Rabu, 01 Juli 2020

Mawar (Tak) Berduri

Semakin situasi itu sulit, menakutkan, menegangkan dan tragis, semakin kita didesak untuk MEMILIH. Memilih tuk berbuat sesuatu! Dalam situasi ambang batas, dunia menjadi CERMIN KEBEBASAN. Dia memberi kita berjuta kesempatan untuk memilih secara bebas. Ekspresikanlah who you are freely?

Beberapa bulan terakhir, saya membantu seorang gadis cantik nan jelita untuk membaca ulang dan mengoreksi tesis akhirnya. Dia seorang gadis baik, imut, dan bertalenta. Saat ini gadis berambut panjang dan mempesona itu sedang berjuang menghabiskan masa-masa akhir kuliahnya di sebuah kampus swasta. Untuk tidak membuat kalian penasaran, kita sepakati saja namanya Nona Mawar. Mengapa harus Mawar? Karena memang dia seperti bunga Mawar. Hanya saja ada perbedaan yang khas antara kedua mawar ini; bunga berduri sedangkan Nona tidak berduri, walaupun sama-sama mawar. Indah sekali rasanya menjadi bunga yang indah, tidak berduri, mempesona, dan rentetan barisan kebaikan lainnya. But, kadang yang tidak berduri, mudah sekali untuk dipetik dan dipotong-potong, mudah untuk dilemparkan ke bara api. Mengapa? Because dia tidak punya kemampuan defense? Lebih baik menjadi bunga mawar yang berduri, agar dikau bisa menjaga dan mengurus diri. Durinya – pelindungnya. Demikian juga mungkin dalam hidup, kita semua membutuhkan duri untuk menjadikan kita kokoh dan kuat, tahan banting, pantang menyerah, punya kemampuan untuk menghadapi persoalan dan peliknya perkara dalam sejarah kehidupan.

Lalu, kalian mungkin berpikir Nona Mawar tidak tahu menjaga diri, tapi sebenarnya ia lebih dari itu. Ia tidak tahu nakal dan tidak tahu menyembunyikan kenakalannya. Bukan hipokrits. Sudahlah! Dia terlalu suci untuk diekspresikan dalam narasi. Sebenarnya dia tahu menjaga diri, dia mau menjadi dirinya yang sesungguhnya, otentik – menurut pengakuannya sendiri. Sayangnya dalam kepolosan dan keluguannya dia sering tidak bisa menjaga diri, dia terjebak dalam keasaliannya itu. Saya rasa cukup sudah kita berkisah tentang Mawar. Saya tidak ingin melanjutkannya, karena di awal tulisan ini saya bercerita tentang mengedit skripsinya. Terlalu banyak berkisah tentang mawar akan membuat kita susah move on. Bodoh amat. Move on hanyalah rasa dari mereka yang sedang berjuang melupakan pacar. Saya tidak punya pacar, saya punya saudara walau beda darah. Stop. Di sini saja!

Kita lanjut tentang tulis dan menulis. Saya baru menyadari, ternyata Anda dan saya adalah rangkaian kata yang membentuk kalimat, membentuk paragraph, membentuk sebuah skripsi, tesis, disertasi; membentuk tulisan. Setiap kata punya kekuatan dan kelemahan. Setiap kata bekerja sama membentuk sebuah tulisan baku yang diinginkan penulisnya. Setiap kata dan kalimat yang tidak benar dan baik, akan dihapus oleh editor yang mengoreksi tulisan tersebut. Saya berrpegalaman dalam hal ini. Heheh…sombong! Saya pernah menghapus beberapa kata, frasa dan juga kalimat dalam tesis nona Mawar. Setelah saya selesai mengedit dan mengirim kembali kepadanya. Percaya diri. Lega dan bangga rasanya mengoreksi tulisan orang lain. But lama-lama saya menyadari ternyata saya tidak menghargai perjuangan nona Mawar. Dia sudah berjuang merangkai kalimat indah, ilmiah dan paling penting, menulis sesuai dengan ide dan gagasannya sendiri. Nona Mawar sudah menulis apa adanya tentang dirinya sendiri, bukan kaleng-kaleng kata rekan Emil K, asli, otentik. Terimakasih Mawar! Nona harus paham, jika tulisan ini sedang merindu dan rindu itu sunyi, tak perlu bunyi. Karennya kita perlu tempat suci untuk bersembunyi. Sembunyi dari aslinya kita – walau durinya harus dan kadang ditampakan. Seperti Thurkle ‘A sacred place is not a place to hide out, it’s a place where we recognize ourselves and our comitments’. Selamat berekspresi Nona Mawar.

Yogyakarta, 30 Juni 2020

Fransiskus Sardi



Bagaimana Mungkin

Bagaimana mungkin saya harus berada di rumah,

sementara saya tidak memiliki rumah.

Bagaimana mungkin saya dilarang tuk kemana-mana,

sementara tempat tinggal saya ada di mana-mana.

Bagaimana mungkin saya bekerja dari rumah menggunakan alat-alat elektronik,

sementara semua barang-barang itu tidak ada pada saya.

Bagaimana mungkin saya harus bersedekah dengan orang lain,

sementara untuk makan seharian pun saya harus mencarinya hari ini.

Bagaimana mungkin saya harus berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa di tengah pandemi,

sementara pandemi kelaparan sudah ada sejak aku masih dibentuk dalam kandungan ibuku, sejak keluargaku, dan itu masih ada hingga saat ini.

Bagaimana mungkin hal ini bisa aku atasi. 

Mudah bagi kaum borjuis mengatakan bekerja dari rumah saja Abang 

Susah bagi proletar yang tak mempunyai pekerjaan mapan; para pekerja serabutan

Gampang tuk katakana ‘semua wajib mengenakan Masker’

TAPI Bagaimana denganku yang membeli celana dalam pun tak bisa.

Masker itu hanya buat mereka yang memiliki harta berlimpah, sebab banyak wajah memborong masker, banyak rupa menjual mahal.

Sedih menjadi saya.

Saya pemulung, pengemis, marginal kata yang tepat.


Senin, 29 Juni 2020

MISA LIVE STREAMING

Pengantar

Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, menjadikan setiap pribadi untuk selalu berada dalam lingkaran relasi dengan orang lain. Gereja Katolik dalam ajaran dan praktik hidup rohaninya sangat menekankan aspek perjumpaan. Hampir banyak kegiatan dalam Gereja melibatkan banyak orang, ada dalam relasi perjumpaan. Pada saat orang merayakan Ekaristi, di sana juga terjadi perjumpaan antara umat dengan umat; antara umat dengan Tuhan. Ada perjumpaan horisontal dan vertikal. Masih banyak lagi kegiatan gereja yang melibatkan banyak orang, artinya di berbagai kegiatan gerejani tersebut terjadi perjumpaan langsung.

Akhir-akhir ini pertemuan (perjumpaan) masal dalam kegiatan masyrakat umum dan gereja khususnya dibatasi dan bahkan ditiadakan demi menghindari penyebaran dan penularan wabah covid-19. Pandemi Covid-19 telah meruntuhkan kebiasaan perjumpaan. Umat yang pada umumnya selalu berkumpul bersama di gereja untuk merayakan Ekaristi, terpaksa harus menghentikan kegiatan rohani tersebut. Sebagai institusi yang berada dalam lingkup dan tanggung jawab negara, Gereja tentu mengikuti anjuran yang diputuskan oleh negara. Ada hubungan antara gereja sebagai institusi dengan negara yang mengayomi institusi tersebut. Gereja di Indonesia memutuskan untuk tidak merayakan perayaan Ekaristi secara langsung di Gereja tetapi secara online, sebagaimana anjuran pemerintah untuk membatasi perkumpulan dan pertemuan massal.

Perayaan Ekaristi live streaming

            Kevin Kelly, dalam artikel Eucharist and Violence, mengartikan Ekaristi sebagai sakramen persatuan yang menunjukkan kesatuan umat kristiani dalam satu tubuh Kristus dan tanda persatuan seluruh keluarga umat beriman. Konstitusi Suci tentang Liturgi Suci, Sacrosanctum Concilium artikel 10 mendefinisikan perayan ekaristi sebagai puncak dan sumber kehidupan Gereja. Dalam Sacrosanctum Concilium artikel 48 sangat ditekankan tindakan partisipatif umat beriman dalam perayaan ekaristi. Pandemi covid-19 yang mengharuskan pembatasan sosial skala besar membuat Gereja memikirkan opsi lain, agar Gereja (umat Allah) bisa tetap berpartisipasi di tengah wabah covid-19 ini. Gereja memutuskan untuk merayakan perayaan ekaristi secara live streaming. Mgr. Rubyatmo melalui Youtube, menjelaskan bahwa secara teologi dan liturgi misa streaming dan misa secara langsung di Gereja berbeda, tetapi memiliki nilai yang sangat mendalam. Misa streaming diadakan karena kerinduan atau keinginan umat untuk menyambut santapan Sabda dan santapan Tubuh Tuhan. Walaupun di tengah pandemi covid 19, hanya melalui komunio spiritual, tetapi kerinduan umat untuk berjumpa dengan Tuhan bisa terpenuhi.

Misa live streaming diadakan juga sebagai cara Gereja untuk bersolider dengan umat manusia. Artinya dengan diadakan misa live streaming Gereja turut bekerja sama untuk memberi tanggung jawab moral pada kemanusiaan. Dalam konteks pandemi, Gereja memutuskan mata rantai penyebaran virus dengan tidak mengadakan pertemuan-pertemuan yang melibatkan banyak orang. Kelompok menilai ini  adalah komitmen nyata Gereja terhadap kebaikan dan keselamatan bersama; bentuk solidaritas Gereja, tanggung jawab Gereja. Perayaan Ekaristi akan menjadi nir makna jika tidak berefek pada praksis hidup baik.

Perayaan Ekaristi live streaming dan pengaruhnya pada hidup umat beriman

            Secara paradoks pandemi Covid-19 bisa menjadi sebuah rahmat dan anugerah bagi umat beriman. Bukan berarti kelompok, meremehkan kengerian pandemi yang telah memakan jutaan korban. Pandemi ini bisa menjadi acuan untuk memperbaiki apa yang salah dan bagaimana menerapkan hidup yang lebih baik. Ketergerakan Gereja  untuk bertindak bisa menjadi momen penebusan bagi panggilan kemanusiaan kita. Saya melihat Ekaristi online sebagai gerakan solider Gereja.

            Iman umat semakin bertumbuh dan menjadi semakin sadar bahwa ada kebutuhan akan kehadiran Tuhan. Hal ini senada dengan pernyataan Paus Fransiskus, life after pandemi ‘iman bertumbuh ketika ada kesadaran bahwa kita membutuhkan keselamatan’ (faith begins when we realize we are in need of salvation). Iman umat semakin teguh dan kokoh dalam menghadapi pandemi. Wabah membuat umat semakin berkanjang dalam doa. Doa menjadi sebuah harapan yang kokoh apalagi ketika harapan tersebut serasa sulit untuk dicapai. Pada saat merayakan Adorasi 27 Maret 2020, Paus Fransiskus menegaskan bahwa doa berarti mendengarkan dan membiarkan diri diliputi pengalaman hidup, mengakui bahwa kita membutuhkan Tuhan, merenungkan Tubuh Tuhan dan melaksanakan apa yang telah dilaksanakan-Nya. Doa juga berarti belajar dari Yesus untuk menerima penderitaan dan mengikutinya dalam jalan penderitaan dan belajar dari Maria yang selalu rendah hati

Ekaristi live streaming: solidaritas Gereja di tengah wabah Covid-19

Setiap orang yang merayakan Ekaristi adalah mereka yang hidup di dalam realitas dunia yang kompleks. Perayaan Ekaristi selalu ditempatkan dalam konteks dan situasi. Konon ketika Jemaat Perdana tidak bisa merayakan perjamuan, mereka melaksanakanya secara sembunyi-sembunyi. Seiring perkembangan zaman, dunia yang tidak pernah menetap pada situasi, masa, atau kehidupan tertentu, melainkan selalu pada proses perubahan yang memiliki konsekuensi tetap, yaitu baik atau buruk, merugikan atau menguntungkan. Sehingga benar adanya bahwa Perayaan Ekaristi sangat perlu untuk ditempatkan di dalam situasi real bagi mereka yang merayakannya. Artinya ada pertimbangan sosial yang ditekankan dalam Perayaan Ekaristi tersebut. Dengan mempertimbangkan situasi atau konteks di mana Perayaan Ekaristi diadakan, secara tidak langsung telah menampakkan suatu wajah kepekaan terhadap hidup manusia itu sendiri, dan ini adalah solidaritas.

Secara antropologis prinsip solidaritas mencakup keyakinan setiap pribadi membutuhkan sesama (homo homini socius) dan setiap pribadi bertanggung jawab dengan perkembangan diri dan hidup bersama (bdk. CB.Mulyatno). Solidaritas merupakan panggilan setiap orang untuk mewujudkan tanggung jawab sosial dan mengembangkan hidup bersama secara manusiawai dan menyeluruh. Di saat konteks pandemi seperti sekarang ini, solidaritas menjadi hal yang harus ditekankan dalam praksis hidup. Artinya bukan hanya sederetan pemimpin seperti pemimpin negara, agama, para tenaga medis dan para peneliti di bidang kesehatan, tetapi ini menjadi tanggung jawab setiap pribadi. Tanggung jawab pribadi bukan berarti terlepas dari tujuan yang sama, karena setiap pribadi adalah makhluk sosial yang memiliki martabat yang sama.

Ajaran Sosial Gereja yang termuat dalam dokumen Konsili Vatikan II dan khususnya dalam Gaudium et Spes artikel 1 ‘kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga’. Pernyataan ini menegaskan pentingnya solidaritas warga Gereja dalam membangun dan mengawal perkembangan hidup bersama. Solidaritas itu berpangkal dari penghayatan dan komitmen iman untuk menanggapi dan mencari jalan keluar terhadap masalah-masalah konkrit hidup manusia demi perkembangan hidup bersama. Solidaritas berhubungan erat dengan perjuangan membela martabat hidup manusia dan perwujudan penyelamatan Allah dalam dunia dalam hidup bersama. Jadi, Perayaan Ekaristi live streaming adalah salah satu bentuk solidaritas Gereja demi membangun hidup bersama dalam pluralitas masyrakat.

Kesimpulan

Allah yang bersolider dengan umat-Nya, dengan cara-Nya sendiri yakni sengsara, wafat dan bangkit, juga mengajak para pengikut-Nya untuk melakukan hal yang sama terhadap sesama bahkan kepada mereka yang tidak mengenal Kristus. Panggilan untuk bersolider diejahwantahkan oleh Gereja Katolik di tengah pandemi ini. Solidaritas bukan hanya dengan sesama manusia (antroposentris). Pandemi mengajarkan manusia banyak hal, salah satunya juga untuk lebih perhatian kepada ibunda bumi, semesta dan sesama yang lain. Paus Fransiskus menjelaskan beberapa hal yang perlu diperhatikan umat manusia. Sebagai makhluk yang berada dalam relasi dengan bumi ‘kita telah gagal dalam mempertanggungjawabkan tugas sebagai penjaga dan pelayan bumi’ Gejolak yang mestinya ada dalam diri kita saat ini adalah menjadi sandaran bagi sesama, (diri sendiri, sesama dan alam)  dengan peduli dan bertanggungjawab. Kepedulian atau solider diartikan dengan ketaatan kita pada anjuran pemerintah. Gereja Katolik telah menanggapi panggilan solidaritas dengan mengadakan perayaan misa online.

Yogyakarta, Juni 2020

Fransiskus Sardi

 


Jumat, 26 Juni 2020

BERDAMAI DENGAN CORONA ALA SISIFUS DAN AYUB

Ketika merenungkan pandemi Covid-19, saya teringat akan sebuah mite yang sangat familiar karya Albert Camus; Mite Sisifus. Mitos tersebut mengisahkan tentang seorang tokoh bernama Sisifus, yang mendapat siksaan dari para dewa. Siksaan disebabkan karena ia bekerja sama dengan Jupiter untuk menculik puteri Asop bernama Ejin. Dinarasikan juga, Sisifus adalah seorang yang paling bijaksana dan waspada, tetapi cendrung menjadi perampok. Ada banyak kontradiksi mengenai kepribadian Sisifus, tetapi di sini saya tidak ingin mempersoalkan hal tersebut, fokus saya adalah pada penderitaan yang dihadapinya dan responnya atas penderitaan. Ia mendapat hukuman dilemparkan ke neraka. Sisifus disiksa oleh para dewa dengan cara yang sangat mengerikan. Ia harus menggulingkan sebuah batu besar ke atas sebuah lereng gunung. Ia mengangkat batu raksasa tersebut, menggelindingkan dan mendorongnya sampai di lereng berulang-ulang tanpa berhenti. Ketika batu sudah digulingkannya dengan susah payah ke atas lereng, batu tersebut jatuh lagi ke bawah, dan seterusnya terjadi demikian (Albert Camus. Mite Sisifus, Suatu Penalaran Absurd, 155-156). Kisah ini mengaktifkan imajinasi saya, bahwa betapa penderitaan yang dialami oleh Sisifus ini tidak akan pernah berakhir. Ia berjuang menggulingkan batu raksasa ke atas, dan dengan sendirinya batu itu kembali lagi tergguling ke lembah.

Sisfus tampaknya terbiasa dengan penderitaan, saya mereka-reka mungkin dia juga paham filsafat stoa. Dia menerima penderitaan sebagai musibah akibat kesalahannya sendiri (personalization), (bdk. Filosofi Teras, hal. 201), tetapi dia memiliki kemampuan untuk melampui opininya itu dengan menerima penderitaan secara lapang dada. Dalam filsafat stoa, respon atas penderitaan menjadi kunci untuk menentukan keadaan diri kita selanjutnya. Pandemi covid-19 bisa menjadi ladang untuk melatih diri untuk merespon penderitaan (rasanya agak berlebihan). Menerima penderitaan akan menjadikan diri semakin tangguh, membentuk rasa percaya diri, dan menjadi pribadi yang menolak kenikmatan semata (FT. 207). Latihah untuk menerima penderitaan juga menjadi bagian dari usaha untuk memikirkan skenario-skenario buruk yang mungkin akan terjadi. Kekuatan filsafat stoa ada pada kemampuan untuk menerima penderitaan seperti Sisifus dalam mitenya Albert Camus.

Dalam konteks pandemi covid-19, saya merenungkan bahwa kita mesti terus berjuang seperti Sisifus yang menggangap ‘dirinya lebih kuat daripada batunya’. Sisifus tidak pernah menyerah dengan perjuangannya untuk menggulingkan batu ke puncak. Usahanya ini memang menuai hasil yang nihil, namun dalam proses mengangkat batu ke puncak, telurlah sebuah kesadaran yang sangat hakiki dan mendalam, bahwa penderitaannya tidak akan pernah berakhir dan hal yang perlu dilakukan hanyalah berusaha untuk berdamai dengan penderitaannya, menerima semuanya dengan lapang dada, mengafirmasi pengalaman kegetirannya sebagai bagian dari hidupnya sendiri sambil terus berjuang. ‘Penderitaan dan kebahagian adalah dua putra dari satu bumi’ demikian kata Camus dalam mitos tersebut. Keduanya tak terpisahkan. Bagi saya disinilah titik temu antara mite tersebut dengan pandemi Covid-19; berdamai dengan penderitaan; berdamai dengan makhluk renik, bernama corona. Berdamai dengan corona dalam permenungan saya bukan berarti menyerahkan diri untuk diserang dan dijangkit oleh virus. Berdamai dengan corona berarti berjuang untuk mulai menerima sebuah gaya hidup normal baru (new normal life) di tengah wabah seperti Sisifus di tengah penderitaannya. Kalau manusia terbiasa untuk menerima kebaikan, lalu mengapa harus menolak penderitaan. Berada dalam kesusahan (penderitaan) bisa membuat kita kembali bersyukur atas apa yang telah kita miliki dalam sejarah perjalanan hidup kita.

Menerima penderitaan (wabah corona) sebagai bagian dari hidup, atau pun sebagai sebuah pola hidup baru adalah hal yang memang cukup sulit untuk diterima dalam keseharian hidup manusia. Rutinitas keseharian yang biasanya selalu dalam relasi sosial sebaga makhluk sosial, perlahan geser oleh kecemasan dan sikap mawas diri. Kebutuhan psikologis untuk membangun intimitas dibatasi oleh sebuah wabah. Setiap pribadi selalu merasa was-wasan berinteraksi dengan liyan. Ada ketakutan untuk berelasi secara terbuka di ruang publik, dengan motif untuk mengurangi penyebaran dan penularan makhluk renik ini.

Ketidakjelasan kapan berakhirnya wabah ini juga membuat kita mesti berjuang untuk berdamai dengan covid-19, dan resolusi pasca wabah. Membiasakan diri untuk menerima wabah menjadi hal penting saat ini. Ayub dalam kisah Kitab Suci, bisa juga digambarkan sebagai tokoh yang mampu menerima penderitaan. Seperti Sisifus yang awalnya meronta-ronta dan menolak penderitaan, Ayub juga demikian. Ayub menolak untuk mengutuk Allah, dan bahkan ia menerima semua penderitaanya dengan suatu sikap penyerahan diri yang total. Ia memiliki keyakinan bahwa tulah yang menimpanya akan segera berakhir. Adalah sebuah kebohongan jika harus memberontak, jika pemberontakan itu tidak menemukan hasil. Kisah Ayub dalam Kitab Suci dan mitos Sisisfus, bagi saya bisa mewakili bentuk pemberontakan dengan mendiamkan penderitaan itu sendiri, menerimanya dengan lapang dan mengakuinya sebagai bagian dari hidup.

Di tengah wabah saat ini, kita diajak untuk belajar dari Sisifus dan Ayub, khususnya dalam kaitannya sikap penerimaan akan penderitaan. Menyadari penderitaan sebagai hal yang tak terpisahkan dari hidup seperti Sisifus dan melapangkannya dalam doa yang khusuk dan berkanjang seperti Ayub pada saat mendapat tulah. Doa bisa menjadi sekolah harapan, tempat untuk belajar berpengharapan. Di saat tidak ada seorang pun yang bisa membantu dan menolong, dalam keadaan yang mencekam, berserah diri pada Tuhan menjadi solusi baik ketimbang menyalahkan diri sendiri (Paus Benediktus XVI, Ensiklik Spe Salvi, art. 32). Doa bisa menjadi latihan kerinduan untuk bisa berdiri teguh dan kokoh menghadapi pandemi.

Di akhir permenungan tentang covid-19 ini, saya ingin menegaskan kembali bahwa poin pentingnya ialah bagaimana berdamai dengan penderitaan dan selalu ada dalam keadaan berpengharapan. Berdamai dan berpengharapan adalah dua hal yang mesti digaungkan dalam diri di tengah merebaknya wabah ini. Corona memberikan spasi baru bagi kita untuk bermenung tentang penderitaan dan membangun kesadaran.

Kesadaran akan realitas kelemahan dalam diri membuat kita selalu mencari sosok lain. Akhirnya, gejolak yang mestinya ada saat ini ialah menjadi sandaran bagi sesama dengan peduli dan bertanggungjawab. Kepudilan diartikan dengan ketaatan pada anjuran pemerintah untuk menjaga jarak, menerapkan pola hidup bersih dan bersolider dan juga lebih care lagi dengan ibunda bumi. Menerima penderitaan ala sisifus dan Ayub berarti berdamai dengan penderitaan, diri sendiri, sesama, alam dan Tuhan.

 

Yogyakarta, 26 Juni 2020

Fransiskus Sardi



Kamis, 25 Juni 2020

Olah(raga,spiritual,intelektual) rasa

Kau selalu mengabaikan surat-suratmu, ibu ku bilang seorang yang mengirimi Anda surat, menghabiskan banyak waktu untuk memikir dan menuliskannya.

Remahers…!

Dalam rangka mengisi waktu liburan, komunitas, tempat saya belajar dan mengasah pengetahuan, menawarkan juga memberikan kami kesempatan untuk meningkatkan keterampilan dalam diri; mengasah talenta, demikian pernyataan Superior. Ada beberapa kegiatan menarik yang tentunya juga memicu nan memacu imajinasi dan kreatifitas kami. Imajinasi itulah yang memampukan kami untuk berkreasi. Kata rekan komunitas saya, hanya dalam situasi tanpa tekanan seseorang bisa berimajinasi. Imajinasi bukan sebuah khayalan mati belaka, imajinasi selalu memiliki daya, karena imajinasi, setiap orang  mampu berkreasi. Alhasil dalam keadaan yang bebas dan tanpa tekanan, dan juga dalam rangka mengisi waktu senggang dari pada bengong gara-gara batal pulang kampung, batal karena covid-19, telurlah imajinasi, mengeram karya, membuahkan action.

Kami semua mengikuti dinamika bersama dalam komunitas. Ada beberapa kegiatan yang kami lakukan, perlu diingat, bahwa semua kegiatan merupakan hasil imajinasi bersama komunitas. Sebagai sebuah komunitas formasi, tentunya semua kegiatan yang ditawarkan adalah kegiatan-kegiatan yang beraroma dan berefek formasi; pembentukan formandi yang berbau kebaikan. Harapannya, kelak aroma bisa disebarluaskan keluar dari rumah, tembok, hingga periferi.  Adapun beberapa kegiatan yang dilaksanakan antara lain; bermain bola futsal, takraw, volly, karambol, dan ada beberapa kegiatan lainya. Kegiatan-kegiatan inilah yang dinamakan olahraga, olahbadan, agar tubuh tetap sehat dan bugar di tengah pademi yang tidak kita ketahui secara pasti kapan berakhirnya. Daripada sibuk memikirkannya, lebih baik berolahraga. Berdinamika dalam sebuah angan dan harapan jauh lebih berharga ketimbang berprotes dalam senyap dan lara. Biarkan saja, mari kita lanjut berkisah.

  Selain olahraga ada juga olahspiritual, hhh. Olah spiritual ini dijalankan dengan bebarapa hal. Mulai dari doa hingga kegiatan rohani lainnya. Ada beberapa input spesial edisi liburan yang diberiakan oleh para pembina kami. Mereka, bagi saya, adalah orang-orang hebat, punya wawasan pengetahuan yang luar biasa dalam hal pengolahan spiritual. Saya pribadi melihat kelihaian mereka mengantar saya untuk memahami banyak hal, bukan karena kehebatan saya, melainkan karena saya berada di atas pundak mereka; meminjam sebuah pepatah klasik “semut di pundak raksasa”. Olahspiritual diejahwantahakan melalui kegiatan-kegiatan-kegiatan rohani dan input-input tentang sejarah perjalanan spiritual.  Kami hebat karena kami selalu bersama-sama dalam memutuskan dan melaksanakan semua kegiatan komunitas, hhh…

Pandemi Covid-19 yang mengharuskan untuk terus berada di rumah memaksa kami untuk mengadakan banyak hal. Di sela-sela olahraga dan olahspiritual, kami juga adakan olah intelektual; mengasah daya intelektual melalui berbagai kegiatan akademis.  Sebagai realisasi dari asah spiritual, kami langsung mempraktekan lomba memasak. Memasak itu bukan hal yang muda, membutuhkan kemampuan dan wawasan pengetahuan yang luas. Sebagai komunitas yang hampir semuanya berlatarbelakang budaya patriakal, adalah sebuah keganjalan untuk ‘masuk’ dapur dan bekerja mengurus semua keperluan masak. Dapur itu bagi saya, hanya wilayah kekuasaan seorang ibu. Dapur menyiratkan wajah perempuan. But, sebenarnya itu adalah konsep kuno yang masih melekat dalam pikiran saya, mungkin juga beberapa dari kalian. Dapur ternyata bukan semata tempat meracik masakan, melainkan juga ruang tempat perempuan bisa kehilangan otonomi dirinya, yaitu ketika perempuan dianggap perlu mengasah feminitasnya lewat dapur atau diukur nilainya berdasarkan kepandaian memasak.  Penggunaan istilah penguasa dapur atau ratu dapur membuat seolah dapur sebuah teritorial istimewa yang mampu mengangkat martabat siapapun yang menguasainya. Ini menyamar fungsi dapur sebagai tempat pembinaan perempuan agar menjadi sesuai keinginan masyarakat patriakal. Sejatinya dapur adalah gudang rasa yang dikemas dalam masakan, dari cinta hingga pengorbanan, dari letih hingga lusuh, lelah dan kasih berpadu. Oleh karenanya, lomba masak kami hari ini, sebenarnya wadah untuk merealisasikan cinta, mengasah intelektual, mengasa rasa dan bagaimana rasa bisa dinikmati bersama. Memasak bukan semata olah kemampuan intelektual, tetapi juga olahraga, olahspiritual dan juga paling penting adalah olah rasa.






Yogyakarta, 24 Juni 2020

Fransiskus Sardi


Senin, 22 Juni 2020

Sang Revolusioner

Hari ini; hari yang istimewa bagi orang nomor satu di negeri kita tercinta, Indonesia. Bapak Presiden Jokowi merayakan ulang tahunnya yang ke-59 tahun. Rasa-rasanya ini adalah momen yang membahagiakan dan juga menantang; merayakan ulang tahun di tengah pandemic korona; bagi seorang pemimpin negara yang harus menjadi teladan dalam berjaga jarak (gimana mau ngerayain hhh...). Dari media-media komunikasi baik online maupun cetak, saya menemukan rangkaian ucapan, harapan, dan doa yang dilantunkan warganya melalui media sosial. Beberapa pemimpin negara lain juga menyempatkan coretan doanya dalam akun medsosnya untuk sang Pemimpin, Sang Revolusioner (personally).

Barangkali Remahers mengetahui persis tanggal dan tahun kelahirannya. Saya hanya ingin memuat kembali narasi ini berdasarkan hasil pembacaan saya atas sebuah buku yang ditulis oleh Edi Elison, Bung Karno dan Jokowi Pemimpin Kembar Beda Zaman, tentunya ada beberapa perubahan dan logika Bahasa yang saya renarasikan di sini. Jokowi lahir pada tanggal 21 Juni 1961, mirip dengan tahun kelahiran ayah kandung saya (bedanya adalah seorang Jokowi menahkodai keluarganya dan jutaan warga masyarakat, sedangkan yang satunya; my father, menjadi pejuang bagi keluarga kami. Jika kita mengenal baik Presiden Soekarno, tentu kita akan tahu beberapa kesamaan antara kedua tokoh ini.  Tanggal dan bulan kematian Presiden pertama kita, Sang Proklamator kemerdekaan Ir. Soekarno merupakan tanggal kelahiran Presiden Ir. Joko Widodo.

 Saya ingin mengisahkan beberapa hal yang menarik dari mereka yang lahir pada bulan Mei dan Juni. Sebenarnya ada beberapa hal menarik bagi mereka yang lahir berkisar antara bulan ini. Tanggal kelahiran mereka biasanya jatuh pada zodiak Gemini. Berdasarkan ilmu astrologi zodiak Gemini dilambangkan oleh dua orang kembar Castor and Pollux, zodiak ini berasal dari konstelasi Gemini 21 Mei – 21 Juni yang mengandung elemen angin, kualitasnya berubah-ubah dan berdomisili di Merkurius – lambang kecerdasan. Geminian punya hobi membaca dan melakukan perjalanan ke mana saja. Kelahiran 1 – 10 Juni masuk dalam dekan kedua yang dikuasai Merkurius dan Mars, orang-orang dalam lingkup ini terindikasi lebih aktif dan dinamis daripada Gemini dekan pertama 22 – 31 Mei.  Presiden kita saat ini, Joko Widodo berzodiak Gemini, ia masuk Gemini dekan 3 yang dipengaruhi kombinasi Merkurius dan Matahari. Golongan ini termasuk pemilik kecerdasan yang tinggi, dapat beradaptasi dengan sempurna selalu ingin tahu, punya semangat seperti bintang, dan mudah bersosialisasi (Elison, 2018).

Ibu Jokowi bernama Hj. Sudjiatmi, ayahnya bernama Noto Mihardjo, awalnya Joko Widodo diberi nama Moeljono. Ketika Jokowi dilahirkan ibunya baru berusia 18 tahun dan Ayahnya belum mendapatkan pekerjaan yang tetap. Joko Widodo disekolahkan di Sekolah Dasar Negeri 112 Tirtoyoso, dan lanjut ke Sekolah Menengah Pertama Negeri di Surakarta.  Selepas dari bangku sekolah menengah pertama, ia melanjutkan studinya di Sekolah Menengah Atas Negeri 6 Surakarta. Selepas SMA, sebagaimana keinginan anak-anak zaman itu untuk melanjutkan studinya di sebuah universitas, Jokowi selanjutnya melanjutkan studinya di Fakultas Kehutanan Jurusan Perkayuan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Setelah menikah dengan Ibu Iriana Jokowi dikarunia 3 orang anak: Gibran Rakabuming Raka, Kahiyang Ayu, dan Kaesang Pangarep. (masih banyak hal yang belum dikisahkan tentang Jokowi. Seorang pemimpin Negera memiliki jutaan kisah, dan saya yakin narasi ini tidak bisa menceritakan semua tentangnya).

Sebagaimana saya narasikan sebelumya di atas bahwasanya Jokowi dan Soekarno memiliki beberapa kemiripan. Soekarno lahir di sebuah rumah di gedung Paneleh, Surabaya tanggal 6 Juni 1901. Ibunya Ida Ayu Nyoman Rai, seorang bangsawan Bali dari kasta Brahmana. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosotrodihahardjo. Soekarno lahir di bantu oleh seorang dukun kampung bernama Mbah Darmo. Dia lahir kala fajar menyingsing. Orang tuanya memberi nama bayi itu Koesno, karena sering sakit maka namanya diganti menjadi Karno. Kalimat terakhir inilah yang memiliki kemiripan peristiwa dengan Jokowi. Moeljono – Koesno = Jokowi – Soekarno. Tinggi Soekarno 172 CM dan Jokowi lebih tinggi 3 CM (175 CM) diatas Bung Karno.

Cendekiawan cerdik Ikrar Nusa Bhakti pada Kata Pengantar buku Jokowi yang ditulis Jeffry Geovanie, menulis “Jokowi memang bukan keturunan biologis Soekarno, tapi ia bisa dikatakan anak ideologis Soekarno yang mencita-citakan bangsa ini berdiri tegak sejajar dengan bangsa-bangsa Barat dan Bangsa Asia yang telah maju lebih dulu”. Ideologi dan cita-cita kedua tokoh ini terekam dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Salah satu contoh kesamaan ide mereka (ada banyak hal yang mirip) adalah pandangan mereka tentang perempuan atau ibu. Bagi mereka, ibu adalah figur paling menentukan dalam hidup. Bukan hanya karena ucapan atau nasihatnya, tetapi juga karena keteladanan sikap dan perbuatan keseharian sang ibu. Pada Peringatan hari ibu 22 Desember, Soekarno pernah mengutip pernyataan seorang pemimpin perempuan Henriete Roland Holst Van der Schalk, ‘perempuan itu seperti seekor keledai yang menarik dua kereta, bebannya ada dua bukan satu:  beban masyarakat dan beban rumah tangga.  Perempuan tidak bisa menjadi manusia masyarakat saja, perempuan adalah manusia rumah tangga, ia juga manusia ibu, dan merupakan manusia istri’ (Pidato Hari Ibu 22 Desember 1960). Artinya peran perempuan sangat berarti dalam seluruh perjalanan hidup. Keprihatinan bung Karno terhadap kaum perempuan tampak dalam ajaran trilogi, yang mana perempuan tidak hanya berfungsi sebagai kanca wingking (teman di belakang) kaum lelaki, bung Karno menurunkan ajaran trilogi yaitu nationalegeest, (semangat kebangsaan), nationale-wil (kemauan nasional) dan nationale-dad (amal perbuatan nasional).

            Akhirnya, Jokowi dan Soekarno adalah pemimpin negeri yang sangat mencintai dan mengorbankan hidupnya demi kebaikan Bersama, demi perubahan sebuah bangsa. Ada pepatah yang selalu digemakan Soekarno, Tat twam asi, aku adalah dia dan dia adalah aku. Ini berarti kita butuh bertindak seolah-olah kita sedang bertindak untuk diri kita sendiri. Kemampuan kita untuk melihat yang lain sebagai ‘aku’ akan melahirkan sebuah perubahan besar. Bung Karno menyatakan bahwa semua hal bisa diubah; itulah revolusi dalam buku Indonesia Menggugat; revolusi adalah, alle umgestaltung von grand aus, umgestaltung artinya perubahan, von grand aus, dasar-dasarnya dan akar-akar dijungkirbalikkan. Keadaan yang lapuk dijungkirbalikkan, diganti dengan keadaan yang baru, itulah revolusi, tidak hanya moord en doodslag, tidak hanya bunuh membunuh, tidak hanya bom-boman, dan dinamit-dinamitan. Dari jaman perjuangan hingga saat ini, menjadi pemimipin yang berintegras, berjuang untuk merubah adalah panggilan pemimpin sejati. Revolusi mental khas Jokowi adalah kelanjutan dari revolusi sampai akar-akarnya Bung Karno. Perubahan adalah kehendak dari setiap warga masyrakat. Filsuf Pythagoras “tidak ada sesuatu yang terlalu mudah, tetapi setiap hal akan menjadi sulit ketika Anda enggan mengerjakannya”. Alon-alon waton kelakon: slow asal tercapai. Selamat ulang tahun Sang Revolusioner, Joko Widodo.











Jogjakarta 21 Juni 2020

 Fransiskus Sardi


Minggu, 21 Juni 2020

VISA SUARA HATI

    Sejatinya sebuah peristiwa tidak usah dinarasikan (baca, dituliskan) kembali atau dikenang dalam sejarah selanjutnya, karena narasi tidak punya kuasa untuk mewakili semua rasa yang lahir pada saat terjadinya sebuah peristiwa dalam hidup atau pasca terjadinya peristiwa tersebut. Narasi (tulisan) terbatas, sedangkan kisah atau peristiwa hidup punya sensasi dan nilai-nilai yang kaya nan luas dan tidak bisa diwakilkan semuanya dalam sebuah mininarasi ataupun metanarasi. Membuat narasi atau refleksi tentang sebuah kisah kehidupan atau pun peristiwa apapun, hemat saya adalah sebuah bentuk batasan atas indahnya kisah-kisah hidup atau sebuah tindakan bodoh untuk mengingat-ingat luka dalam sejarah (jika itu peristiwa kelam).  Namun tak bisa ditolak setiap kisah itu akan menjadi sia-sia, jika dibiarkan berlalu begitu saja tanpa sebuah coretan. Disini letak kontroversi narasi; antara membatasi dan membingkai; antara mengenang dan menyakiti.

Terlepas dari kontroversinya; tulisan sesungguhnya memiliki kesakralannya. Kesakralannya tampak dari kemampuan atau otoritasnya dalam sebuah tulisan; merekam seluruh sejarah perjalanan hidup, walaupun tidak semua, tetapi dia mampu MEREKAM kisah-kisah. Sejarah perjalanan; dari kelam hingga terang, suka – duka semuanya dibingkai dalam tulisan-tulisan sejarah. Tampaklah bahwa tulisan memiliki kemampuan mengubah kehidupan. Orang yang tidak mengetahui dan mengenal tulisan bisa memahami banyak hal; bisa membaca; menulis dan banyak hal lainnya. Konon ketika Adolf Hitler membantai sekitar enam juta orang Yahudi di seluruh kawasan Eropa, tulisan menjadi (salah satu) saksi bisu yang merekam; menghidupkan, dan membuat sejarah selalu diingat. ‘Bahasa tulis bisa menjadi gambaran sederhana untuk, menjelaskan atau merenarasikan realitas yang terjadi silam.

Pada tulisan ini saya ingin menceritakan seorang tokoh yang juga sempat direkam dalam sejarah perjalanan dunia. Tokoh yang saya yakini dikenal dengan baik oleh Remahers; Aristede de souse Mendes (19 Juli 1985 – 3 april 1954), lazim dijuluki ‘malaikat dengan stempel karet’. Bagaimana kisahnya?  Kok Ia sekarang dijuluki sebagai seorang pahlawan besar pada masa Perang Dunia kedua (1939-1945)? Kisahnya bermula ketika konsulat Portugis ditempatkan di Bordeaux, Prancis, Aristede ditugaskan di sana sebagai seorang diplomatnya. Sekitar bulan Mei dan Juni 1940 ribuan pengunsi berusaha melarikan diri dari kengerian mesin perang Nazi. Ia mencetakan visa untuk teman baiknya Rabi Chaim Kruger dan seluruh keluarganya agar terhindar dari kejaran Nazi. Sayangnya pertolongannya ditolak oleh sahabatnya ini. Rabi Chaim akan menerimanya jika ribuan jemaatnya juga diperkenakan untuk meiliki visa. Terinspirasi dari penolakan Rabi, akhirnya Mendes memutuskan untuk mencetak ribuan Visa.

Ribuan orang Yahudi menemuinya dan meminta kepadanya untuk dibuatkan visa. Mereka sangat membutuhkan visa untuk bisa keluar dari Perancis, dan visa Portugis akan memungkinkan mereka melewati Spanyol ke Lisbon, ibu kota Portugal, di mana mereka dapat menemukan kebebasan untuk mengungsi dan ‘melarikan diri’ ke negara lain. Aristedes berada dalam situasi dilemma; antara membuatnya atau menolak mencampur tangan urusan Nazi. But, ia memutuskan untuk tetap menerbitkan visa.

Kita berpikir bahwa tindakan membuat visa adalah hal yang sederhana dan mudah (anak kecil saja bisa melakukannya), tetapi tindakannya ini sebenarnya dengan terang-terangan menentang keputusan pemerintah Portugal. Portugal yang secara resmi bersikap netral di bawah pemerintahan Antonio de Oliviera Salazar mengeluarkan perintah kepada seluruh diplomatnya untuk menolak para pengunsi yang ingin mencari perlindungan di wilayah kekuasaanaya. Antonio bahkan secara terang-terangan menolak orang Yahudi, Rusia dan orang-orang tanpa kewarganegaraan yang tidak bisa dengan bebas kembali ke negara asal mereka masuk atau melintasi wilayahnya. Aristedes menentang dan melawan keputusan pemerintah, ia lebih memilih hati nuraninya. Ia mengeluarkan visa ribuan lembar yang dikerjakannya dalam waktu kurang lebih satu minggu (12-23 Juni 1940) dan memberikannya pada para pengunsi. Konsekuensi dari tindakannya, ia dipecat dan dikuci dari lingkungannya dan bahkan ke-15 orang anaknya tidak diperkenankan untuk mengikuti dinamika kehidupan sebagaimana orang merdeka hidup di negaranya sendiri. Mendes harus diberhentikan dari jabtanya dan dilarang mencari kerja di negaranya untuk menafkai kehidupan keluarga. Keluarga dan dirinya jatuh miskin dan bahkan susah untuk mendapatkan makanan. Ini adalah salah satu konsekuensi dari tindakannya melawan kediktatoran Salazar, tetapi ia meiliki prinsip hidup yang sangat kokoh ‘I could not have acted otherwise, and therefore accept all that’s has befallen me with love

Paus Fransiskus, pemimpin Gereja Katolik Roma dalam audensinya pada hari Rabu 17 Juni 2020 on the hari hati nurani ‘Day of Conscience’ menegaskan bahwa Day of conscience ialah hari yang diilhami oleh Sousa Mendes. Dia lebih memilih dicopot daripada harus mengorbankan ribuan orang di bunuh ‘Aku lebih suka berdiri dengan Tuhan melawan manusia daripada dengan manusia melawan Tuhan’. Penggalan pernyataan ini menunjukan panggilan dan ketaatnya pada bisikan hati nuraninya, perasaan kemanusiaan. Tindakan hati nurani bagi Aristides de Sousa Mendes ialah menentang perintah pemerintah (jika itu tidak sesuai dengan panggilan kemanusian) dan menunjukkan keberanian, kejujuran moral, tidak mementingkan diri sendiri, dan pengorbanan diri dengan mengeluarkan visa untuk semua pengungsi terlepas dari kebangsaan, ras, agama atau pendapat politik. Dia menyadari bahwa dia akan menghadapi konsekuensi keras, Sousa Mendes memutuskan untuk bertindak sesuai perintah hati nuraninya. Sejarahwan Bauer menyebut ini sebagai aksi penyelamatan terbesar selama masa holocaust yang dilakukan seorang individu “perhaps the largest rescue action by a single individual during the Holocaust.”

Aristides de Sousa Mendes meninggal pada 3 April 1954 dalam kemiskinan di Rumah Sakit Fransiskan di Lisbon. Dia dimakamkan dalam balutan jubah Fransiskan karena tidak memiliki pakaian yang sesuai miliknya. Bahkan sampai akhir hidupnya yang pahit ini, Aristides de Sousa Mendes tahu dan menyadari bahwa ia bertindak secara manusiawi atas nama ribuan orang yang tidak bersalah dan mendukung keputusann hatinya untuk menyelamatkan hidup banyak orang.

Tindakan heroiknya baru diakui pertama pada tahun 1966 oleh Israel, yang menyatakan Aristides de Sousa Mendes sebagai Righteous among the nations. Pada tahun 1986, Kongres Amerika Serikat memproklamirkan untuk menghormati tindakan kepahlawanannya. Belakangan ia akhirnya diakui oleh pemerintahan Portugal, saat Presiden ke-17 Mario Soares (menjabat dari tahun 9 Maret 1986 – 9 Maret 1996) meminta maaf kepada keluarga Sousa Mendes dan Parlemen Portugal mempromosikannya rank of Ambasador secara anumerta (posthumous) padanya. Wajah Aristides de Sousa Mendes kini muncul di perangko atau stempel (stamps) di beberapa negara di dunia. Jauh lebih penting, wajahnya telah terukir dalam hati jutaan orang.

Remahers, bagaimana dengan tulisan dalam hati Anda? Suara hati Anda? Masih tajamkah? Atau harus diasah lagi? Remahers, remember this ‘kebebasan hati nurani akan selalu eksis dan akan selalu dihormati di mana-mana’. Tidak ada orang yang bisa merebut kemerdekaan suara hati setiap pribadi. Akhirnya, mari belajar untuk mengasah suara hati; membuatnya peka pada panggilan kemanusiaan; menjadikannya tempat pijakan kebaikan dan ruang untuk bergumul melawan kejahatan. Untuk dikenang berlaksa-laksa orang, dengarkanlah panggilan suara hati Anda.

Yogyakarta, 17 Juni 2020 

Fransiskus Sardi