Jumat, 12 Juni 2020

SI KECIL SUKA MENDENGAR

"Janganlah kita bunuh dia! Janganlah tumpahkan darah, lemparkanlah dia ke dalam sumur yang ada di padang gurun ini, tetapi janganlah apa-apakan dia" (Kej. 37: 21-22)
            Ribuan tahun silam dalam sejarah perjalanan agama Abrahamik, kisah tentang Yakub menjadi kisah yang menarik perhatian banyak orang. Bahkan kisah itu masih hidup hingga saat ini. Bagaimana tidak? Ini adalah ceritera generative yang khas dalam tradisi Abarahmik. Yakub;  cucu Abraham dan Sara, anak dari Ishak dan Ribka seorang putra ajaib hasil penantian yang begitu panjang, dan cukup memakan waktu yang lama. Ia memiliki saudara kembar bernama Esau.
            Konon, menurut kisah Alkitabiah, Yakub dan Esau mempersoalkan hak kesulungan. Esau menjual hak kesulungan dengan semangkuk kacang merah dan roti. Konsekuensi dari tindakannya ini ialah Yakublah yang mendapat berkat dan hak kesulungan. Hidup Yakub selanjutnya selalu mendapatkan berkat. Ia memiliki 12 orang anak yang punya karakter dan kekhasanya masing-masing. Saya tidak terlalu menguasai kisah tentang keduabelas anaknya itu. Saya hanya ingin mengisahkan tentang seorang ‘puteranya’ yang masih ada bersama-sama dengan saya saat ini.
            Hari ini tanggal 12 Juni menjadi hari bahagianya. Dalam doa yang dia goreskan dalam story WAnya dia menyampaikan syukur atas perlindungan Tuhan pada ibunya yang telah melahirkannya. “Terimakasih Tuhan, telah menjaga mama selama 9 bulan. Hari ini engkau memberikan kelegaan baginya. Makasi Mama”. Ini adalah penggalan doa yang ia lantunkan pukul 00:07. WIB. Paginya, pukul 08:30 dia kembali berceloteh dalam storynya, “syukur kepadaMu untuk penyertaanMu hingga usia yang ke 22 ini. Terimakasih mama, bapa, dan adik-adikku, terimakasih komunitas untuk apresiasi dan masukan-masukannya, terimakasih untuk semua yang selalu mendukung, terimaksih untuk semuanya, juga buat kk Ghe yang membuat kue ulang tahunnya” (tulisan ini di buat hanya untuk membuatnya tetap mengenag ulang tahun di tengah pandemic c-19).
Dalam kelompok Yang Tak Terpadamkan, si kecil ini ialah pribadi yang paling suka mendengarkan. Mendengarkan, telinga, dua kata yang berkaitan. Sebagai Putera CMF, saya igin meneruskan 4 tingkatan mendengarkan versi Pater General (goresan ini saya peroleh dari Master P.D.K. ceo Di Ketepian Babilonia).
 Level-1: Echoing. Pada tingkat ini, mendengarkan tidak terjadi, karena orang tersebut berada dalam lingkaran mentalnya yang tertutup dan hanya mendengar apa yang sudah ia ketahui dan apa yang menegaskan kembali ide, pendapat, dan prasangkanya sendiri. Apa pun di luar ini disingkirkan atau ditolak. Oleh karena itu, ini lebih merupakan monolog daripada dialog.
Level 2: Berdebat. Pada level ini, seseorang terpaku pada persepsinya sendiri meskipun ada paparan informasi baru. Oleh karena itu, seseorang berjuang untuk melindungi persepsi-persepsi yang ada dengan mengabaikan informasi baru apapun. Argumentasi defensif menghalanginya untuk mendengarkan dengan tulus.
Tingkat 3: Mendengarkan dengan empati. Pada tingkat ini, seorang bersedia mengurung perspektifnya sendiri dan bergerak keluar untuk memahami yang lain. Ini adalah pergeseran ke tingkat yang lebih dalam karena orang tersebut dapat menempatkan dirinya pada posisi orang lain dan terhubung dengan pengalaman orang tersebut. Ini memungkinkan pandangan-pandangan akan lebih jauh lebih kaya. Empati mengubah permusuhan menjadi keramahan dalam kaitannya dengan perspektif berbeda yang ditawarkan. Dalam perjalanan Emaus, Yesus membiarkan para murid mengungkapkan apa yang sedang terjadi dalam diri mereka dan mendengarkan frustrasi mereka.
Level 4: Mendengarkan secara generatif. Ketika mendengarkan semakin mendalam, seseorang terhubung dengan masa depan yang muncul yang tersembunyi pada masa kini. Pada level ini seseorang berhubungan dengan tujuan hidup dan kemungkinan masa depan yang menunggu untuk dilahirkan. Yesus membuka pikiran para murid untuk memahami bagaimana segala sesuatu berlangsung sesuai dengan rencana Allah dan untuk memahami seluruh arti penyaliban, kematian, dan kebangkitan Kristus. Mendengarkan Yesus mengobarkan api di dalam hati mereka. Mereka melihat kemenangan hidup dan cinta melampaui kisah sengsara, yang sudah ada dalam situasi mereka saat ini.
            Senada dengan Pater Jendral, saya ingin menyampaikan pesan ini untuk adik Ube CMF, tetaplah jadi pendengar yang baik. Pendengar yang baik ialah pendengar yang sampai pada level 4. Pendengar baik punya imajinasi jika kedua telinganya akan membentuk potongan-potongan hati; dengarkanlah dengan hati. Akhirnya, jadilah Ruben yang berani mengatakan ‘janganlah kita membunuh dia’ dan si kecil yang mau mendengarkan, sebagimana kau lontarkan ‘saya si kecil pendengar yang baik (rendah hati  katanya)’. Iya, kau memang kecil dari kami bersembilan (fisik), but not about your spirit. You more than me. Selamat bekisah di 22.
Ube CMF

         

Rabu, 10 Juni 2020

DOA: KEJENUHAN DAN SENSASI



Doa sering diartikan sebagai hubungan yang intim dengan Tuhan. Doa memampukan seseorang untuk melakukaan dan mendapatkan apa yang dipandang tidak masuk akal manusia; melampaui kodrat manusia. Doa mengubah hidup manusia, menjadi kekuatan bagi manusia yang lemah dan rapuh, menjadi sarana yang menjadikan pribadi manusia mampu mencapai sesuatu yang adikodrati. Dengan berdoa kita merasa dikuatkan dan bisa menerima semua tantangan, cobaan, dan penderitaan dalam hidup. Doa juga sering diartikan menyerahkan seluruh hidup pada rencana Tuhan. Membiarkan Tuhan membentuk dan menjadikan hidup sebagaimana mestinya, berdasarkan kehendak dan rencanaNya. Salah satu tokoh Kitab Suci yang menampilkan kesalehan dalam berdoa ini adalah Ayub. Kesalehannya dalam berdoa membuatnya bertahan walaupun diuji dalam berbagai bentuk penderitaan. (Baca; Kisah Ayub)
Alkisah Ayub adalah tokoh yang sangat saleh dan jujur. Ia takut akan Allah dan menjauhi darinya segala kejahatan. (Cf. Ayb. 1:1). Dalam buku, Degup Jantung Tuhan Curhat Wanita Pendaharaan, Gusti Supur, CMF. menjelaskan hakikat kata takut. Takut (yare) tidak menunjukan pada keadaan horor, tetapi pada sikap Veneror: menghormati dan bersembah sujud dihadapan  Allah sang Nama (hashem). Iman Ayub adalah iman yang takut akan Allah, takut akan Allah selalu berarti Shama: mendengarkan Dia dengan taat. Iman Ayub bukanlah iman yang cerewet, banyak bicara, melainkan iman yang selalu ditandai dengan sikap mendengarkan dengan taat dalam keheningan batin.
Tokoh Ayub menyerahkan seluruh hidupnya secara total pada kehendak Allah. Walaupun kemalangan dan penderitaan menimpa dirinya ia tetap mentaati Allah dan tidak pernah sekali-kali mengutuk Allah. Para saudara, sahabat dan bahkan isterinya sendiri mempertanyakan kehadiran Allah di saat-saat Ayub mengalami penderitan itu (cf.Ayb. 2:9). Dalam derita itu Ayub merasakan ketidakadilan yang diperlakukan Tuhan atas dirinya. Tetapi ia tetap setia dan taat pada Allah. setia dan taat ini karena ketakutannya akan KeMahaKuasaan Tuhan. Dalam kacamata kebajikan kerendahan hati, takut akan Tuhan adalah tindakan auto-submission di mana seseorang secara suka rela  dan tulus ikhlas menenggelamkan dirinya dalam samudera Kemahakuasaan Tuhan. Saat mana hidupnya dibiarkan dimonopoli secara total oleh Allah.
Perjalanan hidup Ayub sebagai seorang hamba Allah yang saleh namun ditimpa kemalangan, merupakan sebuah gambaran perjalanan hidup umat Kristiani dari jemaat perdana hingga zaman sekarang. Kisah Ayub, menggambarkan bahwa doa dan pengharapan yang besar pada Allah memampukan manusia untuk menerima semua rencana Allah. Lalu bagaimanakah pengaruh doa di tengah perkembangan teknologi dan kemajuan dunia saat ini? Apakah doa masih sungguh sebuah sarana transformasi atau hanyalah sebuah rutinitas belaka yang tak memberi pengaruh sama sekali?
Hemat penulis, berdasarkan realitas yang diamati dalam rumah formasi kita khususnya di Pra Novisiat Claret, kita sepertinya sedang mengalami sebuah kemandekan spiritual; pudarnya nilai spiritual dalam diri dan kurangnya sikap mistis injil. Hal ini dapat diamati dalam tindakan doa-doa harian kita yang kadang hanya menjalankannya sebagai aktivitas belaka, tanpa kerinduan akan perjumpaan dengan Dia. Memang tidak semua kita mengalami sikap ini, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa kita sedang mengalami kejenuhan. Hal ini di satu sisi menujukan bahwa doa kadang hanyalah sebuah ajang sensasi, ‘roh’ dari doa itu sendiri tidak lagi diperhatikan.
Kongregasi Claretian dalam dokumen kapitel XX, Claretian In Process of Renewal; menyadari bahwa banyak anggota Claretian yang mengalami sejenis kemandekan spiritual dan kurang memiliki sikap mistik injil dan semangat tinggi yang dibutuhkan dalam melaksanakan karya misi (cf. CPR. no. 46). Keprihatinan ini secara tidak langsung menunjukan bahwa kemandekan itu sudah ada seiring berkembangnya kongregasi. Mengatasi problema kongregasi menekankan kepada para Claretian untuk kembali menghayati secara mendalam komitmen pribadi, pengalaman khas dari rahmat panggilan dan menghidupkan kembali secara sungguh makna hidup berkomunitas. Solusi ini setidaknya mengantar kita untuk mengatasi rasa jenuh dalam diri.
Mengatasi penyakit pikiran atau kejenuhan, penulis mencoba menawarkan gagasan cemerlang Albert Camus dan Paulo Coelo. Albert Camus pada bagian pengantar esay Mite Sisifus mengatakan bahwa dalam kehidupan harian tentunya manusia akan selalu sampai pada sebuah sikap atau titik kejenuhan. Camus menyebutkan ini sebagai sebuah penyakit pikiran (mal de l’esprit). Senada dengan Camus, Paulo Coelo seorang novelis kelahiran Brasil, Agustus 1947 dalam novelnya The Zahir  mengafirmasi pernyataan Camus, di mana setiap manusia akan sampai pada sebuah sikap kejenuhan yang berkepanjangan dan atau hanya sementara. Coelo membahaskannya dengan istilah accomodador. Camus dan Coelo menegaskan bahwa kejenuhan itu sebenarnya  muncul karena pikiran manusia, oleh karena itu mereka mengatakan hal yang perlu diperhatikan adalah membangun sebuah sikap kesadaran. Kesadaran dapat tercapai melalui dua cara yakni dengan menciptakan suasana dan ruang kontemplasi kolektif (contemplative collective) dan keheningan batin yang personal dan comunal. Seorang akan menjadi pribadi yang baik apabila dia mampu menembus dan menerobos titik kejenuhan itu sendiri. Kejenuhan yang membuat kita mengalami kemandekan dan kurang memiliki sikap mistik injil. Kejenuhan juga membuat kita menjadikan doa sebagai ajang sensasi.
Penulis meyakini kejenuhan akan berlalu jika kita belajar dari tokoh Ayub dan juga solusi yang ditawarkan oleh Albert Camus dan Paulo Coelo. Sebagai Claretian dan Juga Calon Claretian kita juga mendapat pencerahan yang disuguhkan oleh dokumen kapitel ke-20 untuk kembali bersemangat dalam doa dan memperbarui diri kita (Renew our self). Dengan demikian “roh” dari doa mampu menjadi sarana transformasi diri.
Yogyakarta, 2020
Fransiskus Sardi


MEMENTO MORI (REMEMBER THOU MUST DIE)

Bagaimana Anda mempersiapkan waktu kematianmu? Suatu hari anda akan mati. Pasti! Semesta telah membuktikannya, dan sekarang di Indonesia, (9 Juni 2020) sudah ada 1.923 orang ‘pergi’ mendahului Anda dan saya dengan dalih makhluk renik bernama covid-19 sebagai penyebabnya. Entahlah! Saya ingin menegaskan bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan. Keduanya adalah dua putera dari satu bumi. Tak terpisahkan! Kematian, rasanya mengerikan dan menakutkan. Lebih parah lagi, ketika masih ingin menikmati indahnya semesta, tiba-tiba harus beralih ke dunia lain, ajal menjemput seperti syair sebuah lagu.

Mati! Kata yang menakutkan dan juga membuat orang selalu was-was. Tidak pasti kapan akan terjadi yang pasti hanyalah sebuah kepastian akan terjadinya kematian. Kematian ibarat sebuah gema kehidupan yang tidak pernah berhenti membuntut. Walau banyak yang ingin berlari dan menghindar tapi toh dia akan tetap ditaklukan dan dikalahkan oleh kematian. Ketakutan terhadap kematian adalah ketakutan terhadap kehidupan, karena hidup selalu melekat dengan kematian. Keduanya berjalan beriringan, dan yang pasti kematian adalah adiknya kelahiran… Mungkin demikian!

Epictetus, dalam Discourses mengisahkan bahwa para Jendral Romawi yang merayakan kemenangan pasca perang sering mendengar bisikan yang juga bisa dikatakan sebagai warning ‘memento mori’. Frasa ini sederhana, tapi menyurat dan menyiratkan makna nan menukik.

Hewan mati, teman mati, dan dirimu sendiri juga akan mati; tapi satu hal yang saya tahu tidak pernah mati, kisah tentang orang mati; selalu abadi.

Rasanya mengerikan kematian itu. Suka tidak suka, mau tidak mau, kita harus menerimanya sebagai bagain dari ziarah perjalanan. Kematian adalah cover terakhir dari sebuah ‘buku’ perjalanan hidup manusia yang diawali dengan cover depan (kelahiran). Setiap perziarahan; suka duka, adalah lembaran-lembaran kisah yang mewarnai perjalanannya. Saya heran dan terharu ketika membaca sebuah berita yang dituliskan dalam sebuah majalah, entah edisi berapa saya tidak mengingatnya secara pasti. Dikisahkan bahwa ada beberapa orang-orang tua yang melakukan meditasi kematian, dengan membiarkan diri masuk dalam peti mati; menjadi orang mati sehari. Mengerikan!

Ternyata dalam tradisi Buddha, sangat familiar dengan meditasi kematian. Bahkan dijelaskan: “Dari semua jejak kaki, jejak kaki gajahlah yang tertinggi. Begitu pula, dari semua meditasi pikiran, meditasi atas kematian adalah yang tertinggi.” Meditasi akan kematian menjadikan kita sadar bahwa hidup ini singkat dan sungguh disayangkan jika tidak dijalani dengan baik.

Sebuah penelitian dari University of Kentucky menjelaskan bahwa “memikirkan tentang kematian membuat kita berorientasi ke stimulus yang menyenangkan secara emosional.” Penelitian yang dilakukan oleh C.Nathan DeWall dan Roy F. Baumeister tersebut menemukan bahwa “hal ini terjadi di luar kesadaran kita, fakta yang berkontribusi terhadap kegagalan seseorang memprediksi seberapa cepat mereka akan pulih dari kejadian yang tidak menyenangkan. Fakta membuktikan bahwa respon yang umum terhadap perenungan kematian adalah orientasi tidak sadar terhadap pemikiran yang menyenangkan.” Artinya permenungan akan kematian tidak melahirkan bayangan ketakutan, tetapi pada sebuah kesadaran metafisis.

Bayangkan bahwa tidak ada kejahatan yang menimpa orang yang telah meninggal, bahwa kisah yang menjadikan dunia bawah tanah sebagai tempat teror bagi kita hanyalah sebuah dongeng belaka, bahwa tidak ada kegelapan yang mengancam orang mati, tidak ada penjara, atau lautan api yang menyala-nyala, atau tempat duduk penghakiman, tidak ada orang berdosa yang harus mempertangungjawabkan kejahatan mereka, bayangkanlah: semua itu hanyalah imajinasi para penyair, yang telah menyiksa kita dengan ketakutan yang tidak berdasar.

Kematian adalah pembebasan dari semua rasa sakit; mengembalikan kita pada keadaan damai di mana kita berbaring sebelum kita dilahirkan. Jika seseorang mengasihani mereka yang telah meninggal, biarkan dia mengasihani juga mereka yang belum dilahirkan. Kematian bukanlah tentang kebaikan atau kejahatan; karena darinya sesuatu bisa menjadi baik atau jahat, dan akhirnya kematian membebaskan kita dari keberuntungan.

Lupakan yang lainnya, pusatkan pikiran pada satu hal: jangan takut akan kematian. Jadikan kematian sebagai kerabat dekat anda Melalui refleksi panjang menjadikan kematian sebagai salah satu kenalan dekat Anda, sehingga, jika situasinya muncul, Anda bahkan bisa keluar dan menemuinya (Seneca, Earthquake).

Kesadaran akan kerapuhan dan kematian manusia, akan menjadikan manusia semakin sadar untuk menjadi hidup lebih baik dan bermanfaat bagi sesama manusia di dunia. Di tengah pandemic covid-19 saat ini, menyadari akan kerapuhan, menjadi jalan untuk lebih care denga hidup, sesama, alam dan Tuhan. Bagaimanapun juga kematian adalah bagian dari kehidupan, dan akan tetap beradu sampai penderitaan tidak ada lagi di bumi ini. Akhirnya, Memento Mori, INGATLAH ANDA AKAN MATI!

            Yogyakarta, 10 Juni 2020

            Fransiskus Sardi

*Pada Akhirnya


 

Selasa, 09 Juni 2020

MAHASISWA KRITIS DI ERA TEKNOLOGI


Mengembangkan budaya kritis dalam dunia pendidikan adalah tujuan esensi dari proses pendidikan itu sendiri. Sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya juga, pada umumnya mengedepankan sikap,  dan nilai kritis demi membangun dan melahirkan generasi-generasi yang berkualitas. Term kritis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ‘sikap tidak mudah percaya atau selalu berusaha untuk menemukan kesalahan dan kekeliruan, mempertanyakan dan meragukan kesahihan suatu pernyataan, atau tindakan, dengan analisa yang tajam (analisis kritis). Definisi ini berhubungan dengan logika atau cara berpikir kritis. Lazimnya, ukuran berkualitas atau tidaknya sebuah lembaga pendidikan ditentukan sejauh mana lembaga tersebut berhasil mencetak output-output yang berkualitas.  
Teknologi, khususnya dalam bidang sosial media telah menawarkan kemudahan dan juga keruwetan bagi mahasiwa zaman now. Berhadapan dengan kemajuan teknologi khususnya bidang media sosial, para mahasiswa ditempatkan pada dua kemungkinanan dasar, yakni mampu menguasai teknologi atau malah dikuasai oleh teknologi. Pribadi yang mampu menguasai teknologi mampu untuk mengendalikan teknologi, sedangkan pribadi yang dikuasai oleh teknologi akan dikendalikan oleh teknologi. Keadaan dikuasai teknologi atau menguasai teknologi adalah pilihan yang bisa ada jika user memiliki kemampuan untuk berpikir kritis.
Kata kritis memiliki dua makna, yang pertama berarti sikap tidak mudah percaya atau selalu berusaha untuk menemukan kesalahan dan kekeliruan dari suatu pernyataan atau tindakan, dan analisa yang tajam (analisis kritis). Yang kedua, kritis juga bisa diartikan sebagai situasi krisis, gawat, genting, dalam keadaan yang paling menetukan berhasil atau gagalnya suatu usaha. Definisi yang kedua ini lebih berkaitan dengan suatu keadaan manusia, alam, dan binatang atau pun ciptaan pada umumnya. Bertolak dari definisi tersebut penulis melihat bahwa perkembangan teknologi membawa manusia pada situasi kritis yang mana membawa pada hal yang ruwet dan juga menawarkan kemudahan sehingga melahirkan pola pikir yang serba instan, karenanya diperlukan sikap kritis atau dengan lain kata mengkritisi perkembangan teknologi.
Mengkritisi bukan berarti menjauhkan diri tetapi selalu melihat nilai positif dari perkembangan dan kemajuan teknologi. Memanfaatkannya dan menggunakan pengaruh perkembangan dan kemajuan teknologi untuk kepentingan dan kebaikan personal, bersama, dan alam. Ketika setiap mahasiswa memanfaatkan dan menggunakan kreasi teknologi sebagai hal yang baik dan benar maka disaat itulah sebenarnya tumbuh generasi yang kritis. Kekritisan yang mau ditekankan di sini bukanlah tentang keadaan, tetapi lebih pada pola pikir dalam diri. Mahasiswa yang kritis tidak mudah percaya pada apa saja, ia selalu melakukan investigasi dan verifikasi lanjutan demi mencapai suatu nilai informasi yang kritis.  
Salah satu dari 10 skilss yang ditawarkan oleh World Economic Forum: the 10 skills you need to thrive in the fourth industrial revolution tahun 2016 adalah cara berpikir kritis (critical thingking). Setiap orang diharapkan paling tidak memiliki kemampuan berpikir kritis ditengah pesatnya perkembangan dunia. Di era revolusi industri 4.0 saat ini ada banyak kemudahan dalam mengakses berbagai materi pendidikan atau bahan perkuliahan. Pengetahuaan dan informasi yang dulu hanya bisa didapat ketika seorang mengikuti proses belajar di kelas dan dalam bentuk formal kini bergeser dengan mudahnya diakses melalui media online, yang merupakan buah dari perkembangan teknologi.
Menurut Widodo Budhiharto, opini Kompas 8 November 2019, Pendidikan di era 4.0 merupakan istilah umum yang dipakai para ahli teori pendidikan untuk menggambarkan beragam cara dalam mengintegrasikan teknologi siber  (cyber technology) baik secara fisik maupun tidak ke dalam dunia pembelajaran. Ujung dari revolusi industri 4.0 adalah otomasi untuk efisiensi dan kinerja handal. Oleh karena itu, mahasisiwa harus punya wawasan yang luas serta disiapkan kemampuan critical thingking, yaitu mampu menemukan cara alternatif untuk mengerjakan sesuatu dan bekerja dalam batasan tertentu sehingga menghasilkan solusi yang lebih efisien.
Kemampuan mengkreasi adalah hal yang mungkin bisa ada ketika seorang mahasiswa menggunakan nalar kritisnya untuk menilai dan memahami apa yang akan menjadi tuntutan dan kebutuhan zaman. Kebutuhan dan trend di setiap zaman selalu berubah, karenanya memahami trend dan minat dari zaman tersebuta adalah hal yang harus ada dalam diri para mahasiswa. Kemampuan memahami dan mengetahui tuntutan zaman adalah hal yang mungkin bisa terjadi ketika sesorang memahami cara berpikir kritis. Mahasiswa kritis selalu bisa membuat komparasi antara kebenaran dan kedungguan. Menjadi mahasiwa kritis di era teknologi berarti selalu berusaha menciptakan hal baru dengan tujuan membangun nalar kritis bangsa.
Presiden Jokowi dalam satu kesempatan presidential lecture di depan ribuan CPNS menegaskan bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) harus bersaing dengan teknologi, mesin dan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Perubahan dunia sangat cepat oleh karena itu komunitas-komunitas dan lembaga-lembaga akademis mestinya memiliki sikap siap sedia untuk menanggapi perkembangan dunia yang cepat tersebut. sekolah-sekolah diharapkan bergerak cepat agar sesuai dengan kecerdasan dan dinamika digital.Bergerak cepat dan respon cepat adalah harapan yang diutarakan oleh jokowi. Menanggapi hal ini saya melihat bahwasannya pendidikan di Indonesia haruslah pendidikan yang bisa menggunakan media-media teknologi yang telah merembes ke pelosok-pelosok Negara Indonesia.
Yogyakarta, 09 Juni 2020

Fransiskus Sardi

BELAJAR BERSAMA SAMPAI AKHIR

FACE TO FACE, SCREEN TO SCREEN!

Perjumpaan
Dalam satu kesempatan Adam Smith (1723-1790) seorang filsuf berdarah Skotlandia menyebut manusia sebagai homo homini socius, rekan atau sahabat bagi manusia lainnya. Ungkapan ini menunjukkan bahwa manusia makhluk yang mutlak membutuhkan orang lain sebagai sahabat atau rekan dalam hidup. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial menjadikan setiap pribadi selalu berada dalam lingkaran relasi dengan orang lain. Lazimnya, relasi selalu bermula dari perjumpaan; perjumpaan menjadi titik awal sebuah relasi. Maka yang takut berjumpa sebetulnya lupa asal, karena justru manusia itu hadir karena relasi. Dengan demikian perjumpaan menghasilkan relasi, relasi menelurkan kehidupan. Inilah unsur resiprokal dari esensi manusia sebagai makhluk sosial.
Era baru: Face to Face moves to’ Screen to Screen
Dalam budaya masyarakat Manggarai, dikenal sebuah istilah ‘lonto leok’ yang berarti kumpul bersama atau musyawarah. Lonto leok merupakan warisan budaya yang mana para tokoh masyarakat berkumpul bersama dan membangun ruang perjumpaan untuk membahas hal-hal mengenai cita-cita sekaligus mengevaluasi kehidupan. Lonto leok menjadi media untuk saling bertukar pikir, bercerita, bersenda gurau, bertukar pengalaman dan pengetahuan tentang fenomena kehidupan. Yang terpenting, relasi yang dibangun dalam tradisi lonto Leok ini, adalah sebuah relasi yang terjadi secara langsung, berhadap muka atau yang saya sebut sebagai perjumpaan face to face.
Perjumpaan face to face atau tatap langsung merupakan sebuah jenis relasi antar manusia yang paling asali sekaligus primodial karena diturunkan dari nenek moyang kita. Sebuah relasi yang punya kapasitas untuk menelurkan kehidupan. Atau mengutip Adam Smith, ini adalah sifat dasar manusia, selalu ada dalam relasi dengan orang lain.   
Dunia terus berkembang, ada begitu banyak hal juga yang berubah dan berkembang sebagai konsekuensi dari perkembangan. Saat ini manusia berhadapan dengan aneka macam media komunikasi yang memberikan warna yang berbeda dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Dimulai dari surat pena zaman siti nurbaya, telepon kabel, hingga smartphone yang available di manapun dan kapanpun. Itulah media sosial.
Media sosial yang booming dengan penemuannya yang masif seperti Handphone, laptop, tablet disertai dengan aneka macam platform Facebook, YouTube, Twitter, Instagram, Blogger kemudian membuat perjumpaan langsung seolah kehilangan makna. Di media sosial semua orang bisa mengakses dan mengupload informasi tanpa harus melangkah keluar dari ruang pribadinya untuk sekadar bersua muka mencari informasi. Perjumpaan face to face telah bergeser menuju perjumpaan dari layar ke layar (screen to screen).
Dapat dibayangkan, media sosial kini merajai generasi dari yang masih cabang bayi sampai tua keladi. Semua terkoneksi satu sama lain. Bahkan untuk Indonesia, dikutip dari Annual Digital Growth, sampai January 2019, kurang lebih 150 juta penduduk Indonesia aktif menggunakan media sosial dari total populasi penduduk sekitar 268.2 juta. Survei ini menujukkan bukti bahwa media sosial sudah akrab dan menjadi kebutuhan baru manusia zaman ini. Ia bukan lagi alat atau sarana, melainkan ruang perjumpaan.
Sejak adanya media sosial perjumpaan bisa dibangun dengan siapa saja. Dulu perjumpaan selalu mengarah pada interaksi langsung antarmuka (face to face) dalam masyarakat yang tinggal dalam tempat yang sama. Kini, perjumpaan bisa dibangun dari layar ke layar (screen to screen) dalam spasi yang terbentang luas tanpa batas dan menjangkau semua. Akhirnya kita sadar, perjumpaan yang awalnya hanya dibangun dalam ruang dan waktu yang sama, dari muka ke muka (face to face) kini melejit berubah menuju perjumpaan layar ke layar (screen to screen). Perjumpaan yang awalnya dibatasi oleh ruang spasial dan kultur tertentu kini bergeser menuju perjumpaan yang menembus tapal batas budaya, wilayah, suku, agama, dan ras. Inilah keunggulan perjumpaan dalam layar; menembus tapal batas dan bahkan tidak mengenal batasan. Media sosial telah melahirkan ruang dan cakupan perjumpaan dengan dunia yang luas dan tidak terikat pada spasi tertentu.
Merajut Harmoni: Screen to Screen dan Face to Face
Muncul dan berkembangnya internet membawa cara komunikasi baru di masyarakat. Media hadir dan merubah paradigma berkomunikasi. Komunikasi tak terbatas jarak, waktu dan ruang. Bisa terjadi dimana dan kapan saja tanpa harus tatap muka. Media sosial meniadakan status sosial yang sering menjadi penghambat dalam komunikasi face to face. Dalam artian ini media membuka kesempatan bagi setiap individu yang terlibat (user) di dalamnya dan memiliki komitmen untuk saling merasa melekat dengan yang lain (kohesif) dan saling mendukung (suportif) sebagai sebuah komunitas. Dengan demikian, kita lalu dapat berasumsi bahwa kendati medium atau pun jenis relasi kita berubah, dari face to face menuju screen to screen, namun yang pasti naluri perjumpaannya masih sama, yakni no man is an Island, manusia tidak dapat hidup sendiri.

Yogyakarta, Juni 2020

Fransiskus Sardi