kakak sudah berikan alasannya kan? Nanti dulu baru kita cerita lagi ya, sekarang sarapan dulu, kasihan tuh mama sudah siapkan mie dan telur untuk kita, udah lama juga nunggu kita di sini. Ayo makan!” Bukannya menjawab pertanyaan saya, Pandi malah sibuk makan.

“Yeah ayo makan semuanya! Mama udah siapin sarapan kesukan kalian ni! Limabelas menit lagi mama ada meeting via zoom di kamar tamu. Kalian jangan berisik ya” tambah mama.

“Iya mama” jawab kami bertiga kompak.

“Nanti papa juga ada rapat ya, rapatnya juga dari rumah kok. Kalian siapkan diri untuk belajar di kamar kalian masing-masing” ujar papa sambil menatap kami semua yang duduk melingkar di meja makan.

“Kamu Pandi gimana skripsinya, udah sampai bab terakhir ya?” tanya Papa pada Pandi.

“Sudah fix semua Pa, sudah ujian dua minggu lalu kok! Maaf ya Pandi tidak memberitahukan Papa dan Mama. Saya ujianya di kamar via zoom juga kok. Mario sama Ancis juga nggak saya beritahu! Nggak mau ngerepotin kalian” jelas kak Pandi.

“Sejak kecil dulu kakak bermimpi bertemu tentang diri kakak yang berdiri dekat jendela tanpa busana. Saat itu sedang hujan, anehnya juga pada saat yang sama sedang terjadi angin besar. Hujan membasahi diri kakak yang berdiri dekat jendela. Setelah hujan matahari langsung menyengati tubuh kakak. Kakak basah keringatan. Setelah semuanya reda, kakak bermimpi dalam mimpi, seorang pria berambut panjang dan gimbal memberikan sebuah kalimat yang sangat menarik dan itulah yang mengubah kehidupan kakak sejak hari itu. Kalimatnya demikian, jika engkau mencintai hujan, lalu mengapa ketika hujan datang engkau mengenakan payung untuk melindungi dirimu? Jika engkau mencintai matahari, lalu mengapa engakau memilih berteduh di bawah naungan pohon ketika matahari menyinari bumi? Jika engkau mencintai angin, mengapa juga engkau mengenakan sweater atau kain selimut di saat istirahat malam? Kau lahir dalam keadaan telanjang, dan kau akan menghakiri hidupmu dalam keadaan telanjang pula, sebaiknya engkau tidak perlu menutup jendela mu ini, saya ingin engkau merasakan setiap tetesan air hujan, setiap embusan angin, setiap keringat dibawah terik matahari. Setiap rasa yang kau rasakan tidak bisa dibayar oleh apapun juga. Kau hanya bisa membayar tenaga setiap orang, bisa membayar waktu setiap orang, tapi kau tidak bisa merasakan perasaan yang setiap orang rasakan, itulah filosofi hidup yang dipelajari dari jendela versi saya”.

 

Sabtu, 25 September 2021

TEOLOGI FEMINIS

             


Hampir semua teologi dalam tradisi kristiani, termasuk teologi pembebasan yang dilakukan dari perspektif orang miskin dan tertindas, telah dilakukan oleh teolog-teolog laki-laki. Dewasa ini kita melihat di beberapa belahan dunia, beberapa kaum perempuan bangkit memenemukan martabat dan suara mereka sendiri.

Efekya adalah saat ini dalam komunitas para murid ada kecendrungan untuk direfleksikan dari sudut pandang dan pengamatan perempuan. Banyak teolog kristen yang memperlakukan kaum perempuan tidak saja sebagai jenis makhluk hidup yang berbeda tetapi juga sebagai makhluk yang cacat Tertulianus (160-225) menyebut perempuan sebagai “gerbang iblis”.

Agustinus (354-430) berpendapat bahwa hanya lelaki sendirilah yang merupakan citra Allah; seorang perempuan adalah citra Allah hanya apabila bersama dengan suaminya. Thomas Aquinas (1225-1274), dipengaruhi oleh Aristotelses, menyebut perempuan sebagai makluk “cacat” dan “terkutuk”.[1] 

Feminisme telah menjadi hal yang penting dari budaya barat modern. Feminisme adalah sebuah pergerakan global yang bekerja pada emansipasi wanita, berdebat untuk kesetaraan gender dan pemahaman yang benar tentang hubungan perempuan dan laki-laki yang harus ditegaskan oleh praktek dan teologi kontemporer.

Terminologi lama yang digunakan ialah “kebebasan wanita”, (women’s liberation) menekankan fakta bahwa sebuah pergerakan pembebasan mengarahkan upaya pada pencapaian kesetaraan untuk perempuan dalam masyarakat modern, khususnya melalui penghapusan hambatan termasuk keyakinan, nilai-nilai, dan sikap- yang menghambat proses tersebut.[2]

Teologi Feminis bertujuan untuk memahami dan mengkritik tradisi dominasi pria dan menantang citra andorsentrisme[3] tentang Tuhan dan kemanusiaan (Feminist theology thus aims to understand and criticize male-dominated tradition and to challenge androcentric images of God and humanity).[4] Feminisme menjadi gerakan baru sebagai bentuk keinginan untuk mengakui sebuah perbedaan atas pendekatan pada bagian wanita dalam perbedaan budaya dan kelompok etnik.

Ada banyak jenis teologi feminis, tetapi pada umumnya tetap dapat dibedakan menjadi tiga golongan:[5]

Yang pertama disebut teologi feminis revolusioner, Aliran revolusioner diciptakan oleh perempuan-perempuan yang, setelah menyelidiki tradisi kristiani mengambil kesimpulan bahwa tradisi itu didominasi oleh kaum laki-laki dan menyatakan bahwa tradisi itu tidak dapat memberikan harapan perbaikan.

Perempuan-perempuan ini biasanya memberikan suara mereka dengan hentakan kaki mereka dan meninggalkan Gereja. Fenomena ini menjadi semakin besar di beberapa negara. Untuk membersihkan agama dari unsur dominasi laki-laki, mereka membentuk kelompok-kelompok yang berdoa dan beribadat secara bersama-sama.

Bagi kelompok-kelompok ini, persaudarian adalah nilai yang besar dan Allah yang di sapa adalah Dewi.[6] Jelas bahwa para teolog feminis revolusioner tidak tertarik pada teologi katolik yang khas, apalagi pada refleksi tentang  Yesus Kristus.

Banyak teolog feminis radikal bisa secara pasti dikatakan sebagai kaum pasca kristen. Banyak diantara mereka pada mulanya ambil bagian dalam gereja-gereja Kristen, namun kesadaran feminisnya mendorong mereka menyimpulkan bahwa agama kristen itu adalah patriakat yang tidak dapat disembuhkan lagi dan bahkan anti perempuan.[7]

Tokoh feminis revolusioner ini misalnya Matilda Joslyn Gage (1862-1893). Ia menandaskan bahwa kalau perempuan masih berharap untuk dibebaskan, maka mereka mesti meninggalkan agama kristen serta kode-kode patriakat yang dipengaruhi oleh Kitab Suci Kristen.

Yang kedua: teologi feminis reformis, para teolog feminis reformis meskipun sependapat bahwa tradisi kristiani telah didominasi oleh kaum laki-laki masih melihat alasan untuk tetap berharap bahwa teologi kristiani dapat diubah, sebab tradisi ini juga mengandung unsur-unsur pembebasan yang kuat.

Maka, mereka memilih untuk tetap tinggal dalam gereja dan berusaha untuk mengadakan pembaharuan. Didalam kelompok ini ada banyak pendekatan yang berbeda-beda (simbolik, fundamentalis, liberal), tetapi menarik bahwa mayoritas teolog feminis katolik seperti Rosemary Radford Reuther, Elizabeth Schussler Fiorenza, Anne Car dan Margaret Farley, bekerja dengan model pembebasan dalam arti bahwa mereka mengusahakan pelucutan patriaki dan keadilan yang sama terutama bagi orang-orang yang terampas dan tertindas (Elisabeth, 120).

Yang ketiga: teologi feminsi kristen rekronstruksi,[8] model yang ini meiliki titik temu antara teologi reformis dalam komitmen kepada agama Kristen, namun melihat sikap yang diambil oleh feminis reformis sebagai tanggapan yang tidak memadai terhadap penindasan serta status kelas dua kaum perempuan.

Mengizinkan kaum perempuan memegang jabatan gerejani dan melaksanakan pelayanan-pelayanan gerjani terkait lainnya tidak memadai. Para teolog feminis rekonstruksi mencari sebuah intipati teologis yang membebaskan kaum perempuan di dalam bingkai tradisi kristen itu sendiri.

Namun juga mencita-citakan suatu pembaruaan yang lebih mendalam, suatu konstruksi sejati, bukan saja menyangkut struktrur-struktur gerejaninya melainkan juga struktur-struktur masyarakat madani. Sama seperti para teolog feminis revolusioner, kaum feminis rekonstruksionis membuat penilaian kritis terhadap patriakat.

Namun mereka percaya bahwa dengan menafsir ulang simbol-simbol dan gagasan-gagasan tradisional agama kristen tanpa melepaskan Allah yang diwahyukan dalam diri Yesus Kristus merupakan hal yang mungkin diidam-idamkan.

Teologi feminis bertentangan dengan agama Kristen (seperti kebanyakan agama yang

lain) karena persepsi bahwa agama memperlakukan perempuan sebagai manusia kelas 2, baik dalam hal peran yang dialokasikan agama-agama itu kepada perempuan, dan cara mereka memahami citra Allah.

Namun demikian, evaluasi feminis terhadap kekristenan sama sekali tidak bermusuhan secara monolitik terhadap kekristenan seperti yang disarankan oleh para pencetus femisime revolusioner dan rekonstruksi. Beberapa teolog feminis yang bersebrangan dengan gagasan seksime dan gender menekankan bagaimana peran serta kaum perempuan dalam pembentukan dan pengembangan tradisi Kristen dari Perjanjian Baru dan seterusnya, dan telah menjalankan peran kepemimpinan yang penting sepanjang sejarah Kristen. Visi yang membangun teologi feminis ialah suatu visi masyarakat yang berdasarkan pada nilai-nilai saling timbal balik, bukan dominasi seksisme.



[1] Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis, diterjemahkan dari Introducting Feminist Theology, oleh Yosef M. Florisan, (Maumere: Ledalero, 2002) , 53.

[2] Alister E. Mcgrath, Historical Theology An Introduction To The History Of Christian Thought Second Edition, (UK: A John Wiley & Sons, Ltd., Publication, 2013), 202.

[3] Androsentrisme dari kata bahasa Yunanai Andros yang berarti laki-laki dewasa: visinya tentang kemanusiaan berpusat pada laki-laki.

[4] Alister E. Mcgrath, Historical Theology An Introduction To The History Of Christian Thought Second Edition, 202.

[5] Elisabeth A. Johnson, Kristologi Di Mata Kaum Feminis: Gelombang pembaruaan dalam Kristologi, diterjemahkan dari Consider Jesus, Waves Of Renewal in Christology, oleh A. Widiyamartaya (Yogyakarta: Kanisius,2003), 120.

[6] Elisabeth A. Johnson, Kristologi Di Mata Kaum Feminis: Gelombang pembaruaan dalam Kristologi, 121.

[7] Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis, 57.

[8] Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis, 59.

Kamis, 23 September 2021

Tradisi Lonto Leok Masyarakat Manggarai

 Pengantar: Dilema Realita

Sejatinya setiap pengaruh dan perubahan yang terjadi tidak pernah terlepas dari perkembangan teknologi yang menelurkan globalisai dan digitalisasi. “seandainya dulu tidak ada televisi, mungkin sekarang tradisi lokal tidak dilupakan oleh anak-anak, anak-anak sekarang lebih suka nonton goyang-goyang di televisi ketimbang melestarikan kebudayaan lokal dan hampir 9 dari 10 anak sudah tidak mengenal kebudayaan lokalnya lagi, khususnya yang sekarang berusia SD-SMP”, demikian pengakuan Bapak Tomas Ola, seorang tokoh adat di Manggarai Timur. Pengakuan ini hemat saya adalah bentuk kecemasan akan lunturnya kebudayaan masyarakat dipengaruhi oleh kebudayaan-kebudayaan asing. Namun tidak bisa ditolak lagi bahwa kebudayaan selalu berkembang seiring perkembangan zaman.

Perasaan cemas di atas melahirkan keambiguaan dalam bersikap untuk menghadapi setiap perkembangan tersebut. Di satu sisi kebudayan Barat memperkaya masyarakat dan di sisi lain tentunya menghambat perkembangan kebudayaan local apabila tidak ada keberanian untuk mempromosikannya. Masyarakat seperti berada dalam posisi dilematis. Pada tulisan ini, saya membatasi bahwa yang akan dibahas adalah pengaruh dari tradisi lonto leok masyarakat Manggarai terhadap nilai-nilai persatuan dan persaudaraan dalam masyarakat lokal dan sumbangsihnya bagi masyarakat luas. Terlepas dari kecemasaan generasi tua terhadap generasi muda yang menurut pengakuan mereka sudah melupakan budaya. Concern kita adalah bagaimana tradisi lonto leok menjadi kekayaan dan nutrisi dalam menggemukan kebudayaan dan menjadi warisan yang tetap dijaga.

Tentang Lonto Leok

Term lonto leok berasal dari kata lonto yang berarti duduk dan leok yang berarti melingkar. Secara literer lonto leok berarti duduk melingkar. Tradisi duduk melingkar merupakan suatu khazanah budaya yang sebenarnya sesuai dengan model atau bentuk rumah adat orang Manggarai, juga sepadan dengan letak lahan pertanian di lingko.[1] Masyarakat Manggarai, memahami istilah ‘lonto leok, atau lonto cama juga sebagai tradisi kumpul bersama atau musyawarah yang dilakukan oleh beberapa orang.[2]

Lonto leok merupakan warisan budaya yang mana para tokoh masyarakat berkumpul bersama dan membangun ruang perjumpaan untuk membahas hal-hal mengenai cita-cita dan mengevaluasi kehidupan. Lonto leok menjadi media untuk saling bertukar pikir, bercerita, bersenda gurau, bertukar pengalaman dan pengetahuan tentang fenomena kehidupan. Lonto leok menekankan nilai kebersamaan dan pentingnya perjumpaan langsung dalam hidup sebagai medium untuk bersolider. Lonto leok merupakan contoh perjumpaan empat mata antarmuka, atau perjumpaan face to face.

            Tempat pelaksanaan lonto leok adalah mbaru gendang (rumah adat). Mbaru gendang merupakan rumah adat atau rumah induk untuk rumah-rumah yang ada di sebuah kampung. Eksisitensi rumah gendang bukan terletak pada ukurannya, melainkan pada fungsi sebagai tempat tinggal pemimpin adat (tu’a adat) dan tempat berlangsungnya kegiatan adat yang menyangkut hidup bersama dalam sebuah kampung. Mbaru Gendang merupakan tempat neki weki ranga manga kudut bantang pa’ang olo ngaung musi (tempat berkumpul semua warga kampung untuk bermusyawarah mufakat).

Pius Pandor dalam tulisannya ‘Menyibak Praksis Lonto Leok dalam Demokrasi Lokal Manggarai’ mendefenisikan tradisi lonto leok sebagai model demokrasi lokal yang mengatur semua tata kehidupan orang Manggarai seperti pemeliharaan perdamaian dan keamanan, penegakan hukum adat, kesatuan dan persatuan, pemeliharaan kesusilaan dan sopan santun, pembagian tanah (lingko), pemeliharaan lingkungan hidup, partisipasi dalam upacara adat.[3] Setiap masyarkat memiliki tugas dan tanggung jawab mengambil bagian dalam semua urusan masyarakat. Nilai-nilai yang ditekankan dalam tradisi lonto leok ini ialah nilai kesatuan dan persatuan. Setiap pribadi dalam sebuah masyarakat merupakan pribadi bebas sekaligus terikat kewajiaban untuk melindungi dan menghormati kemerdekaan sesama warganya. Adapun sumbangan dari tradisi lonto leok antara lain:

§  Untuk Menyatukan Kata atau Pendapat

    Sebagai suatu forum, lonto leok merupakan kesempatan untuk merundingkan sesuatu secara bersama sama. Lonto leok yang ideal dikatakan berhasil jika mampu menyamakan persepsi dan menyatukan aspirasi para peserta berbeda-beda. Semua partisipan lonto leok diharapkan dapat nai ca anggit (sehati sejiwa), dan berusah menghindari kemungkinan woleng curup (perbedaan pendapat). Dengan demikian visi kelompok untuk kekompakan seperti muku ca pu’u (pisang serumpun) terjamin atau terwujud.

§  Untuk Menyatukan Langkah atau Praksis Hidup Masyrakat

      
Sebagai forum strategis,
lonto leok menjadi medan untuk menyatukan langkah dan menyelaraskan derap atau irama gerak bersama. Pada tataran ini setiap peserta lonto leok diharapkan untuk tuka ca leleng (tidak berbeda arah) dan sasaran perjuangan dengan berusaha menghindari kemungkinan untuk woleng lako, (berjalan sendiri-sendiri – terpisah dari forum).

Kesimpulan: Sebuah Sumbangsih

Sebuah adagium yang sangat familiar dalam kalangan akademis menyatakan bahwa waktu berubah, manusia juga berubah. Hal senada juga pernah diungkapkan oleh Herakleitos bahwasanya tidak ada yang statis di dunia ini, semuanya mengalir seperti air. Seiring berjalanya waktu, tradisi lonto leok tidak hanya dipakai sebagai konsolodasi adat dalam menyelesaikan masalah sosisl, tetapi juga sebagai media konsolodasi politik di era demokrasi modern. Saya meyakini bahwa kebiasaan bermusyawarah untuk mufakat adalah tradisi yang lazim dijalankan oleh setiap masyarakat di setiap kebudayaan. Konsentrasi kita pada saat ini adalah bagaimana tradisi lonto leok dalam tradisi Manggarai tersebut mempengaruh konsep kehidupan masyrakat umum. Dengan dijalannya tradisi ini, masyarakat mulai menyadari akan nilai persaudaraan dan kesatuan dalam masyrakat. Esensi dasar dari tradisi ini adalah membentuk sikap hidup yang mencintai nilai-nilai kesatuan dalam hidup bersama. Setiap persoalan selalu memiliki solusi dan orang Manggarai selalu meyakini bahwa perkara jika diurus dengan menekankan nilai persatuan akan bisa diselesaikkan dengan cepat. Nilai-nilai seperti inilah yang menjadi sumbangan bagi masyarakat umum.


[1] Lingko adalah tanah milik umum yang jika dibagi akan membentuk seperti jaring laba-laba. Proses pembagiaanya diukur dari titik pusat yang berada persis ditengah-tengah lingko tersebut yang sering disebut lodok. Batas-batas dari tanah tersebut disebut dengan istilah cicing atau langang: batas.

[2] Pius Pandor, Menyambut dan Memuliakan Sesama Dalam Ritus Inisiasi Sosial Tiba Meka Orang Manggarai, dalam ‘Kearifan Lokal Pancasila, Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan’, Jogjakarta; Kanisius, 2015, 218.

[3] Pius Pandor, ‘Menyibak Praksis Lonto Leok dalam Demokrasi Lokal Manggarai’ 443.

Rabu, 22 September 2021

Manusia dan Kerumitannya, Dari Hoax sampai Identitas Palsu


Seorang filsuf Amerika kelahiran Polandia Abraham J. Heschel dalam bukunya Who is Man menuliskan demikian, ‘salah satu tragedi yang menguncang manusia modern adalah maraknya fakta kegagalan manusia dalam menemukan identitas asalinya atau tersesat pada identitas palsu. Kegagalan ini bukan karena kurangnya pengetahuan tetapi justru karena pengetahuan yang salah dan kebanjiran pengetahuan’.[i] Penelitian Heschel menunjukan terjadinya penyusutan atas posibilitas manusia. Hal ini disebabkan oleh berkembangnya teknologi dan banyaknya pengetahuan yang tidak diimbangi dengan kemampuan filterisasi. Hoax dan merebaknya berbagai kedangkalan penafsiran atas kabar bohong tersebut adalah ciri atau fenomena tuna-filtersasi – pribadi manusia tidak mampu menyaring –  dengan baik setiap kabar yang masuk ke dalam kehidupan.

Ben Agger, sepakat dengan Heschel menunjukan pengaruh besar dari kemajuan teknologi informasi dan hiburan dan pengetahuan terhadap pemahaman identitas masyarakat modern.[ii] Agger melihat ada dua sisi pengaruh dari teknologi bagi manusia, ‘dia menjebak sekalipun membebaskan manusia’ (to entrap or to emancipate people). Hal ini senada dengan pernyataan Heschel yang menunjukan manusia di era abad 21 terjebak pada identitas palsu. Saya mereka-reka bagaimana menjadi manusia yang utuh ditengah polemik dan situasi keterserakan yang tergesa demikian. Padahal sejatinya kemajuan dan perkembangan teknologi dan pengetahuan seharusnya berdampak pada hal-hal baik. Teknologi yang menjadi buah dari perkembangan zaman modern, dengan pengaggungan atas rasio kini telah mencedrai rasio itu sendiri. Cogito ergo sum bermatmorfosis menjadi cogito blesse.

Kita sepakat bahwa manusia adalah makhluk yang senantiasa menginginkan adanya kecepatan dalam hidup. Hal ini menjadi lumrah di era saat ini. Munculnya perusahan serba cepat seperti federal express, kall kwik, speedo hingga layanan makanan  serba cepat seperi cepat saji, fast food telah membentuk pola pikir manusia. Pola pikir ini kemudian membentuk pola kebisaan dan menjadi tradisi yang melekat dalam hidup manusia. Padahal, kalau mau jujur, kecepatan atau ketergesaan adalah suatu bahaya. Bahayanya dari serba cepat adalah ketidakmendalaman dalam memaknai kehidupan. Bahaya dari kecepatan yang tidak terkontrol adalah kecelakaan. Fenomena serba cepat, tidak pernah terlepas dari perkembangan teknologi, - buah modernitas.

Robert Holden seorang pakar psikolog menulis bahwa dalam masyrakat serba tergesa atau serba cepat, manusia melaju dengan cepat dan sangat kencang yang berakibat meninggalkan diri sendiri di belakang. Meninggalkan segala sesuatu yang berharga dan bahkan meninggalkan kebenaran itu sendiri. Kecepatan memberikan depresi dan gangguan pada kesehatan mental dalam kehidupan manusia. Kesehatan mental dipicu pada bermunculan hal yang buruk dalam pola kehidupan manusia. Hal ini ada dalam dua indikasi yakni pada gejala anomie dan gejala alienasi.

Pada gejala anomie kita menemukan pribadi yang terpecah-pecah, pribadi yang hidup tanpa makna, tanpa tujuan dan jatuh dalam rutinitas belaka yang tidak bermakna. Sedangkan dalam diri orang yang mengalami alienasi, ia merasa kesepian, tersingkirkan, dan tidak berguna.[iii] Kedua gejala ini muncul dalam kehidupan manusia dewasa ini dan menjadi ujian bagi bertumbuhnya manusia-manusia atau pribadi yang utuh. Ada disorietasi dan ambiguitas dalam menemukan diri.

Melihati situasi ini saya memahami bahwa manusia adalah makhluk yang selalu berkembang dan bertumbuh seiring perkembangan dirinya dan lingkungannya. Pertumbuhan ini terjadi baik dalam dimensi fisik, dimensi psikis dan juga intelektual dan spiritual. Perkembangan bisa terjadi secara baik, apabila ada kesediaan untuk memberikan ruang untuk berkembang dan belajar untuk mengalami suatu proses pendewasaan dalam hidup. Pendewasaan akan terjadi, jika dalam proses ini ada kemampuan elaboratif dan adaptif atas setiap perkembangan zaman.

Dalam kacamata Abraham Maslow, manusia bukan hanya sepotong materi yang berkembang cukup tinggi dan juga bukan roh yang ditugaskan untuk membebaskan diri dari penjara tubuh.[iv] Gagasan ini merupakan sebuah kritik atas pemikiran Plato yang menyebut tubuh sebagai penjara jiwa. Abraham Maslow melihat manusia dari sisi kebutuhan. Manusia senantiasa membutuhkan makan untuk bisa bertahan hidup, membutuhkan sesama manusia untuk bisa berdinamika dan berinteraksi dalam hidup sosial, dan juga membutuhkan sumbangan dan nutrisi intelektual agar bisa mencapai kesadaran kemanusian yang utuh. Namun sayangnya, seperti saya uraikan di awal kebutuhan-kebutuhan ini kadang membentuk budaya lapar akan pengetahuan dan menginginkan yang serba cepat. Setiap orang butuh yang cepat, –  mau makanan cepat saji, berita yang cepat, mengerjakan tugas dengan cepat –  yang sebenarnya juga terjebak pada ketidakutuhan dan ketidakbenaran.

Memang tidak bisa dielakan lagi bahwa kini dengan adanya perkembangan IPTEK, masyrakat masuk dalam suatu budaya baru, yakni budaya serba cepat (fast society). James Gleick seorang psikolog menulis bahwa manusia saat ini sedang berada dalam pola bisnis, teknologi, transportasi dan gaya hidup serba cepat.[v] Sayangnya kecepatan tidak memberikan jaminan bagi kesejahteraan kehidupan manusia itu sendiri. Kecepatan atau ketergesaan malah memberikan ruang bagi manusia untuk tidak bisa mendalami esensi kehidupan itu sendiri. Dalam masyrakat serba cepat, pahlawan kita adalah orang-rang yang membuat segala sesuatu berlangsung lebih cepat. Dan persis disinilah makna diri yang utuh kehilangan esensialnya.

Untuk mendamaikan situasi di atas atau membentuk manusia utuh – tujuan kita belajar filsafat manusia – maka dibutuhkan suatu kemampuan untuk memahami kehidupan dengan baik dan bebas bertanggung jawab. Orang yang bebas adalah orang yang tidak terikat dan menyadari pola relasi dan juga pola hidupnya. CB Mulyatno mengafirmasi hal ini dengan menekankan bahwa kualitas diri dan kemandirian sesorang sejajar dengan kualitas relasinya dengan yang lain.[vi] Apabila seorang hanya membeo atau dalam bahasanya Robert Holden terjebak dalam dunia serba cepat, integritas dan keutuhan dirinya akan semakin berkurang.

Filsafat manusia disini mutlak dibutuhkan untuk bisa menegosisai keadaan demikian – keadaan masyrakat yang dikejar oleh kecepatan dan banjirnya tawaran pengetahuan – agar bisa membentuk pribadi filosfis. Filsafat manusia memberikan wawasan dan orientasi agar memampukan setiap pribadi bergerak maju dan mendalam di dunia yang terus berubah. Kedalaman dan kematangan dalam menangani persoalan kehilangan identitas di tengah maraknya masyrakat serba cepat dapat membentuk pribadi manusia yang integral. Seperti kata Pierre Teilhard de Chardin, seluruh kehidupan manusia terletak dalam kata kerja ‘melihat’ bukan hanya dengan mata tetapi juga dengan pikiran dan hati. Kecakapan dalam melihat melahirkan pribadi adaptif yang utuh dan matang serta bebas dan bertanggung jawab.



[i] Abraham J heschel, Who is Man,(California, Standford University Press: 1965), hal 5-6. 

[ii] Ben Agger, The Virtual self, a contemporary sociologi, (USA, Blackwell Publishing: 2004), hal 156.

[iii] Hendro Setiiawan, Manusia Utuh, (Yogyakarta, Kanisius: 2014), hal 16.

[iv] Hendro Setiiawan, Manusia Utuh, hal 8.

[v] Robert Holden Ph.D.  Success intelligence terjeh. Yuliani Liputo (Bandung, Mizan: 2007), hal 28.

[vi] CB Mulyatno, Menguak Misteri Manusia (Yogyakarta, Kanisius: 2009), hal 16.