Sabtu, 25 September 2021

TEOLOGI FEMINIS

             


Hampir semua teologi dalam tradisi kristiani, termasuk teologi pembebasan yang dilakukan dari perspektif orang miskin dan tertindas, telah dilakukan oleh teolog-teolog laki-laki. Dewasa ini kita melihat di beberapa belahan dunia, beberapa kaum perempuan bangkit memenemukan martabat dan suara mereka sendiri.

Efekya adalah saat ini dalam komunitas para murid ada kecendrungan untuk direfleksikan dari sudut pandang dan pengamatan perempuan. Banyak teolog kristen yang memperlakukan kaum perempuan tidak saja sebagai jenis makhluk hidup yang berbeda tetapi juga sebagai makhluk yang cacat Tertulianus (160-225) menyebut perempuan sebagai “gerbang iblis”.

Agustinus (354-430) berpendapat bahwa hanya lelaki sendirilah yang merupakan citra Allah; seorang perempuan adalah citra Allah hanya apabila bersama dengan suaminya. Thomas Aquinas (1225-1274), dipengaruhi oleh Aristotelses, menyebut perempuan sebagai makluk “cacat” dan “terkutuk”.[1] 

Feminisme telah menjadi hal yang penting dari budaya barat modern. Feminisme adalah sebuah pergerakan global yang bekerja pada emansipasi wanita, berdebat untuk kesetaraan gender dan pemahaman yang benar tentang hubungan perempuan dan laki-laki yang harus ditegaskan oleh praktek dan teologi kontemporer.

Terminologi lama yang digunakan ialah “kebebasan wanita”, (women’s liberation) menekankan fakta bahwa sebuah pergerakan pembebasan mengarahkan upaya pada pencapaian kesetaraan untuk perempuan dalam masyarakat modern, khususnya melalui penghapusan hambatan termasuk keyakinan, nilai-nilai, dan sikap- yang menghambat proses tersebut.[2]

Teologi Feminis bertujuan untuk memahami dan mengkritik tradisi dominasi pria dan menantang citra andorsentrisme[3] tentang Tuhan dan kemanusiaan (Feminist theology thus aims to understand and criticize male-dominated tradition and to challenge androcentric images of God and humanity).[4] Feminisme menjadi gerakan baru sebagai bentuk keinginan untuk mengakui sebuah perbedaan atas pendekatan pada bagian wanita dalam perbedaan budaya dan kelompok etnik.

Ada banyak jenis teologi feminis, tetapi pada umumnya tetap dapat dibedakan menjadi tiga golongan:[5]

Yang pertama disebut teologi feminis revolusioner, Aliran revolusioner diciptakan oleh perempuan-perempuan yang, setelah menyelidiki tradisi kristiani mengambil kesimpulan bahwa tradisi itu didominasi oleh kaum laki-laki dan menyatakan bahwa tradisi itu tidak dapat memberikan harapan perbaikan.

Perempuan-perempuan ini biasanya memberikan suara mereka dengan hentakan kaki mereka dan meninggalkan Gereja. Fenomena ini menjadi semakin besar di beberapa negara. Untuk membersihkan agama dari unsur dominasi laki-laki, mereka membentuk kelompok-kelompok yang berdoa dan beribadat secara bersama-sama.

Bagi kelompok-kelompok ini, persaudarian adalah nilai yang besar dan Allah yang di sapa adalah Dewi.[6] Jelas bahwa para teolog feminis revolusioner tidak tertarik pada teologi katolik yang khas, apalagi pada refleksi tentang  Yesus Kristus.

Banyak teolog feminis radikal bisa secara pasti dikatakan sebagai kaum pasca kristen. Banyak diantara mereka pada mulanya ambil bagian dalam gereja-gereja Kristen, namun kesadaran feminisnya mendorong mereka menyimpulkan bahwa agama kristen itu adalah patriakat yang tidak dapat disembuhkan lagi dan bahkan anti perempuan.[7]

Tokoh feminis revolusioner ini misalnya Matilda Joslyn Gage (1862-1893). Ia menandaskan bahwa kalau perempuan masih berharap untuk dibebaskan, maka mereka mesti meninggalkan agama kristen serta kode-kode patriakat yang dipengaruhi oleh Kitab Suci Kristen.

Yang kedua: teologi feminis reformis, para teolog feminis reformis meskipun sependapat bahwa tradisi kristiani telah didominasi oleh kaum laki-laki masih melihat alasan untuk tetap berharap bahwa teologi kristiani dapat diubah, sebab tradisi ini juga mengandung unsur-unsur pembebasan yang kuat.

Maka, mereka memilih untuk tetap tinggal dalam gereja dan berusaha untuk mengadakan pembaharuan. Didalam kelompok ini ada banyak pendekatan yang berbeda-beda (simbolik, fundamentalis, liberal), tetapi menarik bahwa mayoritas teolog feminis katolik seperti Rosemary Radford Reuther, Elizabeth Schussler Fiorenza, Anne Car dan Margaret Farley, bekerja dengan model pembebasan dalam arti bahwa mereka mengusahakan pelucutan patriaki dan keadilan yang sama terutama bagi orang-orang yang terampas dan tertindas (Elisabeth, 120).

Yang ketiga: teologi feminsi kristen rekronstruksi,[8] model yang ini meiliki titik temu antara teologi reformis dalam komitmen kepada agama Kristen, namun melihat sikap yang diambil oleh feminis reformis sebagai tanggapan yang tidak memadai terhadap penindasan serta status kelas dua kaum perempuan.

Mengizinkan kaum perempuan memegang jabatan gerejani dan melaksanakan pelayanan-pelayanan gerjani terkait lainnya tidak memadai. Para teolog feminis rekonstruksi mencari sebuah intipati teologis yang membebaskan kaum perempuan di dalam bingkai tradisi kristen itu sendiri.

Namun juga mencita-citakan suatu pembaruaan yang lebih mendalam, suatu konstruksi sejati, bukan saja menyangkut struktrur-struktur gerejaninya melainkan juga struktur-struktur masyarakat madani. Sama seperti para teolog feminis revolusioner, kaum feminis rekonstruksionis membuat penilaian kritis terhadap patriakat.

Namun mereka percaya bahwa dengan menafsir ulang simbol-simbol dan gagasan-gagasan tradisional agama kristen tanpa melepaskan Allah yang diwahyukan dalam diri Yesus Kristus merupakan hal yang mungkin diidam-idamkan.

Teologi feminis bertentangan dengan agama Kristen (seperti kebanyakan agama yang

lain) karena persepsi bahwa agama memperlakukan perempuan sebagai manusia kelas 2, baik dalam hal peran yang dialokasikan agama-agama itu kepada perempuan, dan cara mereka memahami citra Allah.

Namun demikian, evaluasi feminis terhadap kekristenan sama sekali tidak bermusuhan secara monolitik terhadap kekristenan seperti yang disarankan oleh para pencetus femisime revolusioner dan rekonstruksi. Beberapa teolog feminis yang bersebrangan dengan gagasan seksime dan gender menekankan bagaimana peran serta kaum perempuan dalam pembentukan dan pengembangan tradisi Kristen dari Perjanjian Baru dan seterusnya, dan telah menjalankan peran kepemimpinan yang penting sepanjang sejarah Kristen. Visi yang membangun teologi feminis ialah suatu visi masyarakat yang berdasarkan pada nilai-nilai saling timbal balik, bukan dominasi seksisme.



[1] Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis, diterjemahkan dari Introducting Feminist Theology, oleh Yosef M. Florisan, (Maumere: Ledalero, 2002) , 53.

[2] Alister E. Mcgrath, Historical Theology An Introduction To The History Of Christian Thought Second Edition, (UK: A John Wiley & Sons, Ltd., Publication, 2013), 202.

[3] Androsentrisme dari kata bahasa Yunanai Andros yang berarti laki-laki dewasa: visinya tentang kemanusiaan berpusat pada laki-laki.

[4] Alister E. Mcgrath, Historical Theology An Introduction To The History Of Christian Thought Second Edition, 202.

[5] Elisabeth A. Johnson, Kristologi Di Mata Kaum Feminis: Gelombang pembaruaan dalam Kristologi, diterjemahkan dari Consider Jesus, Waves Of Renewal in Christology, oleh A. Widiyamartaya (Yogyakarta: Kanisius,2003), 120.

[6] Elisabeth A. Johnson, Kristologi Di Mata Kaum Feminis: Gelombang pembaruaan dalam Kristologi, 121.

[7] Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis, 57.

[8] Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis, 59.

Kamis, 23 September 2021

Tradisi Lonto Leok Masyarakat Manggarai

 Pengantar: Dilema Realita

Sejatinya setiap pengaruh dan perubahan yang terjadi tidak pernah terlepas dari perkembangan teknologi yang menelurkan globalisai dan digitalisasi. “seandainya dulu tidak ada televisi, mungkin sekarang tradisi lokal tidak dilupakan oleh anak-anak, anak-anak sekarang lebih suka nonton goyang-goyang di televisi ketimbang melestarikan kebudayaan lokal dan hampir 9 dari 10 anak sudah tidak mengenal kebudayaan lokalnya lagi, khususnya yang sekarang berusia SD-SMP”, demikian pengakuan Bapak Tomas Ola, seorang tokoh adat di Manggarai Timur. Pengakuan ini hemat saya adalah bentuk kecemasan akan lunturnya kebudayaan masyarakat dipengaruhi oleh kebudayaan-kebudayaan asing. Namun tidak bisa ditolak lagi bahwa kebudayaan selalu berkembang seiring perkembangan zaman.

Perasaan cemas di atas melahirkan keambiguaan dalam bersikap untuk menghadapi setiap perkembangan tersebut. Di satu sisi kebudayan Barat memperkaya masyarakat dan di sisi lain tentunya menghambat perkembangan kebudayaan local apabila tidak ada keberanian untuk mempromosikannya. Masyarakat seperti berada dalam posisi dilematis. Pada tulisan ini, saya membatasi bahwa yang akan dibahas adalah pengaruh dari tradisi lonto leok masyarakat Manggarai terhadap nilai-nilai persatuan dan persaudaraan dalam masyarakat lokal dan sumbangsihnya bagi masyarakat luas. Terlepas dari kecemasaan generasi tua terhadap generasi muda yang menurut pengakuan mereka sudah melupakan budaya. Concern kita adalah bagaimana tradisi lonto leok menjadi kekayaan dan nutrisi dalam menggemukan kebudayaan dan menjadi warisan yang tetap dijaga.

Tentang Lonto Leok

Term lonto leok berasal dari kata lonto yang berarti duduk dan leok yang berarti melingkar. Secara literer lonto leok berarti duduk melingkar. Tradisi duduk melingkar merupakan suatu khazanah budaya yang sebenarnya sesuai dengan model atau bentuk rumah adat orang Manggarai, juga sepadan dengan letak lahan pertanian di lingko.[1] Masyarakat Manggarai, memahami istilah ‘lonto leok, atau lonto cama juga sebagai tradisi kumpul bersama atau musyawarah yang dilakukan oleh beberapa orang.[2]

Lonto leok merupakan warisan budaya yang mana para tokoh masyarakat berkumpul bersama dan membangun ruang perjumpaan untuk membahas hal-hal mengenai cita-cita dan mengevaluasi kehidupan. Lonto leok menjadi media untuk saling bertukar pikir, bercerita, bersenda gurau, bertukar pengalaman dan pengetahuan tentang fenomena kehidupan. Lonto leok menekankan nilai kebersamaan dan pentingnya perjumpaan langsung dalam hidup sebagai medium untuk bersolider. Lonto leok merupakan contoh perjumpaan empat mata antarmuka, atau perjumpaan face to face.

            Tempat pelaksanaan lonto leok adalah mbaru gendang (rumah adat). Mbaru gendang merupakan rumah adat atau rumah induk untuk rumah-rumah yang ada di sebuah kampung. Eksisitensi rumah gendang bukan terletak pada ukurannya, melainkan pada fungsi sebagai tempat tinggal pemimpin adat (tu’a adat) dan tempat berlangsungnya kegiatan adat yang menyangkut hidup bersama dalam sebuah kampung. Mbaru Gendang merupakan tempat neki weki ranga manga kudut bantang pa’ang olo ngaung musi (tempat berkumpul semua warga kampung untuk bermusyawarah mufakat).

Pius Pandor dalam tulisannya ‘Menyibak Praksis Lonto Leok dalam Demokrasi Lokal Manggarai’ mendefenisikan tradisi lonto leok sebagai model demokrasi lokal yang mengatur semua tata kehidupan orang Manggarai seperti pemeliharaan perdamaian dan keamanan, penegakan hukum adat, kesatuan dan persatuan, pemeliharaan kesusilaan dan sopan santun, pembagian tanah (lingko), pemeliharaan lingkungan hidup, partisipasi dalam upacara adat.[3] Setiap masyarkat memiliki tugas dan tanggung jawab mengambil bagian dalam semua urusan masyarakat. Nilai-nilai yang ditekankan dalam tradisi lonto leok ini ialah nilai kesatuan dan persatuan. Setiap pribadi dalam sebuah masyarakat merupakan pribadi bebas sekaligus terikat kewajiaban untuk melindungi dan menghormati kemerdekaan sesama warganya. Adapun sumbangan dari tradisi lonto leok antara lain:

§  Untuk Menyatukan Kata atau Pendapat

    Sebagai suatu forum, lonto leok merupakan kesempatan untuk merundingkan sesuatu secara bersama sama. Lonto leok yang ideal dikatakan berhasil jika mampu menyamakan persepsi dan menyatukan aspirasi para peserta berbeda-beda. Semua partisipan lonto leok diharapkan dapat nai ca anggit (sehati sejiwa), dan berusah menghindari kemungkinan woleng curup (perbedaan pendapat). Dengan demikian visi kelompok untuk kekompakan seperti muku ca pu’u (pisang serumpun) terjamin atau terwujud.

§  Untuk Menyatukan Langkah atau Praksis Hidup Masyrakat

      
Sebagai forum strategis,
lonto leok menjadi medan untuk menyatukan langkah dan menyelaraskan derap atau irama gerak bersama. Pada tataran ini setiap peserta lonto leok diharapkan untuk tuka ca leleng (tidak berbeda arah) dan sasaran perjuangan dengan berusaha menghindari kemungkinan untuk woleng lako, (berjalan sendiri-sendiri – terpisah dari forum).

Kesimpulan: Sebuah Sumbangsih

Sebuah adagium yang sangat familiar dalam kalangan akademis menyatakan bahwa waktu berubah, manusia juga berubah. Hal senada juga pernah diungkapkan oleh Herakleitos bahwasanya tidak ada yang statis di dunia ini, semuanya mengalir seperti air. Seiring berjalanya waktu, tradisi lonto leok tidak hanya dipakai sebagai konsolodasi adat dalam menyelesaikan masalah sosisl, tetapi juga sebagai media konsolodasi politik di era demokrasi modern. Saya meyakini bahwa kebiasaan bermusyawarah untuk mufakat adalah tradisi yang lazim dijalankan oleh setiap masyarakat di setiap kebudayaan. Konsentrasi kita pada saat ini adalah bagaimana tradisi lonto leok dalam tradisi Manggarai tersebut mempengaruh konsep kehidupan masyrakat umum. Dengan dijalannya tradisi ini, masyarakat mulai menyadari akan nilai persaudaraan dan kesatuan dalam masyrakat. Esensi dasar dari tradisi ini adalah membentuk sikap hidup yang mencintai nilai-nilai kesatuan dalam hidup bersama. Setiap persoalan selalu memiliki solusi dan orang Manggarai selalu meyakini bahwa perkara jika diurus dengan menekankan nilai persatuan akan bisa diselesaikkan dengan cepat. Nilai-nilai seperti inilah yang menjadi sumbangan bagi masyarakat umum.


[1] Lingko adalah tanah milik umum yang jika dibagi akan membentuk seperti jaring laba-laba. Proses pembagiaanya diukur dari titik pusat yang berada persis ditengah-tengah lingko tersebut yang sering disebut lodok. Batas-batas dari tanah tersebut disebut dengan istilah cicing atau langang: batas.

[2] Pius Pandor, Menyambut dan Memuliakan Sesama Dalam Ritus Inisiasi Sosial Tiba Meka Orang Manggarai, dalam ‘Kearifan Lokal Pancasila, Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan’, Jogjakarta; Kanisius, 2015, 218.

[3] Pius Pandor, ‘Menyibak Praksis Lonto Leok dalam Demokrasi Lokal Manggarai’ 443.

Rabu, 22 September 2021

Manusia dan Kerumitannya, Dari Hoax sampai Identitas Palsu


Seorang filsuf Amerika kelahiran Polandia Abraham J. Heschel dalam bukunya Who is Man menuliskan demikian, ‘salah satu tragedi yang menguncang manusia modern adalah maraknya fakta kegagalan manusia dalam menemukan identitas asalinya atau tersesat pada identitas palsu. Kegagalan ini bukan karena kurangnya pengetahuan tetapi justru karena pengetahuan yang salah dan kebanjiran pengetahuan’.[i] Penelitian Heschel menunjukan terjadinya penyusutan atas posibilitas manusia. Hal ini disebabkan oleh berkembangnya teknologi dan banyaknya pengetahuan yang tidak diimbangi dengan kemampuan filterisasi. Hoax dan merebaknya berbagai kedangkalan penafsiran atas kabar bohong tersebut adalah ciri atau fenomena tuna-filtersasi – pribadi manusia tidak mampu menyaring –  dengan baik setiap kabar yang masuk ke dalam kehidupan.

Ben Agger, sepakat dengan Heschel menunjukan pengaruh besar dari kemajuan teknologi informasi dan hiburan dan pengetahuan terhadap pemahaman identitas masyarakat modern.[ii] Agger melihat ada dua sisi pengaruh dari teknologi bagi manusia, ‘dia menjebak sekalipun membebaskan manusia’ (to entrap or to emancipate people). Hal ini senada dengan pernyataan Heschel yang menunjukan manusia di era abad 21 terjebak pada identitas palsu. Saya mereka-reka bagaimana menjadi manusia yang utuh ditengah polemik dan situasi keterserakan yang tergesa demikian. Padahal sejatinya kemajuan dan perkembangan teknologi dan pengetahuan seharusnya berdampak pada hal-hal baik. Teknologi yang menjadi buah dari perkembangan zaman modern, dengan pengaggungan atas rasio kini telah mencedrai rasio itu sendiri. Cogito ergo sum bermatmorfosis menjadi cogito blesse.

Kita sepakat bahwa manusia adalah makhluk yang senantiasa menginginkan adanya kecepatan dalam hidup. Hal ini menjadi lumrah di era saat ini. Munculnya perusahan serba cepat seperti federal express, kall kwik, speedo hingga layanan makanan  serba cepat seperi cepat saji, fast food telah membentuk pola pikir manusia. Pola pikir ini kemudian membentuk pola kebisaan dan menjadi tradisi yang melekat dalam hidup manusia. Padahal, kalau mau jujur, kecepatan atau ketergesaan adalah suatu bahaya. Bahayanya dari serba cepat adalah ketidakmendalaman dalam memaknai kehidupan. Bahaya dari kecepatan yang tidak terkontrol adalah kecelakaan. Fenomena serba cepat, tidak pernah terlepas dari perkembangan teknologi, - buah modernitas.

Robert Holden seorang pakar psikolog menulis bahwa dalam masyrakat serba tergesa atau serba cepat, manusia melaju dengan cepat dan sangat kencang yang berakibat meninggalkan diri sendiri di belakang. Meninggalkan segala sesuatu yang berharga dan bahkan meninggalkan kebenaran itu sendiri. Kecepatan memberikan depresi dan gangguan pada kesehatan mental dalam kehidupan manusia. Kesehatan mental dipicu pada bermunculan hal yang buruk dalam pola kehidupan manusia. Hal ini ada dalam dua indikasi yakni pada gejala anomie dan gejala alienasi.

Pada gejala anomie kita menemukan pribadi yang terpecah-pecah, pribadi yang hidup tanpa makna, tanpa tujuan dan jatuh dalam rutinitas belaka yang tidak bermakna. Sedangkan dalam diri orang yang mengalami alienasi, ia merasa kesepian, tersingkirkan, dan tidak berguna.[iii] Kedua gejala ini muncul dalam kehidupan manusia dewasa ini dan menjadi ujian bagi bertumbuhnya manusia-manusia atau pribadi yang utuh. Ada disorietasi dan ambiguitas dalam menemukan diri.

Melihati situasi ini saya memahami bahwa manusia adalah makhluk yang selalu berkembang dan bertumbuh seiring perkembangan dirinya dan lingkungannya. Pertumbuhan ini terjadi baik dalam dimensi fisik, dimensi psikis dan juga intelektual dan spiritual. Perkembangan bisa terjadi secara baik, apabila ada kesediaan untuk memberikan ruang untuk berkembang dan belajar untuk mengalami suatu proses pendewasaan dalam hidup. Pendewasaan akan terjadi, jika dalam proses ini ada kemampuan elaboratif dan adaptif atas setiap perkembangan zaman.

Dalam kacamata Abraham Maslow, manusia bukan hanya sepotong materi yang berkembang cukup tinggi dan juga bukan roh yang ditugaskan untuk membebaskan diri dari penjara tubuh.[iv] Gagasan ini merupakan sebuah kritik atas pemikiran Plato yang menyebut tubuh sebagai penjara jiwa. Abraham Maslow melihat manusia dari sisi kebutuhan. Manusia senantiasa membutuhkan makan untuk bisa bertahan hidup, membutuhkan sesama manusia untuk bisa berdinamika dan berinteraksi dalam hidup sosial, dan juga membutuhkan sumbangan dan nutrisi intelektual agar bisa mencapai kesadaran kemanusian yang utuh. Namun sayangnya, seperti saya uraikan di awal kebutuhan-kebutuhan ini kadang membentuk budaya lapar akan pengetahuan dan menginginkan yang serba cepat. Setiap orang butuh yang cepat, –  mau makanan cepat saji, berita yang cepat, mengerjakan tugas dengan cepat –  yang sebenarnya juga terjebak pada ketidakutuhan dan ketidakbenaran.

Memang tidak bisa dielakan lagi bahwa kini dengan adanya perkembangan IPTEK, masyrakat masuk dalam suatu budaya baru, yakni budaya serba cepat (fast society). James Gleick seorang psikolog menulis bahwa manusia saat ini sedang berada dalam pola bisnis, teknologi, transportasi dan gaya hidup serba cepat.[v] Sayangnya kecepatan tidak memberikan jaminan bagi kesejahteraan kehidupan manusia itu sendiri. Kecepatan atau ketergesaan malah memberikan ruang bagi manusia untuk tidak bisa mendalami esensi kehidupan itu sendiri. Dalam masyrakat serba cepat, pahlawan kita adalah orang-rang yang membuat segala sesuatu berlangsung lebih cepat. Dan persis disinilah makna diri yang utuh kehilangan esensialnya.

Untuk mendamaikan situasi di atas atau membentuk manusia utuh – tujuan kita belajar filsafat manusia – maka dibutuhkan suatu kemampuan untuk memahami kehidupan dengan baik dan bebas bertanggung jawab. Orang yang bebas adalah orang yang tidak terikat dan menyadari pola relasi dan juga pola hidupnya. CB Mulyatno mengafirmasi hal ini dengan menekankan bahwa kualitas diri dan kemandirian sesorang sejajar dengan kualitas relasinya dengan yang lain.[vi] Apabila seorang hanya membeo atau dalam bahasanya Robert Holden terjebak dalam dunia serba cepat, integritas dan keutuhan dirinya akan semakin berkurang.

Filsafat manusia disini mutlak dibutuhkan untuk bisa menegosisai keadaan demikian – keadaan masyrakat yang dikejar oleh kecepatan dan banjirnya tawaran pengetahuan – agar bisa membentuk pribadi filosfis. Filsafat manusia memberikan wawasan dan orientasi agar memampukan setiap pribadi bergerak maju dan mendalam di dunia yang terus berubah. Kedalaman dan kematangan dalam menangani persoalan kehilangan identitas di tengah maraknya masyrakat serba cepat dapat membentuk pribadi manusia yang integral. Seperti kata Pierre Teilhard de Chardin, seluruh kehidupan manusia terletak dalam kata kerja ‘melihat’ bukan hanya dengan mata tetapi juga dengan pikiran dan hati. Kecakapan dalam melihat melahirkan pribadi adaptif yang utuh dan matang serta bebas dan bertanggung jawab.



[i] Abraham J heschel, Who is Man,(California, Standford University Press: 1965), hal 5-6. 

[ii] Ben Agger, The Virtual self, a contemporary sociologi, (USA, Blackwell Publishing: 2004), hal 156.

[iii] Hendro Setiiawan, Manusia Utuh, (Yogyakarta, Kanisius: 2014), hal 16.

[iv] Hendro Setiiawan, Manusia Utuh, hal 8.

[v] Robert Holden Ph.D.  Success intelligence terjeh. Yuliani Liputo (Bandung, Mizan: 2007), hal 28.

[vi] CB Mulyatno, Menguak Misteri Manusia (Yogyakarta, Kanisius: 2009), hal 16.

Selasa, 21 September 2021

Sakramen Rekonsiliasi? Apa Sih?


Semua umat kristiani sejak awal dipanggil untuk menjadi kudus (bdk. Lumen Gentium. art. 33). Panggilan menuju kekudusan terpatri dalam diri manusia yang sering dipandang sebagai Citra Allah atau Imago Dei. Kekudusan manusia juga tidak terlepas dari tujuan sejarah kisah penciptan semesta oleh Allah. Pada awal penciptaan, Allah sudah mengudusakan semua ciptaan-Nya ‘…Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya…’(Kej.2:3). Peristiwa pengudusan oleh Allah ini adalah tanda dasar bahwa manusia diciptakan untuk menjadi kudus. Bahkan hal ini juga diwariskan  dalam DNA manusia yang sering disebut sebagai rekan kerja Allah (cocreator). Namun seiring berjalannya waktu, manusia jatuh dalam keadaan dosa. Degradasi keadaan manusia berawal dari titik ini – kejatuhan manusia (dosa manusia pertama, Adam dan Hawa) – menjadi tanda kejatuhan dan dosa bagi manusia generasi selanjutnya (next generation). Dosa manusia pertama adalah dosa melanggar hukum Tuhan atau tidak taat pada perintah Tuhan (bdk. Kej. 2:16-17). Peristiwa ini menunjukan bahwa akan selalu ada aspek relasional dan sosial dalam keberdosaan manusia, yakni antara Tuhan dan manusia atau juga antara pribadi manusia. 

Dalam Perjanjian Lama ditegaskan bahwa ‘dosa sebagai perlawanan atau pemberontakan terhadap Allah. Akar dosanya adalah kehendak bebas manusia yang memilih untuk mengkhianati kebebasan yang adalah anugerah dari Allah’ (bdk. Peter Aman, Moral Dasar: 2016, 148 & 149). Sementara dalam pemahaman Perjanjian Baru, dosa dan pertobatan dikaitkan dengan erat dan tidak terpisahkan. Bahkan Yesus sendiri memulai pewartaan-Nya dengan seruan akan pertobatan (bdk. Mat. 3:7-10, Luk. 3:7). Dosa memang menjauhkan diri dari Allah: tidak taat (Luk.15:21) dan melakukan kejahatan, (Mat: 7:23). Dosa dalam Perjanjian Baru adalah realitas kehidupan manusia yang jauh dari Allah yang memberikan kebebasan pada manusia. Dosa selalu berhubungan dengan mereka yang beriman pada Allah sedangkan bagi yang tidak memiliki iman tindakannya dinilai dari salah atau jahat. Dosa menunjukan ketidakmampuan manusia untuk memahami kebebasan dari Allah. Kebebasan yang dijalankan sebebas-bebas dan tanpa alur jelas adalah akar dari dosa. Singkatnya Perjanjian Baru menilai kesalahan dalam menginterpretasi kebebasan adalah cikal bakal adanya dosa.

Untuk membangun kembali relasi yang putus dengan Allah ini maka dibutuhkan suatu tindakan pertobatan. Gereja Katolik memiliki tradisi sakramen rekonsiliasi bagi umatnya yang sudah berada jauh dari koridor ‘perintah’ Tuhan (berdosa). Ketidataatan atau dosa manusia tersebut membawa manusia pada satu sikap penyesalan. Penyesalan adalah jalan untuk membangun kembali relasi dengan Tuhan. Penyesalan ini diejahwantahkan melalui sakramen pertobatan atau rekonsiliasi. Sakramen rekonsiliasi menjadi momen untuk kembali, saat untuk kembali bergandeng tangan bersama Tuhan. Perlu digarisbahwahi bahwa, Tuhan yang Mahakasih tidak pernah menjauhkan diri-Nya dari manusia, manusialah yang kadang lelah atau “malas” mencari kerahiman Tuhan itu sendiri. Maka adalah keberuntungan besar, apabila ada kesadaran akan keterbatasan-keterbatasan dalam diri manusia. Kesadaran ini yang tentunya dengan sendiri membangun kembali relasi dengan Tuhan. Penyesalan tanpa tindakan nyata adalah kesia-siaan, karenaya dibutuhkan buah yang baik dari tindakan penyesalan dalam sakramen rekonsilasi tersebut, misalnya berbuat baik terhadap sesame manusia. Dorongan berbuat baik inilah yang disebut sebagai cikal bakal adanya nilai-nilai moral dalam kehidupan umat beriman.

Moralitas selalu berhubungan dengan ‘cara berada serta kualitas pribadi sebagai manusia – tentang baik dan buruk tindakan manusia’ (bdk. Peter Aman). Itulah sebabnya moralitas selalu mengandung suatu tuntutan untuk berbuat baik dan menolak yang jahat. Kehidupan moral yang baik dalam paradigma kristiani adalah buah dari kerjasama antara manusia dan rahmat Allah. Oleh rahmat Allah orang sadar akan kemalangannya dan menyatakan kelemahannya. Manusia yang bertobat dan menyadari kelemahannya (sakramen rekonsilasi) pada dasarnya mengandung perkembangan moral yang terjadi dalam relasi dengan sesama. Ini adalah hal penting dari sakramen rekonsiliasi, ada kesadaran manusia untuk kembali pada tindakan kebaikan. Gambaran relasi antara sakramen rekonsilasi dan perkembangan nilai moral adalah demikian ‘seorang berdosa membutuhkan pertobatan dan buah dari pertobatan adalah menjalani kehidupan yang baik di mata sesame, kehidupan baik adalah gambaran orang yang memiliki moral baik’.

Sakramen rekonsiliasi amat penting dalam hidup umat beriman, karena memberikan damai dan memulihkan relasi dengan Allah dan sesama. Aspek relasional dalam sakramen rekonsiliasi tidak hanya berimplikasi pada hubungan dengan Allah, tetapi relasi antar manusia. Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium 11 menjelaskan bahwa ‘mereka yang menerima sakramen tobat memperoleh pengampunan dari Allah dan sekaligus didamaikan dengan Gereja’. Perdamaian dengan Gereja berarti berada dalam relasi etis dan tanggung jawab serta menghayati nilai-nilai kebaikan dalam hidup bersama (nilai moral kristiani).

Katekismus Gereja Katolik 1431 memberikan empat unsur pertobatan yang mana terjadi perubahan radikal orientasi dalam hati dari yang berpaling dari jalan Allah menuju pada Allah  (pertama), menolak untuk bertindak buruk atau jahat khususnya pada setiap tindakan yang sudah dilakukan sebelum rekonsiliasi (kedua), keinginan untuk mengubah hidup dan harapan akan dibantu oleh Allah pada hal-hal baik (ketiga) dan mengubah hidup pada kebahagian atau tidak susah dan sedih (keempat). Dari uraian ini dapat diketahui nilai-nilai moral yang muncul dalam tradisi pengakuan dosa. Pengakuan dosa bukan hanya menjadikan pribadi seseorang kudus, tetapi bersedia mengubah pada keyakinan untuk berkanjang dalam kebaikan dan hidup damai dengan sesama manusia. Agustinus menekankan pertobatan berarti perubahan moral, kembali pada tata laku yang baik (bdk. Civitate Dei). Hal ini mengafirmasi adanya perkembangan moral dalam tradisi pengakuan tersebut.

Dalam tradisi rekonsiliasi, hal penting dari pihak manusia yang berdosa adalah pengakuan untuk menyadari dan menerima diri sebagai pendosa dan menjalankan kehidupan yang baru. Hidup baru dalam tata laku sebagai orang yang sudah bertobat berarti membangum relasi yang harmonis dengan Allah dan diejahwantahkan dalam hidup baik. Di sini tampak aspek perkembangan moralitas pribadi seorang kristiani sebagai buah dari sakramen rekonsilasi. Pengajaran demikian biasaya ada dalam penitensi yang diberikan pada saat pengakuan, yang mana para imam biasanya selalu berusaha menasihati adanya niat dan tindakan atau perilaku untuk berubah dari yang buruk menuju hal-hal yang baik. Kekristenan meyakini pertobatan manusia tidak hanya pelaksaan ‘ritual formal melalui sakramen rekonsilasi, tetapi mesti diwujudkan dalam hidup sehari-hari’ (Wiliam Chang, Pengantar Teologi Moral, 201). Dimensi sosial-moral pertobatan menggambarkan tradisi ini memiliki impikasi etis pada kehidupan umat beriman kristiani. Di sini tampak bahwasannya tradisi pengakuan memiliki pengaruh pada moral kristiani.

Rabu, 01 Juli 2020

Mawar (Tak) Berduri

Semakin situasi itu sulit, menakutkan, menegangkan dan tragis, semakin kita didesak untuk MEMILIH. Memilih tuk berbuat sesuatu! Dalam situasi ambang batas, dunia menjadi CERMIN KEBEBASAN. Dia memberi kita berjuta kesempatan untuk memilih secara bebas. Ekspresikanlah who you are freely?

Beberapa bulan terakhir, saya membantu seorang gadis cantik nan jelita untuk membaca ulang dan mengoreksi tesis akhirnya. Dia seorang gadis baik, imut, dan bertalenta. Saat ini gadis berambut panjang dan mempesona itu sedang berjuang menghabiskan masa-masa akhir kuliahnya di sebuah kampus swasta. Untuk tidak membuat kalian penasaran, kita sepakati saja namanya Nona Mawar. Mengapa harus Mawar? Karena memang dia seperti bunga Mawar. Hanya saja ada perbedaan yang khas antara kedua mawar ini; bunga berduri sedangkan Nona tidak berduri, walaupun sama-sama mawar. Indah sekali rasanya menjadi bunga yang indah, tidak berduri, mempesona, dan rentetan barisan kebaikan lainnya. But, kadang yang tidak berduri, mudah sekali untuk dipetik dan dipotong-potong, mudah untuk dilemparkan ke bara api. Mengapa? Because dia tidak punya kemampuan defense? Lebih baik menjadi bunga mawar yang berduri, agar dikau bisa menjaga dan mengurus diri. Durinya – pelindungnya. Demikian juga mungkin dalam hidup, kita semua membutuhkan duri untuk menjadikan kita kokoh dan kuat, tahan banting, pantang menyerah, punya kemampuan untuk menghadapi persoalan dan peliknya perkara dalam sejarah kehidupan.

Lalu, kalian mungkin berpikir Nona Mawar tidak tahu menjaga diri, tapi sebenarnya ia lebih dari itu. Ia tidak tahu nakal dan tidak tahu menyembunyikan kenakalannya. Bukan hipokrits. Sudahlah! Dia terlalu suci untuk diekspresikan dalam narasi. Sebenarnya dia tahu menjaga diri, dia mau menjadi dirinya yang sesungguhnya, otentik – menurut pengakuannya sendiri. Sayangnya dalam kepolosan dan keluguannya dia sering tidak bisa menjaga diri, dia terjebak dalam keasaliannya itu. Saya rasa cukup sudah kita berkisah tentang Mawar. Saya tidak ingin melanjutkannya, karena di awal tulisan ini saya bercerita tentang mengedit skripsinya. Terlalu banyak berkisah tentang mawar akan membuat kita susah move on. Bodoh amat. Move on hanyalah rasa dari mereka yang sedang berjuang melupakan pacar. Saya tidak punya pacar, saya punya saudara walau beda darah. Stop. Di sini saja!

Kita lanjut tentang tulis dan menulis. Saya baru menyadari, ternyata Anda dan saya adalah rangkaian kata yang membentuk kalimat, membentuk paragraph, membentuk sebuah skripsi, tesis, disertasi; membentuk tulisan. Setiap kata punya kekuatan dan kelemahan. Setiap kata bekerja sama membentuk sebuah tulisan baku yang diinginkan penulisnya. Setiap kata dan kalimat yang tidak benar dan baik, akan dihapus oleh editor yang mengoreksi tulisan tersebut. Saya berrpegalaman dalam hal ini. Heheh…sombong! Saya pernah menghapus beberapa kata, frasa dan juga kalimat dalam tesis nona Mawar. Setelah saya selesai mengedit dan mengirim kembali kepadanya. Percaya diri. Lega dan bangga rasanya mengoreksi tulisan orang lain. But lama-lama saya menyadari ternyata saya tidak menghargai perjuangan nona Mawar. Dia sudah berjuang merangkai kalimat indah, ilmiah dan paling penting, menulis sesuai dengan ide dan gagasannya sendiri. Nona Mawar sudah menulis apa adanya tentang dirinya sendiri, bukan kaleng-kaleng kata rekan Emil K, asli, otentik. Terimakasih Mawar! Nona harus paham, jika tulisan ini sedang merindu dan rindu itu sunyi, tak perlu bunyi. Karennya kita perlu tempat suci untuk bersembunyi. Sembunyi dari aslinya kita – walau durinya harus dan kadang ditampakan. Seperti Thurkle ‘A sacred place is not a place to hide out, it’s a place where we recognize ourselves and our comitments’. Selamat berekspresi Nona Mawar.

Yogyakarta, 30 Juni 2020

Fransiskus Sardi



Bagaimana Mungkin

Bagaimana mungkin saya harus berada di rumah,

sementara saya tidak memiliki rumah.

Bagaimana mungkin saya dilarang tuk kemana-mana,

sementara tempat tinggal saya ada di mana-mana.

Bagaimana mungkin saya bekerja dari rumah menggunakan alat-alat elektronik,

sementara semua barang-barang itu tidak ada pada saya.

Bagaimana mungkin saya harus bersedekah dengan orang lain,

sementara untuk makan seharian pun saya harus mencarinya hari ini.

Bagaimana mungkin saya harus berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa di tengah pandemi,

sementara pandemi kelaparan sudah ada sejak aku masih dibentuk dalam kandungan ibuku, sejak keluargaku, dan itu masih ada hingga saat ini.

Bagaimana mungkin hal ini bisa aku atasi. 

Mudah bagi kaum borjuis mengatakan bekerja dari rumah saja Abang 

Susah bagi proletar yang tak mempunyai pekerjaan mapan; para pekerja serabutan

Gampang tuk katakana ‘semua wajib mengenakan Masker’

TAPI Bagaimana denganku yang membeli celana dalam pun tak bisa.

Masker itu hanya buat mereka yang memiliki harta berlimpah, sebab banyak wajah memborong masker, banyak rupa menjual mahal.

Sedih menjadi saya.

Saya pemulung, pengemis, marginal kata yang tepat.